Kisah Sarengat, Frustasi jadi Kiper Beralih Jadi Legenda Lari Indonesia
Sarengat telah mengharumkan nama Indonesia dengan memecahkan rekor lari se-Asia dan dua emas di tangannya pada Asian Games keempat tahun 1962. Sejak itu, dia menjadi perhatian banyak pihak.
Presiden Soekarno, yang saat itu sedang menggencarkan nilai-nilai nasionalisme, memujinya karena telah membangun karakter bangsa di mata dunia, lewat olahraga. Bung Karno bahkan mengandalkan Sarengat dalam mejalankan misi Nation Character Building, yang diembannya saat itu.
Jasa Sarengat terhadap negara juga telah membuat namanya dijadikan sebagai stadion berkapasitas 15.000 orang di kampung halamannya, Batang, Jawa Tengah. Stadion M. Sarengat ini menjadi markas bagi tim Persibat Batang, dan menjadi salah satu simbol kebanggan masyarakat Batang.
Namun apa yang telah Sarengat capai ternyata memiliki sejumlah cerita emosional. Setelah mengupas sepak terjangnya, Kamis lalu, kali ini INDOSPORT mengajak pembaca kembali mengenang pelari pertama asal Indonesia yang menjadi tercepat di Asia itu.
1. Frustasi Sebagai Kiper Tim Sekolahnya
Sebelum masuk ke cabang olahraga atletik, Sarengat hobi bermain tenis dengan ayahnya, Prawirosuprapto, yang berprofesi sebagai guru. Di sela-sela kesibukan mengajar, ayahnya kerap mengajak Sarengat bermain tenis dengan bola tenis bekas dan raket seadanya. Tetapi itu hanya sekadar hobi.
Ketertarikan Sarengat sebenarnya adalah sepakbola. Hal itu karena dia terinspirasi oleh pamannya, Mursanyoto, yang saat itu menjadi kiper timnas PSSI. Melihat pamannya dapat membela negara, dia kemudian bertekad untuk mengikutinya.
Waktu itu dia masih di bangku sekolah dasar. Sarengat masuk ke dalam tim sepakbola sekolahnya dan selalu berlatih keras. Dia terus menguras tenaga agar bisa menjadi seorang kiper yang handal.
Ketekunannya itu berlanjut sampai dia SMP. Tetapi, saat itu Sarengat menerima kenyataan bahwa kemampuannya masih lebih buruk dari pada kiper lainnya. Dia pun kemudian selalu duduk di bangku cadangan.
Namun Sarengat tidak mau menyerah. Hari demi hari dia habiskan untuk berlatih, dan terus berlatih.
Sampai akhirnya, saat kelas tiga SMP, ternyata usaha keras Sarengat tetap gagal. Dia masih tidak dipercaya oleh pelatihnya untuk menjadi kiper utama.
Sarengat pun menerima kenyataan pahit itu saat SMA, dan memilih untuk pindah ke cabang olahraga lain, yakni atletik.
2. Gelisah karena Pendidikan
Saat SMA di Surabaya, Sarengat mengikuti kejuaraan lari nasional. Dia mencetak banyak prestasi dalam olahraga ini. Hal itu kemudian membuatnya dipanggil mengikuti pelatnas untuk Asian Games dan Olimpiade di Jakarta.
Dia pun melanjutkan sekolahnya di Ibu Kota. Namun, karena fokus menjalani latihan di pelatnas, Sarengat harus menomorduakan pendidikannya. Padahal dia ingin sekali segera menyelesaikan pendidikan agar fokusnya terhadap olahraga tidak terganggu.
Namun setiap pilihan selalu punya konsekwensi. Karena memilih olahraga, Sarengat akhirnya gagal lulus dalam ujian sekolah. Ini kemudian membuatnya gelisah dan sempat berpikir untuk meninggalkan dunia olahraga.
Tetapi, karena hasrat pada olahraga begitu menggebu-gebut saat itu, dia tetap melanjutkan karirnya dan mengesampingkan pendidikan.
Sarengat akhirnya lulus SMA setelah tiga kali mengikuti ujian akhir sekolah.
Kendati demikian, masalahnya dengan dunia pendidikan tidak berakhir di situ. Saat kuliah kedokteran di Universitas Indonesia, Sarengat mengalami masalah yang sama. Bedanya, pendidikan tingginya harus diselesaikan dengan waktu yang lebih lama lagi, yakni 10 tahun.
3. Momok Menakutkan Bagi Anaknya
Sarengat disukai banyak orang karena pribadinya menyenangkan. Bukan hanya itu, dia juga memiliki sifat rendah diri, meski telah mendapatkan banyak prestasi. Sebab, baginya dia tetap seorang biasa.
Tetapi di mata anak laki-lakinya, Andung Sarengat, dia adalah momok menakutkan. Sarengat yang tidak suka berbicara banyak, sering menulis catatan di selembar kertas, lalu menempelkannya di lemari.
Catatan tersebut berisi peringatan-peringatan kepada anaknya yang badung. Sikap itu kemudian membuat Andung sering berpikir sendiri, dan takut berhadapan dengan ayahnya.
Andung yang badung bahkan sempat membuat Sarengat tidak mau berbicara dengannya. Mereka seperti kucing dan anjing. Bila ingin berbicara, mereka memerlukan pihak ketiga, yakni ibu Andung.
Sampai akhir hayat Sarengat, 13 Oktober 2014, Andung belum bisa memberikan kado indah. Tetapi anaknya itu puas karena bisa menjaga ayahnya selama tiga minggu di rumah sakit.