x

6 Drama Kebencian Fiorentina Atas Juventus

Sabtu, 12 Desember 2015 15:26 WIB
Editor: Ahmad Priobudiyono

Serie A Italia akan kembali menghadirkan pertandingan bertensi panas saat mempertemukan Juventus yang sedang merajut asa untuk bangkit dan kembali ke jalur persaingan papan atas klasemen melawan tamunya Fiorentina yang kini tengah kokoh di urutan kedua klasemen sementara Serie A.

Kedua kubu diketahui telah memiliki sejarah rivalitas panjang yang menyebabkan kedua pendukung fanatik mereka terjebak dalam kebencian yang tak berujung.

Permusuhan penuh kebencian antar kedua kubu dimulai saat Juventus berhasil merebut mahkota Scudetto ke-20 di tahun 1982. Sejarah ini selanjutnya berkembang menjadi persaingan sengit pada setiap laga yang mempertemukan mereka dan selalu menjadi pembahasan panjang di negeri Pizza.

Berikut, INDOSPORT mengulas deretan drama kebencian Fiorentina atas Juventus sepanjang sejarah rivalitas mereka.


1. Awal Sejarah Kebencian

Drama kebencian dimulai ketika suporter La Viola marah besar akibat kesempatan tim kesayangan mereka untuk meraih scudetto musim pada tahun 1982 itu direbut paksa si Nyonya Besar.

Sejatinya kedua tim memang tidak bertemu secara langsung dalam sebuah pertandingan. Saat itu Fiorentina melakukan lawatan ke Cagliari sementara Juventus bertandang ke Catanzaro. Dalam laga kontra Cagliari, Fiorentina harus pulang dengan hasil imbang 0-0 setelah gol yang dicetak pemain Fiorentina ke gawang Cagliari dianulir wasit.

Sementara di tempat lain Juventus berhasil meraih kemenangan 1-0 melalui gol penalti Liam Brady. Gol tersebut memastikan Bianconerri meraih gelar Scudetto nya yang ke-20 dan memupuskan kesempatan Fiorentina untuk mengunci gelar Scudetto ke-3 nya.

Suporter Fiorentina menganggap hasil ini dianggap tidak adil dan menyisakan kekecewaan yang cukup mendalam di hati mereka. Slogan “Meglio secondi che ladri,” atau “Lebih baik jadi juara kedua dari pada jadi pencuri,” selalu didengungkan saat Fiorentina berhadapan dengan Juventus di berbagai kesempatan.


2. Final Piala UEFA 1990

Kebencian Fiorentina kepada Juventus terus berlanjut. Publik Firenze tampaknya sangat sulit menghilangkan bekas luka di hati mereka setelah Juventus mencuri gelar juara Scudetto mereka pada tahun 1982 hingga keduanya bertemu dalam pertandingan final Piala UEFA pada tahun 1990.

Fiorentina yang saat itu dipenggawai dua bintangnya Carlos Dunga dan Roberto Baggio berhasil melaju ke partai puncak dan berhadapan dengan tim yang telah mencuri gelar mereka Juventus.

Laga pertama di Turin, La Viola harus menyerah 1-3 atas si Nyonya Besar, namun mereka optimis bisa merebutnya pada laga kedua di Artemio Franchi. Namun nasib berkata lain, FIGC melarang Fiorentina menggelar partai kedua di stadion kebanggaan mereka akibat suporter La Viola dianggap telah berbuat onar di laga pertama di Turin.

Fiorentina akhirnya harus menjalani laga di tempat netral dan terpilihlah Avellino sebagai arena adu kekuatan. Namun keputusan ini dianggap publik Fiorentina sebagai keputusan yang tidak memihak, pasalnya meskipun Avellino merupakan kota kecil yang tidak memiliki kesebelasan besar namun warganya punya tradisi kental mendukung Juventus.

Akibatnya, Fiorentina bagaikan tampil tanpa pendukung, sementara pertandingan harus berakhir imbang tanpa gol. Sekali lagi Fiorentina kehilangan gelar.


3. Juventus Rebut Roberto Baggio

Setelah dipecundangi si Nyonya Besar dan kembali kehilangan gelar, hati publik Fiorentina harus kembali tersayat-sayat dan tercabik-cabik setelah hanya dalam hitungan beberapa pekan Juventus kembali menikam La Viola.

Juventus berhasil memboyong ikon kebanggaan La Viola, Roberto Baggio ke Turin setelah menggelontorkan 8 juta Pounds yang memecahkan rekor pemain termahal yang pernah dimiliki Fiorentina.

Dan yang memicu kemarahan besar publik Fiorentina adalah tersiarnya kabar bahwa Baggio mengaku tidak berniat meninggalkan Firenze dengan mengatakan, “Saya dipaksa menerima transfer ini.”

Mengetahui berita ini seluruh isi kota Firenze meradang dan suporter La Viola pun tumpah ke jalan dan melampiaskan kemarahan mereka dengan membakar simbol-simbol dan bendera-bendera Juventus serta aksi-aksi kekerasan lainnya. Akibatnya korban pun berjatuhan 50 orang dikabarkan harus dilarikan ke rumah sakit akibat menderita luka-luka.

Ya, Juventus tidak hanya mencuri gelar Scudetto dan Piala UEFA dari mereka, melainkan mereka juga mencuri bintang kesayangan mereka, Roberto Baggio.


4. Roberto Baggio: 'Hati Saya akan Selalu Ungu'

Epik drama kepindahan Baggio ke Juventus berlanjut. Pada pertemuan perdana Juventus dan Fiorentina di ajang Serie A, Baggio kembali bertandang ke Firenze dalam balutan seragam putih-hitam Bianconeri.

Dalam laga tersebut Baggio mendapat kesempatan untuk menjadi algojo penalti namun ia dengan tegas menolaknya. De Agostini akhirnya mengambil alih perannya dan akhirnya gagal mengeksekusinya dengan baik.

Penolakan Baggio mengeksekusi penalti berakibat dirinya harus ditarik keluar lapangan dan kejadian dramatis pun terjadi saat Baggio tertangkap kamera mencium syal Fiorentina yang dilempar salah seorang suporter La Viola.

Baggio berujar, "Jauh di lubuk hati saya, saya akan selalu ungu." 


5. Drama Giovanni Trapattoni

Roberto Baggio bukanlah satu-satunya pemain yang memicu terjadinya polemik transfer yang membuat pendukung Fiorentina meradang. Kedatangan juru taktik Giovanni Trapattoni pun menjadi sensasi di tubuh pendukung Fiorentina.

Kedatangan Trapattoni untuk melatih La Viola mendapat kecaman dari seluruh isi kota Firenze dan mengklaim Trapattoni terlibat sebagai pelaku Scudetto Fiorentina pada 1982, pasalnya saat itu Trapattoni menjabat sebagai pelatih Juventus.

Trapattoni harus bersusah payah meyakinkan publik Fiorentina bahwa dirinya sudah terbebas dan lepas dari pengaruh Juventus. Trapattoni pun bersumpah akan mengabdikan dirinya sepenuhnya untuk La Viola.

 “Saya kira keterlibatan saya dengan Juventus tidak akan mempengaruhi ikatan saya dengan Fiorentina. Selain melatih Juventus saya juga pernah menangani Inter Milan, Cagliari dan Bayern Munich. Setelah melatih tiga klub itu saya merasa telah bersih dari pengaruh Juventus,” ujar Trapattoni seperti dilansir dari laman La Gazzetta.

Ia juga mengungkapkan jika menantunya tinggal di Firenze dan pendukung berat Fiorentina. Jadi seharusnya ia sudah ada darah Fiorentina di keluarganya. Selain pernyataan tersebut, Trapattoni juga menyimpan dendam terhadap Juventus. Ia beranggapan jika Juventus tidak menghargainya yang telah memberi kejayaan untuk mereka.


6. Sumpah Torricelli dan Di Livio

Moreno Torricelli diboyong ke Fiorentina pada musim 1998/99 setelah sebelumnya selama enam musim setia mengabdikan dirinya untuk bendera besar Juventus. Torricelli adalah pemain yang sangat dicintai publik Bianconeri, semasa berseragam putih-hitam dirinya dijuluki ‘Monster’ akibat kepiawaiannya menjegal para penyerang lawan.

Torricelli sempat bersumpah untuk menjadi Juventini sejati namun dirinya harus kecewa setelah Marcello Lippi mendepaknya dari Juventus. Beruntungnya Trapattoni yang kala itu menukangi Juventus mau meminangnya.

Namun untuk memasuki gerbang Artemio Franchi bukanlah hal yang mudah buat Torricelli, kebencian publik Firenze memaksanya untuk mengucap sumpah mengabdikan seluruh hidupnya untuk La Viola.

Di hadapan segenap pendukung La Viola, Torricelli pun akhirnya berikrar, “Saya ingin mengakhiri karier sepakbola di Firenze,” ungkap Torricelli seperti dilansir La Gazzetta dello Sport pada Desember 1999.

Sama halnya yang dilakukan Torricelli, bahkan parahnya lagi Angelo Di Livio pun harus mengambil sumpah sebelum dirinya resmi bergabung dengan Fiorentina, apalagi dalam tiga bulan penampilan awalnya dirinya tampil di bawah form terbaiknya sehingga dirinya dianggap sebagai mata-mata Juventus.

“Semua orang tahu bahwa ada semacam permusuhan antara pendukung Fiorentina dengan pendukung Juventus, jadi ketika saya tiba di Firenze, cukup banyak tifosi Fiorentina yang merasa tidak suka, tetapi setelah tiga bulan berlalu, sepertinya saya berhasil memperoleh kepercayaan mereka seperti yang diperoleh Trapattoni dan Torricelli,” ungkap Di Livio.

“Saat ini Juventus adalah musuh nomor satu saya, mereka membuang saya, mencapakkan saya, padahal saya memiliki perjanjian dengan klub itu untuk memperpanjang kontrak, tetapi mereka mengusir saya,” tambah Di Livio saat itu.

Di Livio pun membuktikan kesetiaannya kepada publik Firenze, ia bukan cuma bermain total tapi tetap bertahan di Firenze kendati kesebelasan terdegradasi ke Serie C2 pada musim 2002/2003 setelah dinyatakan bangkrut.

Serie A ItaliaRoberto BaggioUEFAJuventusFiorentinaMarcelo LippiGiovanni TrapattoniAngelo Di LivioMoreno Torricelli

Berita Terkini