Analisis dan Opini

Beda Cara Antara SBY dan Jokowi Selamatkan PSSI

Senin, 21 Maret 2016 21:05 WIB
Editor: Randy Prasatya
 Copyright:

Karut-marut persepakbolaan Indonesia tak kunjung selesai, setidaknya diperparah sejak PSSI diketuai oleh Nurdin Halid. Berbagai intrik kepentingan politik dimainkan dan dikemas hingga membuat pecinta sepakbola buta akan kebobrokan persepakbolaan tanah air.

Pengaturan skor, penunggakan gaji pemain, dan kemandirian klub menjadi tiga elemen yang belum mampu dituntaskan dengan baik oleh PSSI era Nurdin Halid dan Djohar Arifin Husein. Bahkan, pada saat itu SBY yang masih menyandang sebagai presiden lebih banyak diam daripada mengambil tindakan.

Alasan pendiaman tersebut tak lepas daripada ketakutan akan jatuhnya hukuman untuk PSSI yang diberikan FIFA lantaran mengintervensi Federasi Sepakbola Indonesia. Padahal, secara akal sehat tindakan penunggakan gaji dan pengaturan skor bisa dilakukan oleh pemerintah dengan menggunakan undang-undang negara.

Selepas hal itu semua kita bisa menarik dua masalah tersebut ke arah legalitas klub. Dalam hal ini, klub yang telah memilik legalitas – syarat utama berdirinya klub yang berasal dari FIFA – harus mengikuti aturan hukum di negara Indonesia. Artinya, negara berhak menjatuhkan hukuman ke kepada pengusaha jika melakukan kelalaian pembayaran gaji. Hal itu dijelaskan dalam Pasal 95 ayat (2) UU Ketenagakerjaan.

Begitupun dengan kasus pengaturan skor atau tindakan perjudian di sepakbola Indonesia. Negara memilik hak penuh untuk menumpas praktik-peraktik judi. Hal tersebut juga telah diatur dalam Pasal 303 ayat (3) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), yang berbunyi:

“Yang disebut permainan judi adalah tiap-tiap permainan, di mana pada umumnya kemungkinan mendapat untung bergantung pada peruntungan belaka, juga karena pemainnya lebih terlatih atau lebih mahir. Di situ termasuk segala pertaruhan tentang keputusan perlombaan atau permainan lain-lainnya yang tidak diadakan antara mereka yang turut berlomba atau bermain, demikian juga segala pertaruhan lainnya.”

Jika merujuk dua hal itu saja setidaknya pecinta sepakbola juga bisa menyalahkan pemerintah yang dinilai pernah acuh tak acuh terhadap pembenahan sepakbola Indonesia, dan dua hal itu juga membuktikan bahwa ada porsi yang menyatakan pemerintah bisa turut andil dalam menata perkembangan sepakbola, bukan ketakutan jatuhnya sanksi atas dugaan intervensi.

Dan yang menariknya kini kita bisa menemukan dua perbedaan cara penyelesaian dari mantan Presiden Indonesia, SBY, dan Presiden Indonesia saat ini, Jokowi.

Era SBY

Presiden yang menjabat dua periode ini (2004/09 dan 2009/14) telah merasakan dua generasi kepemimpinan PSSI, yaitu saat di pimpin Nurdin Halid pada 2004-2011 dan Djohar Arifin pada 2011-2015.

Pada dua periode kepemimpinan SBY, polemik-polemik sepakbola di Indonesia sering sekali dia rasakan. Namun, ada kesalahan yang dilakukan presiden ke-6 Indonesia ini, yaitu ketidakberaniannya mengambil tindakan secara tegas saat Nurdin Halid memimpin PSSI dari balik jeruji besi setelah tersandung kasus korupsi.

Padahal, ada aturan FIFA yang melarang seorang terpidana dapat memimpin PSSI, atau seorang mantan terpidana yang sempat dijatuhkan hukuman lima tahun. Dan dalam poin pertama SBY telah melakukan pembiaran PSSI untuk dipimpin oleh Nurdin Halid melalui dalam penjara.

Namun, ada sisi positif yang baik terjadi di era SBY. Pada akhirnya beliau dapat melihat PSSI kepemimpinan Nurdin runtuh setelah ribuan suporter berdemo dan melakukan penyegelan kantor PSSI. Hawa perubahan pun sempat tercium.

Tapi adahal yang disayangkan pasca kepenggurusan PSSI baru terbentuk di bawah kepemimpinan Djohar Arifin. Kemunculan KPSI yang diketuai La Nyalla Mattalliti tidak dapat dicegah oleh presiden. Parahnya lagi dia terlihat seperti berdiam diri dengan sesekali mengeluarkan humbauan, tanpa memilik aksi nyata.

Kekacauan terjadi setelah KPSI membuat liga tandingan yang semakin memperburuk sepakbola Indonesia. Dualism kepengurusan, liga, dan timnas pun muncul. Pada tahap ini SBY nyaris seperti tanpa taring. Namun ketika timnas Indonesia benar-benar terpuruk dia mampu menyatukan kembali dua kubu yang terpecah melaui tangan kananya, yaitu Menpora.

Liga berjalan normal, kepengurusan PSSI kembali kondusif. Malangnya kasus penunggakan gaji pemain semakin parah. Hal tersebut yang lagi-lagi membuat SBY diam tanpa kata, tapi anehnya kini beliau dapat berbicara nyaman berkomentar tentang sepakbola setelah tidak menjabat sebagai presiden.

Era Jokowi

Era SBY berakhir pada Oktober 2014. Sepakbola Indonesia masih tak memperlihatkan perbaikan. Saat itupun muncul pemimpin negara baru, yaitu Joko Widodo atau yang dikenal dengan sebutan Jokowi. Pria asal Solo ini berhasil menjadi Presiden Indonesia ke-7.

Belum genap satu tahun kepemimpiannya, PSSI harus dibekukan menjelang beberapa jam sebelum kongres pemilihan ketua PSSI yang baru. Namun, PSSI tetap menggelar kongres dan memenagkan La Nyalla sebagai ketua PSSI baru, yang merupakan ketua KPSI saat terjadinya dualisem.

Surat pembekuan bernomor 01307 tahun 2015 tersebut dirilis pada 18 April 2015 setelah ditandatangani langsung oleh sang menteri, Imam Nahrawi, per 17 April 2015.

Atas tindakan pembekuan itu persepakbolaan Indonesia praktis terhenti sanki FIFA pun ikut memperparah suasana. Indonesia tak dapat ikut serta di turnamen internasional yang berada di bawah naungan FIFA.

Waktu terus berjalan, berbagai solusi ditawarkan Pemerintah dengan menggelar turnamen untuk sedikit memberi napas bagi pelaku olahraga yang mencari nafkah di sana. Tapi, PSSI tetap tak mau memenuhu tuntutan yang telah dilakukan Pemerintah.

Masalah yang terus berlarut dan tanpa kepastian kapan adanya kompetisi membuat pecinta sepakbola terpecah. Ada yang tak terima pembekuan dan ada yang menerima itu semua.

Namun, pemain sepakbola Indonesia yang memilik kemampuan di atas rata-rata tidak menunjukan kegelisahan secara langsung, sebab mereka bisa dengan cepat mendapat tawaran dari klub sepakbola negara tetangga. Selain itu, kasus penunggakan gaji setidaknya untuk sekarang tidak “bertambah banyak”.

Belum juga selesai permasalahan tersebut, nasib sial kembali menimpa PSSI. La Nyalla yang menjabat sebagai Ketua PSSI kini telah dinyatakan sebagai tersangka atas tuduhan korupsi dana hibah Jatim. Kasus tersebut setidaknya menjadi sinyal bahwa memang ada yang harus dibenahkan dalam tubuh PSSI dan sialnya bencana tersebut menyerupai kasus Nurdin Halid, pemimpin PSSI yang terjerat korupsi.

290