In-depth

Mengenang Kisruh PSSI di Tengah Krisis Mei 1998

Selasa, 21 Mei 2019 19:28 WIB
Penulis: Luqman Nurhadi Arunanta | Editor: Theresia Ruth Simanjuntak
© Wikipedia/Komputasi awan (cloud computing) - WordPress.com/Kaskus/Eli Suhaeli
Krisis Mei 1998 dan logo PSSI Copyright: © Wikipedia/Komputasi awan (cloud computing) - WordPress.com/Kaskus/Eli Suhaeli
Krisis Mei 1998 dan logo PSSI

INDOSPORT.COM – Aksi ‘People Power’ 22 Mei 2019 yang akan memadati ibu kota Jakarta menyedot perhatian publik, baik di lingkungan masyarakat maupun media sosial.

Gelombang massa yang masif untuk menyerukan protes adanya dugaan kecurangan pada Pemilu serentak 2019 memunculkan kekhawatiran.

Indonesia memiliki memori gelap apabila mengingat peristiwa kelam krisis Mei 1998. Ekonomi dalam negeri terpuruk dan suhu politik memanas, sepak bola Indonesia turut terkena dampaknya.

Suhu politik Indonesia yang tinggi menciptakan iklim yang tidak kondusif untuk melaksanakan acara olahraga, khususnya sepak bola.

Sebagai olahraga yang paling digandrungi, sepak bola telah menjadi kebutuhan pokok masyarakat bahkan 'agama'. Kerusuhan 14 Mei di Jakarta turut merenggut kenikmatan masyarakat untuk menyaksikan pertandingan bal-balan.

PSSI sebagai pemegang otoritas tertinggi sepak bola Indonesia terpaksa menunda/membatalkan kelanjutan kompetisi Liga Indonesia IV.

Mereka khawatir adanya penumpukan massa akan memunculkan kondisi-kondisi yang tidak kondusif dalam penyelenggaraan pertandingan.

Pemberhentian kompetisi tentu menimbulkan masalah baru yang tidak kalah pelik. Bagaimana dengan sikap AFC melihat kondisi krisis yang terjadi di Indonesia?