x

Reformasi Sepak Bola Indonesia, Rasiman Bicara Waktu Kick Off, Mentalitas hingga Hillsborough

Senin, 17 Oktober 2022 07:50 WIB
Penulis: Nofik Lukman Hakim | Editor: Ilham Oktafian
Asisten Pelatih Persis Solo, Rasiman, masih tak menyangka dengan apa yang terjadi di Stadion Kanjuruhan, 1 Oktober 2022 lalu. Ia berharap upaya reformasi sepak bola Indonesia mengikuti jejak Inggris tentang efek Hillsborough.

INDOSPORT.COM - Asisten pelatih klub Liga 1, Persis Solo Rasiman masih tak menyangka dengan apa yang terjadi di Stadion Kanjuruhan, 1 Oktober 2022 lalu. Ia berharap upaya reformasi sepak bola Indonesia mengikuti jejak Inggris tentang efek Hillsborough.

Tragedi Kanjuruhan menewaskan 130 suporter dan dua anggota Polri. Kejadian setelah Arema FC kalah dari Persebaya Surabaya 2-3 bukan sekadar menghentikan Liga 1 2022-2023.

Baca Juga

Tragedi Kanjuruhan mendapat perhatian dari seluruh dunia. Bahkan, beberapa pertandingan Eropa, termasuk Liga Champions, sempat diawali dengan prosesi mengheningkan cipta.

Tragedi ini menimbulkan dorongan kuat agar ada reformasi secara menyeluruh pada sepak bola Indonesia. Reformasi ini diperlukan agar kedepan tak terjadi lagi peristiwa seperti Tragedi Kanjuruhan.

Dorongan agar reformasi sepak bola Indonesia salah satunya datang dari Rasiman. Sebagai salah satu sosok yang ikut menyaksikan jalannya laga Arema FC melawan Persebaya, Rasiman sangat terkejut dengan imbas setelahnya.

Baca Juga

"Mari kita muhasabah. Mudah-mudahan kita semua bisa belajar agar tidak terulang lagi kedepannya, karena efek kejut atas kejadian ini sangat luar biasa. Saya nonton siaran langsungnya, saya pikir biasa-biasa saja. Begitu tidur, bangun-bangun sudah 100 orang lebih. Itu seperti mimpi bagi saya," ucap Rasiman.

Ada banyak perdebatan mengenai reformasi seperti apa yang dibutuhkan sepak bola Indonesia. Menurut Rasiman, waktu kick off tak bisa disalahkan atas Tragedi Kanjuruhan.

"Sekarang apa bedanya main jam 5, main jam 7, main jam 9, menurut saya tidak ada bedanya. Kejadian di Kanjuruhan itu kebetulan malam. Tapi pada event lain sebelumnya, ada juga kejadian yang itu sore hari," tutur Rasiman.

Baca Juga

"Bagi saya, revolusi ini lebih ke mentalitas. Memperbaiki kualitas sepak bolanya. Mulai dari pengelolaan klub, pengelolaan suporter, sehingga suporter yang sangat besar di Indonesia ini bisa dikelola menjadi benefit yang luar biasa," lanjut Rasiman.

Dari aspek teknis, sepak bola Indonesia lebih bagus ketika dimainkan malam hari. Pasalnya, sebagai negara tropis, kelembaban dan suhu yang ada di Indonesia berbeda dari negara Eropa.


1. Singgung Tragedi Hillsborough

Caretaker Persis Solo, Rasiman. Foto: Persis Solo

Dari pengalamannya ketika berada di Inggris, Rasiman melihat para pemain tampak nyaman ketika memainkan laga pukul 12.00 waktu setempat. Pasalnya, suhu dan kelembaban berbeda dengan Indonesia.

"Apa yang dilakukan Liga Malaysia itu sangat betul bahwa semua laga kompetisi teratas main malam, untuk menunggu suhunya turun, sehingga intensitas pertandingan menjadi lebih baik. Di Indonesia, main sore, suhunya bisa 34-35 derajat, bagi saya itu bukan tempat yang standar buat bermain sepak bola," jelas Rasiman.

Baca Juga

Makanya, sejak awal Rasiman lebih fokus pada mentalitas orang-orang yang ada di sepak bola. Ketika semua pihak bisa melihat dengan cara yang benar, maka Tragedi Kanjuruhan tak akan terulang lagi.

"Sebetulnya ini lebih ke reformasi manusianya dan cara berpikir kita semua bagaimana melihat sepak bola itu seperti apa," jelas Rasiman.

Rasiman juga tak ingin ada pihak-pihak yang saling menyalahkan. Tragedi Kanjuruhan harus dijadikan momentum bagi sepak bola Indonesia untuk bangkit.

Baca Juga

"Menurut saya pribadi, yang salah itu bukan jam kick off, tapi yang salah itu kita semua. Di Indonesia ini belum sadar bahwa fanatisme itu harus dikelola dengan baik," ucap Rasiman.

Inggris juga sejatinya memiliki fanatisme yang brutal lewat tingkah para hooligan. Ada banyak keributan yang melibatkan para suporter. Namun, semua berubah setelah Tragedi Hillsborough.

Tragedi sebelum laga Nottingham Forest melawan Liverpool pada 15 April 1989 itu menewaskan 97 orang. Seluruh korban merupakan pendukung Liverpool yang berdesak-desakan untuk masuk tribun. Setelah tragedi itu, tingkat keamanan dan kenyamanan sepak bola Inggris diperbarui. Tak ada lagi pagar tinggi sebagai pembatas antara tribun dengan lapangan Tribun berdiri juga sudah dihilangkan.

Baca Juga

"Suporter itu kekuatan ekonomi. Tanpa mereka klub juga repot, karena pengeluaran klub untuk menyelenggarakan pertandingan dan operasional klub itu juga sangat besar, sehingga suporter itu bagian integral dari klub," ucap Rasiman.

"Mudah-mudahan dengan pembinaan yang baik oleh pemerintah, FIFA, maupun PSSI, kita akan berubah, seperti halnya di Inggris, setelah tragedi Hillsborough, rasanya tidak ada lagi hooligan bertempur di lapangan," pungkasnya.

Persis SoloLiga IndonesiaLiga 1RasimanTragedi Kanjuruhan

Berita Terkini