x

(Analisis) 3 Faktor Mafia Sepakbola Tumbuh Subur di Indonesia

Rabu, 17 Juni 2015 09:59 WIB
Editor: Galih Prasetyo

Pernyataan itu disampaikan La Nyalla saat menjadi narasumber di salah satu televisi swasta. La Nyalla menyebut fitnah itu sudah lama didengungkan jauh sebelum ia menjabat sebagai ketum PSSI dan menurutnya sampai sekarang tidak ada bukti yag mengarahkan ke arah itu. 

Baca Juga: 

Mafia Bola Kuasai Sepakbola Indonesia

Tuduhan Match Fixing, Aji Berharap Tak Berdampak Pada Anak Asuhnya

Diduga Atur Skor, Manajer Klub dan Pengurus PSSI Dipolisikan

PSSI Bantah Terjadi Pengaturan Skor

5 Pelajaran Wajib Dipetik Indonesia dari SEA Games 2015

Faktanya jika menilisik beberapa kasus yang muncul ke permukaan seperti kasus Johan Ibo atau rencana pelaporan tim advokasi Indonesiavsmafiasepakbola ke Bareskrim Polri terkait dugaan pengaturan skor sepakbola SEA Games 2015, pernyataan La Nyalla seperti penyangkalan tak mendasar. 

Mafia judi dan sepakbola memang menjadi rahasia umum. La Nyalla tidak perlu malu untuk jujur bahwa kedua hal itu ialah pertautan yang sulit untuk diputus. Sepakbola internasional pun tak lepas dari mafia judi.

Pertanyaannya, faktor apa yang membuat sepakbola Indonesia begitu menggiurkan mafia judi yang disinyalir berlokasi di Singapura? Berikut tiga faktor tersebut versi INDOSPORT: 


1. PSSI Organisasi tak tersentuh

Setidaknya hal itu bisa kita lihat sebelum Kemenpora membekukan PSSI. PSSI menjadi organisasi yang tak tersentuh, mereka memiliki aturan main tersendiri tentang banyak hal. Ambil contoh soal transparansi anggaran dana. PSSI kabarnya tak memiliki rek untuk menyimpan 'sumber dana' mereka. 'sumber dana' PSSI salah satunya didapat dari sumbangan FIFA. 

Menariknya dari 'Laporan Akhir Internal Audit Services Untuk Melakukan Review Atas Internal Control' PSSI November 2011 disebutkan bahwa sejumlah dana PSSI disimpan/dikelola didalam safety box. Kabarnya hal ini yang kemudian mendorong FBI dan Kepolisian Swiss yang menangani kasus FIFA juga akan menyelidiki sejumlah federasi yang tak memiliki rekening resmi, termasuk PSSI didalamnya. 

Tak heran jika banyak basis suporter klub Indonesia, pecinta sepakbola, pengamat bahkan pemerintah menyuarakan untuk PSSI transparan dalam pengelolaan sumber dana tersebut. PSSI tak mau mengikuti hal tersebut, pasalnya eks ketum PSSI Djohar Arifin pernah mengatakan bahwa 'PSSI tidak seperak pun mendapat dana dari APBD'. Artinya, PSSI berhak untuk transparan atau tidak. 


2. Sepakbola Indonesia Belum Profesional

Harus diakui memang jika klub di Indonesia belum sepenuhnya menjadi klub yang profesional. Masih banyak klub di Indonesia yang dikelola secara tidak profesional sebut saja bagaimana banyak mess klub sepakbola yang diputus aliran listriknya karena belum membayar listrik, air PDAM yang juga ikut diputus karena tunggakan atau masalah yang sepertinya 'lumrah' di sepakbola nasional yakni soal gaji pemain. 

Klub di Indonesia memang mau tak mau, suka tak suka yang sebelumnya mendapat kucuran dana dari APBD sejak 1992 harus menjadi klub profesional sejak AFC pada 2008 mengeluarkan instruksi agar klub harus miliki lisensi klub profesional jika ingin berkompetisi dibawah naungan AFC. Instruksi inilah yang kemudian klub-klub menjadi kebakaran jenggot. 

Kondisi berbeda justru terlihat di Thailand. Sejak instruksi AFC itu diberlakukan, pada 2010 semua klub disana sudah mengantongi lisensi klub profesional. Maka tak mengherankan juga jika Thailand menjai raja sepakbola Asia Tenggara. 

Artinya dengan ketidakprofesionalan klub di Indonesia akan membawa pengaruh dengan dana klub. Klub mau tak mau harus membiayai semua biaya operasional dan administrasi dalam satu laga kompetisi, jika tidak dikelola secara profesional, lantas bagaimana hal itu berjalan maksimal? Kondisi yang bisa menjadi celah untuk mafia judi bermain. 


3. Judi Jadi Hal Lumrah

Judi memang sulit untuk dilepaskan dari sepakbola. Di tingkatan profesional sepakbola Eropa pun, mafia judi bermain, kasus Serie A Italia contohnya. Namun bukan hanya Italia yang diterpa kasus pengaturan skor dan skandal dalam satu pertandingan liga. 

Buku berjudul “Memahami Dunia Lewat Sepak Bola” karya Franklin Foer mengungkap sepak bola dan korupsi sudah menjamur di era industri sepak bola. Di hal 110 dengan judul sub bab ‘Sepak bola dan Korupsi di dunia ketiga’, Franklin Foer memaparkan bagaimana tata manajemen klub di Amerika Latin – Liga Brazil – menjadi tempat perlindungan yang sempurna bagi para garong. Menurut Foer, garong ini berakar dalam persepakbolaan Brazil.

Foer juga mengungkap bagaiamana jalinan industri, jaringan mafia dan ‘sepak bola bisnis’ akan mengorbankan apa yang disebut ‘fair play’. Meskipun penuh ambisi dan sumber dana, investasi dari donatur asing tidak membuat sepak bola Brazil seperti NBA di Amerika Serikat ataupun liga lain di Eropa Barat. 

Pengaturan skor demi ‘kembali’ nya dana investor akan dilakukan, semua semata demi uang. Sepak bola dijadikan ‘kewajaran’ untuk dibangun dengan baik di dunia bisnis. Meski harus membuat ‘skema’ tak terduga dari satu pertandingan.

IndonesiaPSSISEA GamesIndonesia U-23SEA Games 2015Mafia Sepakbola

Berita Terkini