In-depth

Bak 'Lingkaran Setan', Sulitnya AC Milan Lolos dari Jerat Financial Fair Play

Jumat, 7 Juni 2019 16:49 WIB
Editor: Prio Hari Kristanto
© AS English - Diario AS
Pemain AC Milan tengah menyesali timnya yang kebobolan. Copyright: © AS English - Diario AS
Pemain AC Milan tengah menyesali timnya yang kebobolan.

INDOSPORT.COM - Raksasa Serie A Italia, AC Milan, terus menerus disibukkan dengan masalah Financial Fair Play. Setelah sanksi UEFA ditangguhkan, pada bulan April lalu pihak terkait kembali menemukan bukti pelanggaran baru yang dilakukan Milan. 

CEO AC Milan, Ivan Gazidis, pun terus bekerja keras untuk meyakinan UEFA sekaligus memastikan Milan sanggup menutup kerugian yang ada hingga batas akhir musim 2020/21.

Jika hal tersebut gagal dilakukan, sanki larangan tampil di kompetisi Eropa bakal diberlakukan kepada Milan pada musim 2022/2023 dan 2023/2024.

Milanisti pun bertanya-tanya, mengapa Milan terus-menerus berurusan dengan UEFA terkait masalah Financial Fair Play. Apa sebenarnya yang menyebabkan I Rossoneri begitu dipusingkan pada masalah ini?

Untuk itulah, kami coba membahas secara mendalam duduk persoalan yang membuat AC Milan bagaikan di tengah-tengah 'lingkaran setan' jerat Financial Fair Play

Apa itu Financial Fair Play?

Sebelum jauh melangkah, kita pahami dahulu secara seksama mengenai aturan Financial Fair Play (FFP). Aturan FFP pertama kali dikeluarkan tahun 2011 oleh UEFA yang saat itu diketuai Michel Platini. 

Tujuannya baik, yakni menyehatkan keuangan klub-klub sepak bola Eropa serta menghindari ketimpangan antarkesebelasan. 

Dengan aturan FFP, maka klub Eropa wajib menyehatkan keuangan klub. Artinya, klub mesti cermat dalam mengeluarkan uang (semisal untuk belanja pemain) agar tidak merugi atau bangkrut. 

Aturan FFP menghindari klub mengalami kerugian besar dan terlilit utang. Pasalnya, era industri sepak bola saat ini makin 'gila-gilaan'. Sebuah klub bisa membelanjakan uang ratusan juta euro dan berpotensi mengalami kerugian. 

Selain soal rugi-merugi, aturan FFP juga diberlakukan untuk menghindari ketimpangan antarklub.

Bayangkan saja jika klub seperti Man City atau PSG yang memiliki uang banyak tidak dibatasi pengeluarannya. Bisa-bisa semua pemain terbaik dunia dibeli oleh mereka. 

Aturan FFP diawasi oleh Badan Pengawas Keuangan Klub UEFA (CFCB). CFCB mengawasi keuangan klub-klub Eropa. Tiap bulan Desember, CFCB memberikan laporan kepada klub apakah klub tersebut telah aman dari FFP atau tidak. 

Jika kedapatan merugi, klub diberi kesempatan enam bulan untuk menyeimbangkan neraca keuangannya. Maka dari itu, pada musim panas (sekitar enam bulan setelah Desember) lazim dijumpai tim-tim yang menjual bintangnya dengan harga mahal demi menutup kerugian. 

Dengan adanya FFP, sebenarnya bukan berarti klub tak boleh merugi sama sekali. Hanya saja, ada jumlah kerugian yang dibatasi. 

Dalam tiga musim terakhir yang lalu (2015/16, 2016/17, 2017/18) UEFA memperbolehkan klub menderita kerugian maksimal sampai 30 juta euro. 

Pengeluaran yang dihitung dalam keseimbangan neraca keuangan FFP sendiri meliputi pembelian pemain, penggajian elemen klub (pemain, pelatih, staf, dsb), dan sejumlah hal lain. 

Ada pengeluaran yang tak dihitung dalam neraca keuangan FFP, yakni pembangunan/investasi stadion, infrastruktur latihan, dan pengembangan usia muda.  

Jadi, untuk memperbaiki neraca keuangan, tak hanya menjual pemain saja, tetapi bisa dengan mengurangi gaji. Akan tetapi, memang keuntungan dari penjualan pemain adalah yang paling besar. 

Selain menjual pemain, tentu saja klub bisa mendapatkan keuntungan dari tiket pertandingan, merchandise klub, hak siar, dan hadiah kompetisi. 

Awal Mula 'Kejatuhan' Milan

Semakin besar klub meraih prestasi maka semakin besar pemasukan yang didapat. Klub yang main dan apalagi menjuarai Liga Champions jelas bakal mendapatkan keuntungan yang sangat besar.

Tiap musimnya, Liga Champions selalu memberikan keuntungan bagi klub-klub peserta. Untuk musim lalu saja misalnya, bagi tim yang lolos ke fase grup sudah dimodali 15,25 juta euro. 

Jika ditotal, klub yang bisa mencapai babak final sanggup mengantongi hampir 50 juta euro.

Hal inilah yang Milan tidak miliki dalam sekitar lima musim terakhir. Jumlah penonton Milan di San Siro menurun karena I Rossoneri tak mampu bersaing di perburuan juara Serie A dan absen di Liga Champions. 

Milan tak mendapat uang keuntungan main di Liga Champions dan kekurangan pemasukan dari tiket, sponsor, dsb. Milan seakan menjadi tim medioker dan merugi.

Awal mula penyebabnya adalah kesulitan keuangan yang dialami oleh Silvio Berlusconi. Berlusconi terpaksa harus menjual bintang-bintangnya seperti Ibrahimovic dan Thiago Silva karena perusahaan miliknya, Fininvest, merugi. 

Milan mendapatkan uang 60 juta euro dari penjualan dua bintang tersebut. Sebagai gantinya, Milan cuma bisa mendatangkan bintang-bintang 'kelas dua' ke San Siro. Di sinilah rentetan musim kelabu Milan dimulai, tepatnya dari musim 2013/2014.   

Atas desakan suporter dan kondisi industri sepak bola Eropa yang makin gila-gilaan dalam pembelanjaan pemain, Berlusconi pun menjual Milan sebesar 740 juta euro (Rp11,9 triliun) ke taipan asal China, Yonghong Li, pada  April 2017.

Yonghong Li disambut bak penyelamat karena menjanjikan uang yang sangat banyak untuk membelanjakan pemain. Tak tanggung-tanggung, sekitar 200 juta euro siap dibelanjakan Milan untuk menyongsong musim 2017/18. 

Namun, alih-alih sebagai juruselamat, justru Yonghong Li-lah yang menyebabkan kehancuran pada klub AC Milan. 

1