x

Olympic Black Power Salute: Saat Olimpiade Jadi Panggung Perjuangan Ras

Rabu, 16 November 2016 14:18 WIB
Editor: Dery Adhitya Putra

Kurang lebih 48 tahun lalu, tepatnya pada Oktober 1968, sebuah kota di Amerika Utara, Mexico City mendapat kehormatan menjadi tuan rumah Olimpiade.

Gelaran ke-16, seharusnya ke-19 namun edisi keenam, 12, dan 13 dibatalkan akibat Perang Dunia I dan II, ajang kompetisi olahraga berskala internasional yang diadakan empat tahun sekali itu bisa disebut sebuah peristiwa bersejarah.

Olimpiade 1968 menjadi olimpiade pertama yang diselenggarakan di negara Amerika Latin. Kompetisi olahraga yang pada saat itu diikuti oleh 112 negara dari berbagai belahan dunia tersebut juga pertama kali diadakan di negara yang menggunakan bahasa hispanik, atau bahasa spanyol.

Untuk urusan venue, Olimpiade yang berlangsung di ibu kota Meksiko itu juga menjadi yang pertama dalam menggunakan smooth track untuk cabang olahraga atletik. Pada penyelenggaraan sebelumnya, para atlet cabang olahraga atletik harus berkompetisi di cinder track, atau trek yang dibentuk dari kumpulan kerikil halus yang saat ini dipakai untuk pacuan kuda.

Namun, berbagai catatan sejarah tersebut kerap dilupakan oleh orang-orang akibat sebuah peristiwa kontroversial. Selang empat hari setelah upacara pembukaan yang berlangsung pada 12 Oktober, dua orang pelari dari Amerika Serikat membuat dunia tersentak akibat ulah mereka.

Kala itu, Tommie Smith dan John Carlos sukses mengharumkan nama Amerika usai berhasil finish di urutan pertama dan ketiga pada cabang lari 200 meter. Kesuksesan tersebut membuat mereka mendapat kehormatan untuk menaiki podium guna menerima medali.

Tidak ada masalah saat David George Brownlow cecil, mantan atlet yang berpartisipasi pada Olimpiade Amsterdam 1928 dan Olimpiade Los Angeles 1932, mengalungi kedua atlet tersebut dengan medali. Apa yang terjadi setelah proses tersebut lah yang dianggap banyak orang sebagai sebuah aksi kontroversial.

Saat lagu kebangsaan Amerika Serikat, The Star-Spangled Banner, berkumandang untuk merayakan kemenangan Smith dan Carlos, tanpa diduga kedua atlet tersebut mengangkat satu tangan mereka, yang dibalut oleh sarung tangan hitam, sembari mengepalkan tinju. Smith dan Carlos terus mempertahankan pose, yang disebut banyak orang sebagai salah satu momen paling ikonis dalam sejarah, tersebut hingga lagu selesai diputar.

"Saat orang-orang menyaksikan apa yang kami lakukan pada saat itu, mereka hanya mampu terdiam sebelum akhirnya bisa mencerna apa yang sebenarnya sedang terjadi," ucap Carlos, yang saat ini berusia 71 tahun, saat diwawancarai oleh Telegraph Agustus lalu.

"Saya dan Smith berada di area terbuka. Jika ada orang yang ingin menembak kami, mereka seharusnya bisa melakukannya saat seisi stadion sedang senyap. Tentu saja peluru itu tidak pernah ada, sebagai gantinya kami menerima kebencian. Mereka murka akibat hal yang kami lakukan."

Apa yang sebenarnya terjadi sehingga kala itu dunia begitu membenci aksi Tommie Smith dan John Carlos? Mengapa pose yang dilakukan oleh kedua pelari asal Amerika tersebut dianggap sangat kontroversial?

Berikut ulasan INDOSPORT mengenai latar belakang momen yang dikenal banyak orang dengan sebutan Olympic Black Power Salute tersebut.


1. Gerakan Hak Sipil Kaum African-American

Perang Sipil Amerika Serikat.

Sebelum terjadinya Perang Sipil di Amerika Serikat pada 1861 hingga 1865, orang-orang kulit hitam benar-benar diperlakukan bagaikan manusia kelas dua di Amerika.

Berdasarkan data Wikipedia, hampir empat juta orang kulit hitam dianggap sebagai budak di bagian selatan Negeri Paman Sam. Diskriminasi tidak berhenti sampai di situ. Karena hanya dianggap budak, orang-orang berkulit hitam juga tidak mendapat hak untuk menyumbangkan suara mereka dalam pemilihan umum dan tidak diperbolehkan mendapatkan kewarganegaraan Amerika Serikat.

Usai perang sipil yang disebut menelan korban kurang lebih 750 ribu jiwa- jumlah yang lebih besar dibandingkan total tentara Amerika yang gugur pada Perang Dunia pertama dan kedua, tersebut, barulah masyarakat kulit hitam lepas dari perbudakan, bisa menjadi warga negara Amerika Serikat, dan ikut berpartisipasi dalam pemilu berkat diputuskannya amandemen ke-13, 14, dan 15.

Gerakan sipil yang pertama yang berlangsung selama 30 tahun, mulai 1865 hingga 1895, tersebut berlanjut pada pertengahan abad ke-20. Perjuangan kali ini diawali oleh tuntutan yang dilayangkan National Association for the Advancement of Colored People (NAACP)-sebuah organisasi yang dibentuk pada tahun 1901 untuk melawan diskriminasi ras melalui proses hukum, pendidikan, dan lobi politik, kepada Pemerintah Kota Virginia.

Aksi tersebut, yang berlangsung pada 1954, dilakukan oleh NAACP setelah melihat bagaimana buruknya kondisi bangunan sekolah untuk masyarakat kulit hitam. Perlawanan yang dilakukan NAACP atas supremasi masyarakat kulit putih menginspirasi pergerakan kaum kulit berwarna di berbagai wilayah Amerika, seperti Tennessee, Arkansas, dan texas.

Perjuangan yang dilakukan kaum African-American selama lebih dari satu dekade, mulai 1954 hingga 1968, itu melahirkan beberapa tokoh penting yang perjuangannya patut diingat, seperti Imamu Amiri Baraka (LeRoi Jones), Malcolm X, dan Martin Luther King Jr. Nama-nama tersebut dianggap punya peran penting hingga masyarakat kulit berwarna bisa hidup setara dengan warga kulit putih di Amerika Serikat hingga saat ini.


2. Kampanye Damai Martin Luther King Jr.

Martin Luther King Jr. dalam peristiwa March on Washington for Jobs and Freedom (28/08/63)

Lahir pada 15 Januari 1929, di Atlanta, Amerika serikat, sebagai hasil buah kasih pasangan Martin Luther King dan Alberta williams King, Martin Luther King Jr. tumbuh sebagai seorang Kristen taat. Latar belakang ayahnya yang merupakan seorang pendeta memiliki dampak besar pada pandangan hidup pria yang memegang gelar doktoral di bidang Teologi tersebut.

Sebagai aktivis kemanusiaan dan African-American, Martin Luther cukup vokal dalam menyarakan nasib buruk yang melanda kaumnya. Namanya mulai dikenal luas setelah terlibat dalam peristiwa Montgomery bus boycott pada 1955.

Kala itu, seorang wanita bernama Rosa Parks, yang merupakan sekretaris NAACP cabang Montgomery, Alabama, harus pasrah ditahan oleh pihak yang berwajib setelah menolak untuk memberikan kursi pada seorang penumpang berkulit putih.

sebagai respon atas perlakuan yang diterima Parks, Martin Luther, bersama rekannya Edgar Daniel Nixon, melakukan boikot kepada bus-bus di Montgomery untuk meminta diberlakukannya sistem di mana semua penumpang bus diperlakukan secara adil.

Dua tahun setelah peristiwa boikot tersebut, Martin Luther dan beberapa rekannya mendirikan Southern Christian Leadership Conference (SCLC). Kelompok ini didirikan dengan tujuan mengorganisir gereja warga kulit hitam untuk melakukan protes terkait hak asasi warga ras African-American dengan cara damai.
 


Martin Luther menjadi tokoh sentral dalam pergerakan masyarakan kulit hitam pada tahun 1960-an

Melalui prinsip yang dipegang teguh oleh SCLC, Martin Luther percaya bahwa protes secara damai dan terorganisir bakal lebih mampu menyampaikan pesan mengenai diskriminasi yang dialami masyarakat kulit hitam. Cara tersebut terbukti berhasil, karena masyarakat Amerika akhirnya menaruh simpati dan berpikir bahwa gerakan hak sipil untuk ras African-American merupakan isu terpenting dalam kancah politik Negeri Paman Sam pada awal 1960-an.

Puncak kesuksesan Martin Luther dalam mengampanyekan kesetaraan hak terjadi pada peristiwa March on Washington for Jobs and Freedom tahun 1963. Dalam peristiwa itulah Martin Luther menyampaikan pidato "I Have a Dream" miliknya yang terkenal.

Penerapan taktik protes secara damai dan prinsip Kristen Kiri yang dibawa oleh Martin Luther dalam setiap kampanye yang dilakukannya memberikan dampak besar dalam pergerakan hak sipil di Amerika.

Meski begitu, bukan berarti tidak ada penolakan dari ras kulit hitam sendiri, salah satunya oleh Nation of Islam. Kampanye damai yang diusung Martin Luther dinilai terlalu lembek, karena beberapa kaum militan kulit hitam berpikir bahwa kekuasaan hanya bisa diraih melalui kekuatan dan kekerasan, bukan melalui integrasi seperti yang diterapkan Martin Luther.

Perjuangan Martin Luther terhenti saat dirinya secara mengejutkan menjadi korban kebiadaban pria kulit putih asal Illinois yang bernama James Earl Ray. Martin Luther tewas akibat peluru yang menembus pipi, rahang, saraf tulang belakang, sebelum akhirnya bersarang di pundaknya.


3. Pemberontakan Minggu Suci

Kerusuhan yang terjadi di Baltimore, Maryland, usai terbunuhnya Martin Luther King Jr. pada 1968.

Kabar terbunuhnya Martin Luther King Jr. sontak memancing pergerakan di seluruh Amerika Serikat. Merasa murka dengan perlakuan yang diterima Martin Luther, ratusan ribu orang melakukan aksi huru-hara di beberapa kota besar di Amerika Serikat, seperti Washington D.C., Chicago, Baltimore, Kansas City, dan New York.

Sebagai sosok pemimpin pergerakan rakyat sipil yang dicintai oleh kaumnya, kepergian Martin Luther ditakuti akan memberikan efek buruk dalam perjuangan yang mereka lakukan selama ini.

Banyak yang berpikir gaya Martin Luther yang damai dan anti kekerasan dalam setiap kampanya yang dilakukannya akan berakhir bersamaan dengan nyawanya. Tidak hanya masyarakat kulit hitam kelas bawah yang ikut berpartisipasi dalam kerusuhan, kelas menengah juga ambil bagian dalam demonstrasi yang menentang ketidakadilan sistem yang saat itu berlaku di Amerika Serikat.

Meski berbagai media menyebut kerusuhan saat tersebut sebagai 'pemberontakan ras', dilansir dari Wikipedia, hanya ada sedikit bentrok yang terjadi antara warga kulit putih dan kulit hitam. Kendati bangunan milik warga kulit putih menjadi target kerusuhan, para demonstran tidak menghancurkan gedung publik seperti sekolah dan gereja.

Setelah puluhan nyawa melayang, ribuan orang mengalami luka-luka, serta ribuan gedung hancur di berbagai kota di Amerika, untuk meredam amarah massa, pada 11 April 1968 Presiden ke-36 AS, Lyndon Baines Johnson, akhirnya menandatangani Civil RIghts Act of 1968.

Keputusan presiden yang juga dikenal dengan nama Fair Housing Act tersebut menjamin bahwa setiap orang, tidak peduli dari ras, agama, atau bangsa apapun, memiliki kesempatan yang sama untuk memiliki rumah.


4. Respon Komite Olimpiade

Avery Brundage berbicara pada Olimpade Munchen 1972.

Aksi Tommie Smith dan John Carlos mendapat respon negatif dari Komite Olimpiade Internasional (IOC). Menurut Presiden IOC, Avery Brundage, Smith dan Carlos telah mencemari penyelenggaraan Olimpiade dengan pesan-pesan politik.

Sebagai hukuman, Brundage meminta agar kedua atlet asal Amerika Serikat tersebut diskors dari Tim Amerika dan dilarang untuk memasuki kampung atlet olimpiade. Namun, Komite Olimpiade Amerika Serikat menolak rekomendasi tersebut, sehingga IOC mengancam akan menghukum seluruh tim lari Amerika. Pada akhirnya, Smith dan Carlos didiskualifikasi dari olimpiade.

"Kami hanya sesosok manusia yang merasa perlu untuk memberitahu dunia mengenai ketidaksetaraan dan ketidakadilan yang terjadi di Amerika Serikat," ucap Smith dalam film dokumenter mengenai Olimpiade 1968 produksi sebuah stasiun tv swasta, Home Box Office (HBO).

"Saya tidak menyukai pemikiran orang-orang yang melihat aksi kami sebagai sesuatu yang negatif. Kami hanya mengangkat tangan ke atas dan menundukkan kepala. Kami memberikan hormat kepada bendera Amerika, bukan menunjukkan kebencian kepadanya."
 


Salam ala Nazi pada Olimpiade Berlin 1936

Keputusan yang diambil oleh Brundage kala itu juga menjadi perbincangan. Pasalnya, mantan Presiden Komite Olimpiade Amerika Serikat tersebut memberi perlakuan yang berbeda saat atlet asal Jerman melakukan salam ala Nazi pada Olimpiade Berlin 1936.

Kala itu, Brundage beralasan bahwa salam Nazi saat ity merupakan salam yang berlaku secara nasional di Jerman, sehingga tidak perlu ditolak. Sementara pose yang dilakukan oleh Smith dan Carlos bagi pria kelahiran Detroit, Michigan, 28 September 1887 tersebut bukan merupakan salam khas Amerika. Atas alasan tersebut, maka dirinya beranggapan wajar jika aksi kedua pelari asal Amerika tersebut tidak bisa diterima.

Brundage memang dikenal banyak pihak sebagai salah satu warga Amerika Serikat yang paling menonjol dalam memberikan dukungan terhadap Nazi. Bahkan setelah Perang Dunia Kedua pecah, Presiden Komite Olimpiade Internasional kelima tersebut tetap vokal dalam menunjukkan aksinya sebagai simpatisan partai politik yang sempat dipimpin oleh Adolf Hitler itu.

Amerika SerikatOlimpiadeLariFlashbackOlimpiade Meksiko 1968Tommie SmithJohn CarlosMartin Luther King Jr.

Berita Terkini