Mengintip Cara Bundesliga Cetak Superstar Lewat Akademi

Selasa, 28 Maret 2017 11:00 WIB
Editor: Gregah Nurikhsani Estuning
© JOKER / Walter G. Allgöwer/ullstein bild via Getty Images
Tim muda Dortmund, calon bintang masa depan. Copyright: © JOKER / Walter G. Allgöwer/ullstein bild via Getty Images
Tim muda Dortmund, calon bintang masa depan.

Jerman sudah lama terkenal dan bangga akan konsistensinya mencetak banyak pemain muda paling prospektif di dunia si kulit bundar. Sudah tak terhitung berapa jumlah bintang dari Bundesliga yang menjadi andalan di klubnya masing-masing, sebut saja Thomas Muller, Max Meyer, dan Julian Brandt. Bakat dan potensi alamiah memang menjadi salah satu faktor utama, namun semua butuh arahan, polesan, dan asupan yang tepat. Itu semua bisa didapat dari akademi sepakbola.

Bicara akademi sepakbola, pasti banyak yang sudah mengenal La Masia milik Barcelona, atau Real Madrid dengan La Fabrica-nya. Lalu Ajax Amsterdam yang bangga akan De Toekomst, Dinamo Zagreb dengan Hitrec-Kacian, sampai pencetak pemain-pemain terbaik Inggris di West Ham United Football Academy.

Itu baru di Eropa, jangan lupakan juga sejumlah akademi sepakbola yang tersebar di benua lain. Di Argentina misalnya, ada Club Social Parque. Mengaku pernah menghasilkan Diego Maradona, Fernando Gago, sampai Carlos Tevez, Ramon Maddoni selaku kepala pelatih di sana bahkan berani sesumbar bahwa mereka adalah 'akademi yang mencetak superstar sepakbola lebih banyak ketimbang La Masia'.

Beralih ke benua Afrika, klub pertama bintang baru Persib Bandung, Michael Essien, yakni Liberty Professionals, berdasarkan The Sporter, masuk sebagai akademi terbaik nomor 19 di dunia. Pesaingnya yang sama-sama dari Ghana, Right to Dream, juga tercatat berada di nomor ke-15 dari 16 akademi terbaik versi Bleacher Report.

Menariknya, usai Piala Dunia 2014 silam, entah iseng atau memang direncakan sebegitu matang, FIFA membuat laporan teknis mengenai tipe pamain (depan). Hasilnya, terdapat dua jenis atau gaya pesepakbola, yakni gaya Eropa dan self-improvised.

Pemain-pemain dengan gaya Eropa contohnya adalah Karim Benzema dan Olivier Giroud, sedangkan pemain yang mengimprovisasi gaya bermainnya sendiri yakni Neymar, Lionel Messi, Alexis Sanchez, dan Diego Costa.

Arsene Wenger yang terkenal sebagai manajer bertangan dingin yang sanggup memoles bakat muda menjadi (jika tidak sarkastis) memiliki nilai jual tinggi, pernah berujar bahwa sepakbola jalanan (non-akademi) lebih bisa menghasilkan striker yang tajam, tanpa kompromi, dan berani berduel dengan siapapun lawannya.

"Jika melihat dunia sepak bola di seluruh Eropa dan pada umumnya, maka Amerika Selatan menjadi satu-satunya benua yang melahirkan penyerang di masa kini," ujar Wenger dalam sebuah konferensi pers, seperti yang dikutip dari Reuters.

image article indosportAkademi sepakbola di Jerman.

"Di sepak bola jalanan, pemain berusia 10 tahun harus bisa menghadapi pemain berusia 15 tahun. Anda harus menunjukkan kemampuan, berjuang dan juga memenangkan duel yang sulit. Saat sepak bola menjadi kegiatan resmi, kita kehilangan perkembangan kemampuan individual dan sikap daya juang para pemain," tambahnya lagi.

Menariknya, Diego Costa, pemain berpaspor Spanyol kelahiran Brasil, mengaku jika sikap keras dan buasnya di lapangan adalah berkat terpaan sepakbola jalanan. Namun ia terkesan menyesal ketika diharuskan melahap porsi latihan yang teratur di klub profesional.

"Saya dahulu bermain di jalanan kota dengan orang yang lebih besar. Kemudian saya pindah ke Sao Paulo. Waktu itu belum profesional. Saya tak pernah terlibat dengan sepakbola bertingkat layaknya pengenalan grassroots, saya tak mendapatkan porsi latihan yang cocok, saya merasa salah saja," ungkapnya kepada El Pais.

Kembali ke Jerman, untuk mengembangkan potensi terbaik, Bundesliga mempromosikan talenta mudanya sejak usia dini. Setiap klub di Bundesliga 1 dan Bundesliga 2 diwajibkan memiliki akademi yang terorganisasi secara rapi, profesional, dan inovatif.

Thomas Tuchel, pelatih kepala Borussia Dortmund, pernah menjelaskan bahwa teknik pelatihan pemain muda di Jerman lebih kepada orientasi pada bola. Secara tidak langsung, Tuchel mengindikasikan bahwa bakat muda yang masih mentah kemudian dibentuk dan diarahkan sedemikian rupa agar saklek sesuai standar tiap akademi atau kemampuan akademi masing-masing.

"Latihan bertahan sangat terorientasi pada bola, dengan banyak sekali berlari dan bagaimana harus bersikap agresif merebut bola. Gayanya sangat enerjik, fokus pada aksi, bukan reaksi, meski saat lawan melakukan penguasaan bola," kata Tuchel.

Lalu bagaimana sebenarnya pengelolaan akademi yang baik dan profesional? Kali ini INDOSPORT mengajak pembaca setia untuk menngintip 'canggihnya' sistem, struktur, aturan, serta organisasi dan standar bagi tim Bundesliga dalam menjalankan akademinya.

Latar Belakang

Piala Euro 2000 di Belgia dan Belanda menjadi pelecut bagi Deutsche Fusball Liga (DFL) dan Deutscher Fusball Bund (DFB) untuk merombak dan menentukan apa yang sebenarnya salah dalam tatanan sepakbolanya. Tahun 2000 menjadi salah satu periode terburuk menyusul kegagalan mereka menembus babak grup Piala Euro.

Lewat perencanaan matang dan perombakan sistem akar rumput di Jerman, akhirnya disusunlah pondasi baru yang lebih kokoh sampai ke intinya. Satu keputusan final para penggiat sepakbola di sana yakni melakukan perubahan besar-besaran di sektor pembinaan pemain muda.

Berdasarkan rilis resmi yang didapat INDOSPORT dari Bundesliga, DFB atau Federasi Sepakbola Jerman mewajibkan para kompetitor untuk memiliki akademi yang tersusun secara rapi dan struktural. Hal itu bertujuan untuk menciptakan suatu sistem baru yang memudahkan manajemen klub dalam scouting dan pengembangan bibit-bibit muda.

Sejak tahun 2002, didapat data sedikitnya 60 ribu pemain muda telah tersebar di 366 akademi sepakbola, sementara 650 ribu bakat muda telah terpantau oleh pelatih berlisensi tiap tahunnya. Ini memudahkan pemandu bakat, baik lepas maupun yang terikat kontrak dengan klub tertentu dalam menyaring sebanyak mungkin potensi-potensi terbaik.

Fasilitas

Setelah ada pemain yang terpilih atau lolos seleksi, akademi diharuskan memenuhi kebutuhan-kebutuhannya baik di dalam maupun di luar lapangan. Secara garis besar ada tiga aspek yang wajib dimiliki oleh tim-tim di Bundesliga 1 dan 2 Jerman. Mereka adalah fasilitas medis, fasilitas non-keloahragaan, dan tentunya fasilitas keolahragaan.

image article indosport

Tiap fasilitas pun wajib memenuhi standar yang telah ditetapkan oleh DFB. Bagian atau divisi medis misalnya, harus menyediakan satu ruang perawatan untuk dokter (dokter umum), dua ruangan untuk fisoterapis, ruang penyembuhan (kamar mandi khusus, sauna, kamar mandi relaksasi dan lain-lain).

Selain itu, dokter yang menangani juga harus sesuai dengan bidangnya dan telah terbukti dalam penanganan penyakit atau cedera olahraga. Belum cukup sampai disitu, akademi juga harus terikat dengan institusi atau lembaga ilmu keolahragaan, tentunya yang saling menguntungkan.

Dengan begini, saat akademi klub membutuhkan laporan performa dalam bentuk diagnosis, institusi yang bekerja sama juga mendapatkan keuntungan dalam bentuk riset. Mereka juga diperbolehkan ikut serta dalam pemeriksaan medis berjangka.

Fasilitas lain yang tak boleh ketinggalan adalah fasilitas non-keolahragaan. Para pemain muda yang belajar di akademi harus tetap mendapatkan asupan lain layaknya anak-anak di sekolah umum. Di sini, akademi wajib menyediakan guru, psikolog, sekolah, asrama, dan family host atau keluarga angkat sementara.

Kemudian fasilitas yang terpenting tentunya adalah bagian teknis, fasilitas keolahragaan. DFB telah menetapkan setiap klub untuk memiliki empat lapangan untuk latihan para pemain mudanya. Mereka juga wajib memiliki setidaknya lima pelatih.

Pelatih yang dipekerjakan pun tak boleh sembarangan. Semuanya harus memiliki lisensi dari UEFA. Ini diberlakukan guna memastikan pelatih yang bekerja tidak asal-asalan dan lebih jauh, hasilnya bisa lebih maksimal.

Jenjang Usia

DFB menetapkan kepada seluruh tim peserta Bundesliga untuk memiliki akademi dengan rentang usia beragam. Tiap akademi diwajibkan untuk menimal memiliki 6 tim muda dan maksimal 9 tim muda.

Paling kecil adalah U-8 sampai U-11. Di sini akademi boleh memasukkan berapa pun pemain muda belianya tanpa dibatasi. tapi ketika memasuki usia 12 tahun, akan ada peraturan baru.

Tim U-12 dan sampai U-15 adalah tentang usia berikunya. DFB menetapkan tiap tim hanya memiliki atau mendaftarkan 20 pemain saja. Hal ini untuk mencegah adanya 'pemain cabutan' saat mengikuti kompetisi resmi.

Jika ada pemain yang telah memasuki usia 16 tahun, maka dia wajib didaftarkan atau naik kelas ke tim junior U-16. Akademi boleh mendaftarkan 22 pemain. Masuk kategori ini, pemain belum benar-benar bisa dikontrak secara profesional, namun sudah diperbolehkan menandatangani prakontrak untuk mencegah pemainnya dibajak oleh tim lain.

Sebenarnya di rentang usia 16-19, DFL dan DFB sudah membentuk sistem kompetisi sendiri. Biasanya di rentang usia tersebut, bakat seorang pemain baru benar-benar bisa terlihat. Jika sudah diperbolehkan untuk menandatangani kontrak profesional (biasanya saat sudah berusia 17 tahun), pemain dengan bakat istimewa bisa ditarik ke tim senior.

Niklas Sule, Max Meyer, Kevin Volland, sampai Julian Draxler pernah merasakan manisnya debut di usia muda menyusul performa impresifnya di kompetisi junior. Dari sini pun bisa terlihat bagaimana Bundesliga memang berusaha menciptakan - bukan mendatangkan, superstar. Perkara nantinya akan dijual atau tidak, itu menjadi kebijakan klub masing-masing.

867