x

Rencana Full Day School dan Dampaknya untuk Atlet Muda Indonesia

Kamis, 11 Agustus 2016 11:42 WIB
Editor: Galih Prasetyo

Banyak dampak yang bakal ditimbulkan jika Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Muhadjir terapkan sistem full day school. Dampak positif dan negatif tidak hanya akan dirasakan oleh peserta didik namun juga orang tua peserta didik. 

Menteri Muhadjir beralasan ada tiga alasan mengapa ia ingin terapkan sistem tersebut. Yang pertama, pada jam tambahan siswa tidak mendapat tambahan jam pelajaran, hanya kegiatan ekstrakulikuler. Yang kedua, orang tua yang bekerja dan bisa menjemput anaknya ke sekolah. 

Yang terakhir, full day school menurut Muhadjir bisa membantu sertifikasi guru. Alasan yang terbilang cukup masuk akal. Namun apakah Menteri Muhadjir sudah mempertimbangkan soal atlet muda yang juga harus membagi waktunya untuk latihan dan sekolah? 

Apakah ada dampak yang bakal diterima oleh atlet muda saat full day school benar-benar diterapkan? 

Berikut analisisnya untuk pembaca setia INDOSPORT.COM


1. Membagi waktu latihan dan kejar ilmu

ilustrasi latihan atlet muda

Bagi atlet yang masih menimba ilmu di bangku sekolah rencana full day school tentu akan berefek untuk jadwal latihan mereka. Sejumlah atlet muda normalnya menghabiskan waktu mereka untuk latihan 4-5 jam. 

Waktu itu mereka gunakan untuk latihan fisik dan latihan teknik lainnya. Jika ditambah dengan waktu sekolah dengan menerapkan aturan full day school, satu orang atlet muda tiap harinya akan menghabiskan waktu 17 jam untuk menimba ilmu dan latihan demi mengejar prestasi. 

Pembagian waktu latihan dan bekal di masa depan tentu jadi permasalahan tersendiri jika full day school diterapkan. Full day school belum berlaku saja, sejumlah atlet muda sudah sedikit kesulitan soal pengaturan waktu tersebut. 

Misalnya, atlet dari cabang drumband Jabar. Dilansir dari bandung.pojoksatu.id, pelatih cabor drumband Jabar, Arcil Sukarno mengatakan, 

“Sebenarnya ketika jadwal latihan semua atlet wajib datang tapi karena ada yang masih sekolah dan pulangnya sore mau bagai mana lagi,” kata Arcil. 

Terpisah, Amalia Fitriyani Haryanto mengatakan, dirinya yang masih kelas 2 SMA harus pintar-pintar membagi waktu antara jadwal latihan dan waktu belajar di sekolah. Tapi dia tidak merasa terganggu karena pihak sekolah mendukung dengan kegiatannya. 

Maka, untuk meminta ijin meninggalkan pelajaran selalu diperbolehkan selama ada surat dari pelatih Cabor, KONI Jabar kemudian pernyataan dari orang tua.

Kondisi ini tentu akan mempengaruhi mental dan psikis atlet muda. Kasus atlet China, Zhang Shan, salah satu atlet muda berprestasi di Olimpiade Pelajar dari cabang senam. Zhang yang memilih untuk tidak melanjutkan pendidikan karena sistem pendidikan di China yang terlampau ketat dan memakan waktu berakhir dengan mengemis di jalan. 

Laporan dari pravdareport.com terkait kondisi anak-anak di China yang harus melepas masa bermain dan tumbuh kembangnya karena belajar dan mengejar prestasi tentu tidak ingin terulang di Indonesia. 

Menurut pravdareport.com, ribuan anak di China ingin mewujudkan bisa menjadi juara Olimpiade dengan menghabiskan waktu dengan latihan di sekolah olahragam namun nasib mereka berakhir tragis.


2. Pendidikan dan prestasi seiring sejalan

Pecatur cilik Indonesia Aditya Bagus Arfan saat akan bertolak ke Rusia untuk mengikuti Yakutsk 2016 Children of Asia Internasionl Sport Games di Rusia.

Salah satu orang tua atlet muda berprestasi, Aditya Bagus, Eka Prasaja tidak mau berkomentar lebih detail soal rencana Menteri Muhadjir. Ia hanya mengatakan bahwa yang terpenting untuk atlet muda ialah pendidikan dan prestasi harus seiring sejalan. 

"Bagi saya pendidikan tetap perlu bagi seorang atlet. Harus ada keseimbangan antara pendidikan dan prestasi," kata orang tua yang anaknya baru mengikuti ajang Yakutsk 2016 Children of Asia Internasional Sport Games di Rusia beberapa waktu lalu. 

Eka mencontohkan di sejumlah negara maju bidang olahraga. Negara-negara tersebut mampu mencetak atlet muda berprestasi namun pendidikan untuk para atlet ini tetap jalan. 

"Mereka selepas belajar di sekolah baru belajar untuk prestasinya (latihan)," kata Eka saat dihubungi INDOSPORT

Eka menambahka untuk saat ini, Adit yang tercatat bersekolah di Bekasi tersebut tiap harinya latihan catur selepas pulang sekolah. 

"Saat ini Aditya latihan sendiri karena guru-guru caturnya tengah fokus persiapan PON. Adit belajar dari buku catur berbahasa Inggris dan saya bantu menerjemahkannya. Poinnya kemandirian Adit untuk latihan dan belajar secara mandiri sudah terbangun," kata Eka. 


3. Membangun kesamaan paradigma

Untuk solusi konkritnya jika aturan full day school berlaku ialah kesamana paradigma antara stakeholder. Menteri Pendidikan harus bisa bersinergis dengan Menteri Pemuda dan Olahraga, pun dengan di tingkatan paling bawah. 

Pusat pendidikan seperti sekolah harus bisa bersinergis dengan program Menpora. Tercatat baru daerah Kalimantan Timur yang bisa meleburkan Pusat Pendidikan dan Latihan Pelajar (PPLP) yang program Kementerian Pemuda dan Olahraga ke dalam Sekolah Khusus Olahragawan Internasional (SKOI). 

"PPLP memiliki tujuan yakni melakukan pembinaan atlet usia dini, tujuan yang sama persis dengan didirikannya SKOI Kaltim, oleh karenanya Dispora sebagai wadah yang menaungi keduanya berpikir untuk meleburkan menjadi satu, dengan harapan bentuk pelartihan yang diberikan sama sehingga hasil yang didapat jadi jauh lebih maksimal", ungkap Kepala Dispora Kaltim, Fachruddin Djaprie seperti dilansir dari disporakaltim.info

Sekolah Khusus Olahraga InternasionalPusat Pendidikan, Pelatihan, dan Sekolah Olahraga Nasional (P3SON)AtletSekolah Khusus Atlet RagunanCaturIn Depth SportsAditya Arfan Bagus

Berita Terkini