x

Mengenang Era Keemasan Olahraga Indonesia Sebelum Luluh Lantak Pasca G30S

Jumat, 30 September 2016 11:06 WIB
Editor: Galih Prasetyo

Meletusnya peristiwa G30S yang terjadi pada 1965 silam membuat negeri ini alami banyak perubahan. Peristiwa yang disebut oleh sebagian orang sebagai tragedi ini tidak hanya menyisakan duka dan misteri tapi juga meluluhlantakkan konsep-konsep pembangunan segala bidang yang digagas oleh Sukarno. 

Salah satu konsep yang luluh lantak ialah konsep Sukarno soal olahraga nasional. Sukarno memang tak main-main untuk memajukan olahraga nasional. Ia mengeluarkan sejumlah kebijakan kuat untuk menopang tujuannya menjadikan olahraga nasional sebagai pembangun karakter bangsa serta jadi alat pemersatu. 

Sukarno bahkan pada pidato 17 Agustus 1957 sempat mengatakan bahwa pendidikan jasmani dan olahraga sangat penting untuk pembangunan nation building. Sukarno menganggap bahwa olahraga tidak hanya urusan negara tapi juga sebagai staatsplicht (keharusan negara). 

Pernyataan Sukarno ini kemudian diaplikasikan oleh Kementerian Olahraga (dulu masih bernama Departemen Olahraga) saat itu dengan sebuah kebijakan soal rencana pembinaan keolahragaan yang dinamai 'Rencana 10 Tahun Olahraga'.

Masih banyak lagi konsep dan rencana dari Sukarno untuk olahraga nasional, sayang semua itu luluh lantak usai malam berdarah, 01 Oktober 1965 atau kita mengenal dengan istilah G30S.

Berikut sejumlah kebijakan dan konsep Sukarno di bidang olahraga yang kini hanya jadi kenangan akibat meletusnya huru hara 1965 untuk pembaca setia INDOSPORT: 


1. Membangun era keemasan olahraga nasional

Dr. Ir. H. Soekarno adalah Presiden Indonesia pertama.

Mantan Sekretaris Eksekutif Commitee (EXCO) PSSI, Sarluhut Napitupulu dalam tulisannya di Tempo yang berjudul 'Revolusi Prestasi Olahraga' menyebut pada era Sukarno, tidak bisa dipungkiri bahwa olahraga nasional mencapai era keemasannya. 

"Masa keemasan olahraga itu bisa terjadi tak lain akibat kemauan politik pada zaman itu didukung penuh oleh presidennya untuk membangun olahraga dan diimplementasikan oleh para menteri-menteri dan disambut penuh oleh masyarakat. Saat itu memang olahraga diyakini bisa membentuk manusia baru yang sehat mental dan fisik dan menaikkan prestise negara. Selain itu, Depora memang benar-benar bertugas dan berfungi hanya mengurus olahraga." tulis mantan EXCO PSSI periode 2011-2013. 

Indonesia era kepemimpinan Sukarno memang berada di semangat revolusi di banyak bidang, olahraga salah satunya. Sukarno menurut Sarluhut menjadikan olahraga sebagai instrumen revolusi pembangunan dalam konteks olahraga sebagai nation and character building

Kondisi ini yang kemudian mendorong terbentuk lembaga yang jadi cikal bakal Kementerian Olahragaa (Kemenpora). Melalui Keputusan Presiden (Keppres) nomor 94 Tahun 1962 tanggal 07 Maret 1962 terbentuklah Departemen Olahraga (Depora). 

Tidak hanya itu, menurut tokoh olahraga nasional yang memiliki peran penting membangun olahraga nasional era 60-an, M.F. Siregar dalam bukunya 'M.F. Siregar, matahari olahraga Indonesia', menyebut bahwa kebijakan untuk mencipta masa keemasan olahraga dijabarkan dalam bentuk kurikulum yang bertujuan secara menyeluruh, dapat diikuti oleh peserta didik, dan bersifat menumbuhkan nilai-nilai dasar seperti sportivitas. 

Itu dalam ranah pendidikan, di luar itu, Sukarno dan jajarannya di Depora juga mengembangkan apa yang dinamakan olahraga karya. Olahraga karya diciptakan bertujuan mengembangkan bakat olahraga di salah satu cabang olahraga dan memperkuat kompetisi di tingkatan sekolah hingga universitas. 

Bahkan di era Sukarno, menciptakan suasana kompetisi olahraga dan menjaring atlet muda, terdapat Persatuan Olahraga Pelajar Seluruh Indonesia (POPSI) di tiap sekolah. 

Menurut penulis, Christopher Adams dalam bukunya berjudul 'Pancasila: Sport and the Building of Indonesia - Ambitions and Obstacles', Sukarno sukses meletakkan landasan penting di bidang olahraga. 

"Soekarno melihat urgensi menggunakan Pancasila sebagai dasar negara Republik Indonesia. Tidak hanya itu, ia melihat harus ada pengikat lain yang secara nyata bisa dilihat hasilnya yakni lewat prestasi olahraga” tulis Adams. 


2. Dari Silifotze ke Majapahit

Suasana pembukaan Asian Games IV 1962 yang berlangsung di Jakarta.

Sukarno memandang bahwa olahraga lebih dari sekedar olah jasmani, jauh lebih besar sehingga meliputi cita-cita sebuah bangsa. 

Ada satu kutipan menarik dari Sukarno tentang olahraga yang bertautan dengan cita-cita bangsa Indonesia sebagai bangsa yang merdeka dan berdaulat, 

"Buat apa toh sebetulnya kita ikut-ikutan Asian Games? Tak lain tak bukan sebenarnya kita ini harus mengangkat kita punya nama. Nama kita yang tiga setengah abad tenggelam di dalam kegelapan. Nama kita yang tadinya gilang gemilang, nama kita tadinya yang tertulis di dalam kitab suci yang tertinggi di India, nama kita yang ditulis di dalam kitab-kitab kuno yang sekarang itu, in de annalen van de geshiedenis van Tiongkok, saudara-suadara, Silifotze (Sriwijaya). Nama kita yang sampai sekarang masih disebut oleh orang asing di sekeliling kita, Majapahit," kata Sukarno saat bertemu kontingen Indonesia yang akan berlaga di Asian Games pada 09 Agustus 1961. 

Apa yang dikatakan oleh Sukarno memotivasi kontingen Indonesia bahwa atlet yang bertanding di kompetisi bukan sekedar bertanding. Lebih dari itu menurut Sukarno, olahraga ialah alat untuk melaksanakan tiga tujuan revolusi Indonesia. Olahraga adalah alat untuk melaksanakan Ampera (Amanat Penderitaan Rakyat). 

M.F. Siregar dalam bukunya menyebut semua konsep dan gagasan itu pada akhirnya tinggal kenangan kala pecah malam berdarah 01 Oktober 1965. 

"Visi Sukarno yang menempatkan olahraga sebagai alat nation and character building hilang di era Orde Baru yang mengambil alih tatanan sosial politik pasca gerakan 30 September," tulis Siregar. 


3. Kebijakan penting untuk olahraga era Sukarno

Presiden Sukarno kala menerima kontingen atlet Indonesia.

Di umur Indonesia yang masih sangat belia, Sukarno saat itu menjadikan olahraga sebagai bagian dari revolusi kebangsaan. Sukarno bahkan tak segan-segan untuk menjadi kompetisi olahraga yang diikuti atlet Indonesia sebagai landasan hidup. 

Para atlet Indonesia kala itu diberi materi pedoman soal Amanat Penderitaan Rakyat (Ampera). Ini jadi pedoman baru bagi para atlet nasional. Politik pemerintah yang memperhatikan keolahragaan dan menetapkannya menjadi urusan pemerintah membuat pembinaan olahraga akan menjadi lebih mantap.

Sukarno pun mengaplikasikan hal itu dalam bentuk kebijakan dan peraturan hukum untuk mendukung hal tersebut. Pada 1963, Sukarno mengeluarkan Keputusan Presiden No. 263/1963 yang mengharuskan adanya upaya peningkatan prestasi olahraga Indonesia, agar waktu sesingkat-singkatnya mencapai taraf internasional setinggi-tingginya.

Perintah Presiden ini kemudian dijabarkan dalam Rencana 10 Tahun Olahraga, dan rencana ini di 1964 ditetapkan oleh BAPPENAS sebagai Proyek Mandataris. Kemudian tahun 1965 rencana tersebut ditetapkan oleh MPRS sebagai Program Nasional sebagai bagian dari Ketetapan MPRS No. VI/MPRS/1965 mengenai Pola Ekonomi Perjuangan (Banting Stir di Atas Kaki Sendiri di Bidang Ekonomi Pembangunan).

Substansi Rencana 10 Tahun Olahraga itu sejatinya adalah Revolusi Olahraga Indonesia. Didalamnya tercakup 5 Program Dasar, yakni:

1. Mempertinggi potensi fisik nasional (Gerakan Massal Olahraga),
2. Memperluas dan mengintensifkan gerakan olahraga di lingkungan pemuda/pelajar,
3. Membina Olahragawan-olahragawan yang potensial dan berbakat untuk mencapai prestasi tinggi,
4. Menyediakan kelengkapan-kelengkapan materiil dan spirituil untuk penyelenggaraan olahraga,
5. Konsolidasi Ganefo I dan Penggeloraan Gerakan Ganefo.

Sukarno juga mengeluarkan Keputusan Presiden (Kepres) soal pembentukan Departemen Olahraga (Depora). Sukarno juga meminta kementrian terkait untuk saling berkonsilidasi agar mendukung kebijakan ini. Contohnya, program 10 Tahun Olahraga dilaksanakan secara konsisten di sekolah. Pelajar mengikuti 3 jam seminggu untuk olahraga wajib, dan 3 jam untuk olahraga karya.


4. Dunia Internasioal 'sujud sembah' ke atlet Indonesia

Soetjipto Soentoro

Konsisten-nya Sukarno untuk membuat olahraga berada di posisi yang tinggi membuat dampak yang sangat positif. Tidak hanya soal raihan prestsi yang didapat Indonesia. 

Atlet Indonesia pun mendapat penghargaan yang semestinya dari atlet luar negeri. Atlet-atlet seperti Mohammad Sarengat membuat pelari luar negeri lain dibuat tak berdaya. Bahkan atlet dari cabor tak terkenal pun mendapat pengakuan dari dalam dan luar negeri, ambil contoh atlet loncat indah, Lanny Gumulya. Ia sukses meraih medali emas di ajang Asian Games 1962. 

Belum lagi jika bicara cabang bulutangkis. Indonesia tak terkalahkan jika bisa dibilang. Raksasa bulutangkis dunia saat ini seperti Tiongkok mampu dipecundangi oleh pebulutangkis kita seperti, Ferry Sonneville, Tan Joe Hok, Tutang, Unang, dan Liem Tjeng Kiang. 

Bahkan Indonesia dulu dikenal dengan kwartet sepedanya yang membuat pembalap sepeda dari negara Asia tak berkutik. Mereka adalah Hendrik Brocks, Aming Priatna, Wahju Wahdini, dan Hasjim Roesli, merebut emas nomor 100 kilometer Team Time Trial. Keempat pembalap ini ditambah Frans Tupang dan Henry Hargini, juga menjadi yang terbaik di nomor 180 km Open Road Race.

Jika bicara sepakbola, Timnas Indonesia kita tak kesulitan untuk bisa menjajal kekuataan tim kuat Eropa. Mereka bahkan 'berlomba-lomba' untuk bisa latih tanding dengan Timnas kita. 

Pada era ini, lahirlah pesepakbola Indonesia yang terkenal di Asia antara lain Soetjipto Soentoro, Max Timisela, Jacob Sihasale, Kadir, Iswadi Idris, Andjiek Ali Nurdin, dan Yudo Hadianto. Di antara mereka yang paling fenomenal adalah Soetjipto Soentoro. Ia adalah pemain tersukses di Indonesia dengan membawa Indonesia menjadi raja sepak bola Asia.

Kementerian Pemuda dan Olahraga (Kemenpora)PKISukarnoIn Depth SportsSoetjipto SoentoroGerakan Satu Oktober (Gestok)

Berita Terkini