x

Tiga Srikandi dan Seorang Empu Pengharum Bangsa di Olimpiade Seoul 1988 (Part I)

Kamis, 21 Juli 2016 19:00 WIB
Editor: Rizky Pratama Putra

Indonesia pertama kali turut serta dalam Olimpiade terjadi pada 64 tahun silam di Olimpiade Helskinki. Olimpiade 1952 yang digelar di Swedia ini menjadi ajang pertama bagi para atlet nasional bertanding di kancah Olimpiade.

Namun, baru setelah 36 tahun kemudian, Indonesia mendapat medali pertamanya di Olimpiade. Hajatan Olimpiade Seoul 1988 menjadi tonggak sejarah besar olahraga tanah air di ajang olahraga dunia empat tahunan ini.

Pada hajatan yang dihelat di Korea Selatan tersebut, Indonesia mengirimkan 29 atlet untuk bersaing dengan 8.465 atlet dari 159 negara kontestan. Sebagai negara yang tidak punya sejarah kuat dalam olahraga, Indonesia tidak memiliki target khusus kecuali keikutsertaan mereka kala itu.

Akan tetapi, tiga perempuan tangguh muncul sebagai srikandi yang membawa harum nama bangsa. Para atlet panahan ini secara tidak terduga berhasil meraih medali pertama.

Meskipun memberikan kejutan pada ajang ini, namun sebenarnya ada kisah perjuangan di balik keberhasilan mereka membuka mata dunia olahraga internasional. Ketiga perempuan yang bertanding di cabang olahraga ini bergiat diri jauh sebelum penyelenggaraan Olimpiade 1988.

Lilies Handayani, Kusumawardhani dan Nurfitriyana Sulaiman adalah tiga perempuan pelopor medali di Olimpiade. Ketiganya masih menjadi inspirasi bagi para atlet nasional hingga hari ini.

Berikut awal kisah para legenda tanah air di ajang Olimpiade yang coba diulas oleh tim INDOSPORT;


1. Prestasi Dunia Nurfitriyana Berawal dari Coba-coba

Nurfitriyana Saiman Lantang, satu dari tiga srikandi Indonesia di Olimpiade 1988.

Nurfitriyana Saiman merupakan yang paling tua saat Indonesia meraih medali pertamanya di Olimpiade 1988. Namun, siapa sangka bahwa perempuan kelahiran Jakarta, 7 Maret 1962 ini mengawali kariernya dari keisengannya.

Fitri, sapaan akrabnya ikut menemani sang kakak ipar, Jeffilia Hambali, berlatih memanah di Senayan. Saat itulah, Yana, demikian biasa perempuan ini dipanggil, mencoba menggunakan busur panah.

Yana kemudian jatuh cinta dengan dunia panahan yang menjadi pintu gerbangnya meraih prestasi di tingkat dunia. Padahal sebelumnya, Yana yang memang berperangai tomboi ini menyenangi dunia olahraga.

Sebelumnya Yana menggemari olahraga basket, voli dan senam. Bahkan, Yana pernah mengikuti eksebisi senam saat PON VIII di Jakarta pada tahun 1977.

Namun, alumnus SMA Ragunan ini lebih memilih panah sebagai jalan hidupnya. Setahun setelah mengambil target pertamanya, Yana mampu memnyumbangkan emas bagi Indonesia di SEA Games 1981.

Yana kemudian mewakili Indonesia di Asian Games setahun kemudian. Pada ajang ini, Yana berhasil merangsek ke posisi 11 besar.

Hal ini kemudian menarik Pelatnas untuk menyiapkannya menuju Olimpiade. Hasilnya, Yana kemudian terpilih mewakili Indonesia untuk tampil di Olimpiade 1988.


2. Kisah Rahim Lelaki Baja yang Melahirkan Srikandi Legenda

Donald Pandiangan, pelatih panahan Indonesia di Olimpiade Seoul 1988.

Tidak ada yang menyangka bahwa hadiah dari seorang atasan bisa mengubah Donald Pandiangan menjadi atlet nasional. Seperangkat alat panah yang diberikan bos nya kemudian membawa Donald berhasil menjadi juara panahan di PON Surabaya 1973.

Hasil tersebut diraih tiga tahun setelah hadiah alat panah diberikan kepadanya. Tidak berhenti sampai di sini, Donald yang dikenal sebagai pribadi yang gigih dan keras hati bahkan sempat menduduki peringkat 12 dunia pada Kejuaraan Dunia di Australia pada tahun 1975.

Prestasi Donald berlanjut saat berhasil mewakili Indonesia ke Olimpiade Montreal 1976. Bahkan, Donald berhasil masuk jajaran 16 besar dunia saat itu.


Donald Pandiangan bersama L3 Srikandi usai meraih medali pertama untuk Indonesia di Olimpiade 1988.

Empat tahun kemudian, Donald bertekad meraih medali di Olimpiade 1980 di Moskow. Sayang, kebijakan politik Indonesia saat itu membuatnya mengurungkan ambisi seumur hidup pria yang lahir di Sidikalang, 12 Desember 1945 ini.

Saat itu Rusia yang masih bernama Uni Soviet melakukan agresi ke Afghanistan. Indonesia akhirnya memilih untuk tidak mengirimkan atlit ke Olimpiade 1980 sebagai bagian dari protes atas aksi yang dilakukan tuan rumah Olimpiade tersebut.

Kekecewaan Donald tak jadi berangkat ke Olimpiade untuk meraih prestasi gemilang pertama di Olimpiade, justru tak mengaburkan mimpinya. Perlahan, lelaki yang diniliai berperangai arogan ini memupuk sedikit demi sedikit mengharumkan nama Indonesia lewat cabang panahan.

Lewat tangan dinginnya, Indonesia akhirnya dibuat melek atas prestasi internasional di luar bulutangkis. Tiga srikandi panahan dibuatnya meraih medali pertama bagi Indonesia di Olimpiade.


3. Demi Panahan, Lilis Handayani Lupakan Pencak Silat

Donald Pandiangan dan Lilis Handayani.

Lahir di Surabaya, 19 April 1965, Lilis Handayani tumbuh menjadi perempuan tomboy. Lilis kecil telah menyukai olahraga sebagai hobinya.

Bahkan sejak kecil, Lilis telah menggeluti olahraga pencak silat. Hal ini sempat membuat kedua orantuanya gusar karena menekuni olahraga tradisional ini.

Padahal prestasi Lilis di pencak silat terbilang cukup lumayan. Pada Kejuaraan Nasional (kejurnas) Perisai Diri 1982, Lilis berhasil menggondol emas.

Namun, akhirnya rayuan Subadiah, sang ibunda berhasil meluluhkan hatinya untuk meninggalkan silat. Subadiah tidak menanggalkan kecintaan Lilis di dunia olahraga.

Lilis pun akhirnya berpindah ke panahan, olahraga yang digeluti sang ayah, Yahya Buari. Yahya sendiri pun merupakan atlet panahan peraih emas di PON VII hingga PON IX.

Darah sang ayah sepertinya mengalir deras dalam diri Lilis. Tak sampai setahun berlatih, Lilis mulai menunjukan prestasinya.

Pada Kejurnas Panahan, Lilis langsung tampil memikat dengan memboyong 4 medali. Srikandi muda ini meraih satu emas dan perunggu  di nomor perorangan serta dua perak di nomor tradisional.

Prestasi Lilis berlanjut di ajang nasional. Tampil cemerlang di PON 1985, membuatnya pertama kali terpanggil untuk mengikuti Pelatnas Olimpiade 1988.


4. Cinta dan Tekad Besar Suma Menjejak Dunia Bersama Busur Panah

Kusuma Wardhani

Tumbuh di lingkungan stadion, membuat Kusuma Wardhani Kasaming mencintai olahraga. Perempuan yang lahir di Makassar 20 Februari 1964 ini menghabiskan masa kecilnya di sebuah ruangan sempit di Stadion Andi Matalatta.

Suma mengawali perkenalannya dengan busur panah pada tahun 1983, lewat Abdul Hamid. Kala itu, pelatih panah tersebut, tengah mencari atlet panah untuk mewakili Sulawesi Selatan di ajang Kejuaraan Nasional.

Suma kemudian mulai unjuk prestasi setelah dijanjikan bisa bepergian keluar Makassar. Hal yang sebelumnya tidak pernah terpikirkan oleh Suma.

Tekad kerasnya dibuktikan dengan berlatih tekun dibawah bimbingan pelatih yang pertama kali mengenalkan panah kepadanya. Rata-rata, Suma menghabiskan waktu enam jam dalam sehari untuk berlatih panah.

Enam bulan kemudian, Abdul Hamid membuktikan janjinya untuk mengajak Suma ke Kejurnas Panah yang berlangsung di Jakarta. Suma pun membuktikan diri dengan menyabet emas pada ajang ini.

Prestasi ini membawanya masuk ke Pelatnas panahan. Begitu masuk ke Pelatnas, Suma langsung membuat impian baru, tampil di ajang dunia.

Suma bertekad untuk mengunjungi sejumlah negara dengan modal busur panahnya. Sebuah impian yang akhirnya menjadi nyata saat berhasil melengkapi ambisi pribadi dengan mengharumkan nama bangsa di Olimpiade 1988.

PanahanIn Depth SportsLegenda OlahragaKusuma WardhaniLilis HandayaniNurfitriyana SaimanDonald PandianganOlimpiade Seoul 1988

Berita Terkini