Investigasi Indosport

Mengenal BCS, Ultras PSS dengan Segudang Kreativitas

Jumat, 24 Maret 2017 14:03 WIB
Editor: Tengku Sufiyanto
© Grafis:Eli Suhaeli/INDOSPORT/Twitter Brigata Curva Sud
Brigata Curva Sud x PSS Sleman 1976. Copyright: © Grafis:Eli Suhaeli/INDOSPORT/Twitter Brigata Curva Sud
Brigata Curva Sud x PSS Sleman 1976.

Sepakbola merupakan cabang olahraga yang digandrungi banyak orang di planet bumi ini. Tak sekadar menjadi cabang olahraga, sepakbola telah terbentuk sebagai hiburan masyarakat di tengah hiruk pikuk kehidupan sehari-hari. Mayoritas masyarakat tanpa pandang bulu atau SARA (Suku, Ras, Antar Golongan) sangat menyukai sepakbola.

Seiring perkembangannya, sepakbola yang menjadi olahraga populer dan paling menghibur telah berevolusi menjadi cabang yang mengedepankan industrialisasi. Banyak keuntungan ekonomi yang didapat sebuah negara dari sepakbola. Salah satu contohnya yang paling dekat adalah ketika sebuah negara ditunjuk menjadi tuan rumah Piala Dunia oleh Induk Sepakbola Dunia, FIFA.

Afrika Selatan (Afsel) yang menjadi tuan rumah Piala Dunia 2010 mendapatkan keuntungan ekonomi. Perekonomian Afsel tumbuh pesat usai menjadi tuan rumah turnamen sepakbola paling bergengsi di dunia tersebut.

Hasil survei Reuters menunjukkan bahwa perekonomian Afsel bisa tumbuh 0,1 persen sampai 0,7 persen saat menyelenggarakan Piala Dunia 2010. Piala Dunia juga mendongkrak pertumbuhan ekonomi Afsel di kuartal II dan III masing-masing sebesar 4 persen serta 3,9 persen, dengan pertumbuhan akhir tahun sebesar 3,1 persen.

Industrialisasi kembali berkembang di sepakbola melalui permainan saham sebuah klub yang sudah berbentuk perseroan terbatas atau PT. Hal itu bisa dilihat di negara-negara Eropa dan beberapa negara belahan benua lainnya.

Tak hanya itu, perkembangan industrialisasi sepakbola juga mengalami kemajuan pesat dalam ruang lingkup suporter. Suporter bisa menjalankan ekonomi kreatif dengan penjualan merchandise demi membantu administrasi klub kesayangannya.

Piala Dunia 2010 diselenggarakan di Afrika Selatan dengan Jabulani sebagai bola resmi.

Beralih ke Indonesia. Dalam catatan sejarah, sepakbola di Indonesia merupakan alat pemersatu bangsa. Sepakbola lahir di Tanah Air sebagai alat perjuangan bangsa mengusir penjajah. Sepakbola bisa menyatukan kaum pribumi dengan ideologi nasionalisme.

Hal itu tidak terlepas dari ucapan penggagas berdirinya Persatuan Sepakbola Seluruh Indonesia (PSSI), Ir. Soeratin. Lalu juga diucapkan salah satu tokoh pejuang Indonesia, Tan Malaka.

“Kalau di sepakbola kita bisa mengalahkan Belanda, kelak di lapangan politik pun kita bisa mengalahkan Belanda," kata Ir. Soeratin.

"Sepakbola adalah alat perjuangan bangsa," ucap Tan Malaka.

Kini sepakbola Indonesia sama halnya yang terjadi di luar negeri. Sepakbola menjadi olahraga yang paling populer dan menghibur. Industri sepakbola di Indonesia tengah berkembang.

Seluruh peserta kompetisi teratas sepakbola di Indonesia yang kini disebut Liga 1, telah menjadi klub profesional dengan naungan PT. Langkah itu juga diikuti para peserta kasta kedua kompetisi sepakbola Tanah Air, Liga 2.

Sayang, suporter di Indonesia secara keseluruhan belum mencapai titik membantu keuangan klub kesayangannya. Hanya ada beberapa suporter yang mampu menjalankan industri ekonomi kreatif. Salah satunya adalah Brigata Curva Sud (BCS).

Aksi ultras PSS Sleman, BCS.

Mengenal Dekat BCS

BCS merupakan kelompok suporter ultras PSS Sleman. PSS adalah klub yang berlaga di kasta kedua kompetisi sepakbola Tanah Air, Liga 2.

Indentitas BCS sebagai ultras membuat para pencari berita kesulitan mendapatkan informasi yang lebih dalam. Ultras sendiri memang sebuah kelompok suporter sepakbola yang tidak mau diketahui identitasnya secara menyeluruh atau lebih tertutup. Namun, INDOSPORT berhasil mewawancarai dan mencari tahu lebih dalam tentang BCS.

"Kita merupakan kelompok PSS yang paling muda. Awalnya, kita berkumpul dengan para suporter ultras PSS pada tanggal 5 Februari 2011. Dengan visi dan misi yang sama akhirnya terbentuk BCS. Tanggal berkumpul diambil sebagai hari lahirnya BCS," kata salah satu orang yang ikut dalam perundingan mendirikan BCS, Muhammad Zulkarnaen kepada INDOSPORT.

BCS mengambil influence dari para ultras ternama dunia, seperti St Pauli di Jerman. Akan tetapi, BCS tetap mengedepankan identitas sendiri.

"Hal yang diresapi dari dulu sebagai identitas kami yakni, beli tiket, berdiri, dan menyanyikan lagu penyemangat (yel-yel)," ujar pria yang akrab disapa Fikar tersebut.

Aksi koreografi 4 dimensi BCS saat pagelaran Piala Presiden 2017.

BCS memiliki segudang koreografi yang kreatif. BCS masuk menjadi salah satu suporter terbaik di dunia pada tahun 2016 versi media asing Copa90. BCS masuk dalam kategori suporter terbaik bersanding dengan suporter garis keras di seluruh dunia seperti CSKA Sofia (Bulgaria), Newell's Old Boys (Argentina), Dynamo Dresden (Jerman), dan Legia Warszawa (Polandia).

"Kita sudah memimpin koreo dari tahun 2008 dan 2009. Ketika itu, saya masih zaman kuliah. Beberapa anggota BCS juga masih kuliah," ungkap Fikar.

BCS melakukan koreografi dengan modal peralatan sendiri. Semua dana yang dialokasikan untuk koreografi berasal dari sumbangan sukarela para anggota saat pertandingan PSS.

"Peralatan koreografi dengan sumbangan sukarela tanpa batas. Saat pertandingan, ada anggota dengan kardus berkeliling meminta sumbangan suka rela. Biasanya paling dikit memberi Rp2000," ungkap Fikar.

Striker lambang CSS.

Ekonomi Kreatif BCS dengan Nama CSS untuk PSS Sleman

Tidak sampai di situ, BCS merupakan salah satu suporter ultras di dunia yang mengedepankan ekonomi kreatif. Mereka menjalankan bisnis dengan industri merchandise bernama CSS (Curva Sud Shop).

"CSS sebagai alat perjuangan, secara tidak langsung mengenalkan BCS. Banyak barang yang mengenalkan identitas BCS. Awal Februari 2012 berdirinya," kata Fikar.

"Awal terbentuknya untuk kampanye, mengenalkan bahwa suporter ultras itu tidak identik dengan kekerasan (tradisional fanatisme)," tambahnya.

Berdirinya CSS bukan tanpa perjuangan. BCS harus jatuh bangun membangun CSS dengan modal yang seadanya. Meski begitu, BCS melalui CSS sudah bisa membantu administrasi PSS, walaupun hanya sedikit pada awalnya.

"Dulu awalnya beli satu etalase secara iuran. Lalu jual stiker, jaket, dan kaos andalan. Saat itu kita masih mengontrak untuk menjalankan CSS. Saat itu, kita serahkan keuntungan dari merchandise ke tim. Kita tahu tim sudah tidak disongkong APBD (Anggaran Pendapatan Belanja Daerah), sudah ke arah profesionalisme lewat PT. Deni Tarkas ketika itu yang menerima sebagai manajer PSS," kata Fikar.

Penampakan Curva Sud Shop saat ini.

"Pelan-pelan nabung. Kita juga pernah diusir warga. Slemania sempat coret-coret di jalan, sehingga warga menjadi resah. Saat itu BCS mulai tumbuh. Akhirnya kita ditampung di rumahnya Pak Trimurti Wahyu Wibowo (dedengkot Slemania). Lama kelamaan tidak enak. Akhirnya kita menyewa rumah di akhir tahun 2012," lanjutnya.

Hebatnya lagi, BCS sudah bisa mempekerjakan orang di CSS. Hal itu sebagai bukti bahwa ultras di Indonesia bisa membangun lapangan pekerjaan.

"Dari dulu sudah ada yang dipekerjakan. Sudah ada anggarannya untuk mempekerjakan orang. Dulu awal-awal gajinya sebesar Rp25 ribu," ujar Fikar.

Plakat pemberiaan bantuan bencana Gunung Kelud yang dilakukan BCS (atas).

Perkembangan Pesat CSS

Barang-barang yang dihasilkan CSS adalah hasil buah tangan para anggotanya. CSS pun secara perlahan tumbuh menjadi industri ekonomi kreatif yang dijalankan BCS untuk membantu keuangan klub. Omzet CSS dari Rp100 juta hingga Rp200 juta lebih.

"Para pekerja di CSS lama kelamaan dapat penghasilan yang meningkat, ke UMP (Upah Minimum Regional) Sleman sekitar Rp1,4 juta per bulan. Ditambah uang bensin, tunjangan sosial, dan tunjangan kesehatan. Keutungan CSS yang meningkat membuat bantuan kita ke PSS juga meningkat, sebesar 20 persen hingga saat ini. Kita juga sering mengadakan acara amal untuk membantu saudara-saudara kita yang tertimpa bencana alam," kata Fikar.

"CSS sekarang ada tiga toko, yakni Sidoarjo, Sleman, dan Jakarta. Omzet naik turun, di tempat lama Rp100 juta. Di sini cuma menyediakan pelayanan dan manajemen. Kita punya forum yang punya modal dan ide, bisa menitipkan barang produksi dari anak-anak BCS. Tentu saja pembagian hasil dari para anggota yang menitipkan barang dan CSS sesuai kesepakatan. Tanpa ada yang merugikan dari kedua belah pihak," tambahnya.

Contoh kaus yang dijual di CSS.

BCS dengan CSS-nya sudah dikenal hingga pelosok dunia. Banyak orang luar negeri yang secara langsung atau memesan barang produksi BCS di CSS.

"Pemesanan bisa dari media sosial. Ada beberapa orang luar negeri yang mayoritas mahasiswa di Yogyakarta membeli produk BCS di CSS. Mereka tahu BCS ketika di Yogyakarta. Rata-rata pemesanan ke luar negeri itu dilakukan orang Sleman yang berada di sana," kata Fikar.

"Waktu itu (2015), ada datang dari Jerman dan Prancis. Mereka datang ke sini khusus membeli barang BCS yang ada di CSS. Mereka tahu BCS dan CSS dari media sosial," tambah penjaga CSS, Achmad Irul kepada INDOSPORT.

"Harga kaus yang diperjualbelikan di CSS berkisar dari Rp80 ribu, polo shirt dengan harga Rp120 ribu, topi Rp30-50 ribu, sepatu dari Rp300-800 ribu," tambah Achmad Irul.

Merchandise yang diperjualbelikan di CSS.

Perkembangan Industri Kreatif BCS selain CSS

Seiring berjalannya waktu, BCS bahkan membuka sebuah pembelajaran untuk para anggotanya demi kelangsungan CSS. Tak hanya CSS, pembelajaran tersebut dilakukan untuk juga menunjang kelangsungan industri kreatif BCS.

"Kita buat sekolah untuk para anggota. Sesuai kelompok, ada yang belajar menulis berita, ada yang belajar video dan mengedit video, dan ada juga yang belajar fotografi. Kita sewa rumah untuk sekolah ini. Setiap malam diskusi. Tapi, kalau ada yang mau belajar video dari menulis, kami tentu persilakan. Jadi semuanya flexible. Hal ini sudah kita jalankan selama dua bulan," ujar Fikar.

"Pembelajaran itu demi kelangsungan BCS, khususnya industri dan ekonomi kreatif yang sudah kita jalankan. Anggota yang dapat pembelajaran bisa berkecimpung di website kita Slemanfootball.com, dan radio yang kita dirikan bernama Radio Elja. Kalau dulu, kita punya majalah, tapi kita evaluasi karena perkembangan teknologi media," lanjutnya.

Merchandise yang diperjualbelikan di CSS.

Menanggapi hal tersebut, Achmad Irul menyambut gembira soal pembelajaran industri kreatif yang dilakukan BCS. Menurutnya, dengan adanya hal tersebut dapat membuat regenerasi yang baik untuk BCS dengan industri kreatifnya.

"Saya merupakan penjaga toko (CSS) di sini. Saya memiliki rasa kebanggaan bisa membantu BCS demi PSS Sleman. Saya dibekali pembelajaran grafis, menulis berita, dan edit video," kata Achmad Irul.

Apa yang dilakukan BCS mengundang decak kagum ultras di beberapa negara. Bahkan, ultras St Pauli yang menjadi influence BCS belajar menjalankan industri kreatif.

"Sebatas sharing dan saling belajar saja dengan suporter luar negeri di St Pauli. BCS ke depannya dengan CSS, selalu ada untuk PSS di belakang, depan, dan samping kanan serta kiri," kata Fikar.

"Semoga hal itu bisa terwujud. Satu mimpi BCS adalah membeli tanah untuk CSS. Bahkan bisa membeli tanah untuk dijadikan lapangan latihan PSS. PSS latihan harus bayar di Stadion Maguwoharjo. Semoga semua itu bisa kami realisasikan di tengah perkembangan BCS yang makin pesat dengan 20 sezione (basis regional) dan basis anggota perempuan bernama Ladies Curva Sud (LCS) sejak tahun 2012," tutup Fikar.

Merchandise yang diperjualbelikan di CSS.

BCS menjadi contoh ultras yang kreatif dan mandiri di Indonesia. Bukan hanya sekadar fanatisme semu, BCS mampu membangun fanatisme yang nyata demi kelangsungan klub tercintanya, PSS Sleman.

"No leader just together." Artinya, tidak ada pemimpin namun mengutamakan kebersamaan. Itulah moto yang selalu dipegang teguh Brigata Curva Sud (BCS).

3.1K