Piala Presiden 2017, Pemoles Mutiara yang Terpendam

Rabu, 15 Maret 2017 06:26 WIB
Penulis: Zainal Hasan | Editor: Gerry Anugrah Putra
 Copyright:

Perhelatan Piala Presiden baru saja usai. Klub raksasa Jawa Timur, Arema FC berhasil keluar sebagai kampiun setelah mennaklukkan perlawanan Pusamania Borneo FC dengan skor telak 5-1. Singo-singo Edan pun berpesta pora di Stadion Pakansari.

Meski sudah menetapkan jawara, namun hiruk pikuk Piala Presiden tidak berhenti sampai di sini. Jejak manis turnamen pramusim ini pun bisa dinimakti oleh insan sepakbola Indonesia. Ibarat mesin pemoles muka, Piala Presiden menjadi pemoles mutiara yang terpendam, bernama pemain muda.

Pemain muda mulai banyak bermunculan. Pemain muda di Piala Presiden ibarat mutiara yang hilang lalu muncul kembali di tengah oase keruh pesepakbolaan Indonesia. Tak bisa dipungkiri, Piala Presiden menjadi panggung para pemain muda menujukkan egonya, kesombongannya, dan kekuatannya di lapangan hijau. 

Mereka bebas mengekspresikan semuanya di lapangan hijau. Kesempatan yang langka memang, dan mereka dengan sigap menujukkan kemampuannya terbaiknya di hadapan khalayak ramai. Mereka menemukan tempat yang nyaman untuk bermain. Tak hanya itu, pemain muda juga seperti ‘harta karun’ yang berharga.

Munculnya mereka tak lepas dari regulasi gila yang diterapkan PSSI selaku panitia Piala Presiden 2017. Dalam menjalankan Piala Presiden edisi kali ini, PSSI mewajibkan seluruh peserta untuk memiliki lima pemain U-23 dan wajib memainkan ketiganya minimal 45 menit.

Tak sampai di situ, Piala Presiden juga membatasi usia para pemain senior. PSSI membatasi klub agar boleh menggunakan dua pemain di atas usia 35 tahun. Tentu regulasi tersebut sangat berpihak kepada pemain muda.

Sayangnya, pengunaan regulasi tersebut ternyata tak berjalan dengan mulus. Pasalnya, sebelum Piala Presiden dimulai banyak yang memandang remeh regulasi tersebut. Padangan negatif tersebut tak lepas dari banyaknya pemain berusia di atas 35 tahun yang masih aktif bermain.

Namun, inilah PSSI saat ini. Federasi sepakbola tertinggi itu tak bergeming dan tetap pada pendiriannya untuk terus menggunakan regulasi tersebut. Faktanya, sikap tegas PSSI berimbas pada hasil yang positif. Regulasi gila yang memunculkan bakat muda.
Regulasi tersebut berhasil membuat kita sebagai publik sepakbola Indonesia dapat melihat perbedaan yang sangat kentara. Jika sebelumnya, kita hanya disuguhkan nama-nama seperti Bambang Pamungkas, Firman Utina, Ahmad Bustomi, atau Kurnia Meiga, kini generasi baru seperti Febri Hariyadi, Gian Zola, Bagas Adi Nugroho, Terens Puhiri, sampai Hanif Sjahbandi mampu mencuri hati publik.

Tak berhenti dari nama-nama tersebut. Piala Presiden juga menjadi kawah candradimuka para pemain muda yang sebelumnya tak pernah terdengar publik. Mari ambil contoh, apakah nama Ahmad Nur Hadianto dari Persela pernah terdengar nyaring di seantero Indonesia. Tentu jawabannya belum, tapi dari ajang Piala Presiden ini, pelatih Timnas Indonesia, Luis Milla bisa menemukan mutiara yang tak tersentuh itu sebelumnya.

Kini, Piala Presiden telah usai. Tapi butiran keberhasilan Piala Presiden itu masih dapat kita dan publik sepakbola Indonesia nikmati. Kita juga bisa saksikan para pemuda yang sebelumnya tak pernah ‘ada’ di sepakbola tanah air kini bak bunga yang tengah harum. Mereka kini menjadi tulang punggung Timnas. Mereka akan meluruskan tulang yang bengkok menjadi lurus dan pada akhirnya kita berharap pada mereka untuk menghadirkan prestasi yang lama tak menghampiri Indonesia.