x

Kisah Pendiri PSSI, Soeratin: Berjuang untuk Persatuan, Masa Tua 'Diacuhkan'

Kamis, 19 Mei 2016 19:00 WIB
Penulis: Lanjar Wiratri | Editor: Galih Prasetyo

Mendirikan PSSI scara sembunyi-sembunyi di masa penjajahan pada 19 April 1930 silam, hingga saat ini tanggal tersebut selalu diperingati sebagai hari jadi induk sepakbola tanah air tersebut. 

Berbagai rintangan harus dihadapi Soeratin demi terus mempertahankan eksistensi PSSI yang kini telah memasuki usia 86 tahun.

Berbeda dengan banyak pahlawan kebangkitan nasional lainnya yang mudah ditemukan riwayat hidupnya, Soeratin sebagai salah satu pendiri PSSI justru tak terlalu diketahui sejarah perjalanan hidupnya hingga tutup usia pada 1959.

Pasca membangun PSSI dengan merangkul semua insan sepakbola di seluruh Indonesia, kehidupan Soeratin nyatanya mengalami banyak rintangan dalam kehidupannya. Berbagai hal harus dikorbankan oleh insinyur sipil lulusan Jerman tersebut demi terus menjaga eksistensi dari PSSI.

Berikut INDOSPORT merangkum bagaimana perjalanan hidup Soeratin selanjutnya setelah berhasil mendirikan PSSI. Hidup dalam kesederhanaan hingga dalam menghabiskan masa tuanya hingga  wafat di Bandung pada 1959.


1. Kehilangan Pekerjaan

Soeratin Sosrosoegondo

Soeratin menikahi adik dari salah satu pahlawan kebangkitan nasional, Dr. Soetomo, yakni R. A. Srie Woelan. Kehidupan Soeratin berubah drastis pasca sukses menyatukan insan sepakbola ndonesia dalam naungn, PSSI, ia bahkan harus mengorbankan pekerjaan bergengsi yang dimilikinya demi terus berjuang mempertahankan keberadaan organisasi yang dicintainya itu.

Cucu dari Soeratin, Wuly Sukartono Santoso, mengungkapkan jika kehidupan sang kakek mengalami banyak cobaan demi terus mengomandoi PSSI. Soeratin rela mengorbankan banyak hal berharga dalam hidupnya demi cicta-cita mulia mempersatukan bangsa lewat jalan sepakbola. Di tahun-tahun pertama pembentukan PSSI, Soeratin sangat didukung oleh pengorbanan sang istri, Sri Woelan, dalam hal moril material, antara lain dengan merelakan menjual perhiasan beliau untuk menutupi kebutuhan dana.

"Kata beliau almarhum eyang itu pandai, cerdas, berkemauan keras, ahli bermain catur. Tidak banyak yang diceritakan ibu. Mungkin saya masih dianggap terlalu kecil saat itu,” ujar Wuly kepada INDOSPORT.

“Beliau meninggalkan pekerjaannya karena dipaksa memilih antara pekerjaan, yang gajinya disamakan dengan gaji pegawai Belanda setingkat dengan beliau (sangat besar saat itu) atau kegiatan sepakbola,” tambah Wuly.

Keluar dari pekerjaannya demi terus mengurus kegiatan PSSI, Soeratin pun memutuskan untuk mebangun usahanya sendiri. Menyandang gelar sebagai seorang insinyur sipil, pada masa perang kemerdekaan hingga Jepang masuk ke Indonesia, Wuly mengungkapkan jika Soeratin mendapat tugas khusus dari Presiden Pertama Indonesia, Soekarno.

“Kalau tidak salah beliau zaman jepang itu memimpin pembuatan senjata api,atas perintah Ir Soekarno, yang kemudian menjadi presiden RI pertama,” ungkap Wully.


2. Hidup dalam Kondisi Memperihatinkan

Meski berjasa besar mendirian PSSI, kehdiupan Soeratin jauh dari gemilang harta. Layaknya seorang pahlawan, Soeratin hidup dalam kesederhanaan meskipun ia mengenyam pendidikan tinggi bahkan sempat bekerja untuk salah satu perusahaan terkemuka milik Belanda.

Usaha yang dibangun Soeratin pasca memutuskan untuk berhenti bekerja di perusahaan Belanda, nyatanya tidak berlangsung dengan mulus. Usaha yang dirintis Soeratin justru hancur saat Jepang menguasai Indonesia da perang kemerdekaan mulai bergulir.

Dari berbagai sumber disebutkan jika Soeratin memutuskan bergabung dengan Tentara Keamanan Rakyat (TKR), PSSI saat itu dinonaktifkan dan berada di bawah Taiikukai, asosiasi olahraga Jepang. Setelah proklamasi kemerdekaan, insinyur sipil tersebut ditunjuk untuk menjadi salah seorang pemimpin Djawatan Kereta Api hingga akhirnya PSSI pun aktif kembali.

Namun kehidupan Soeratin tak selalu berkecukupan, ia bahkan hidup sangat sederhana. Masa tuanya dihabiskan di Bandung, Jawa Barat. Hal tersebut diungkapkan sendiri oleh sang cucu, Wuly, yang sempat menjenguk Soeratin di rumah sederhanya di Bandung, Jawa Barat, sebelum akhirnya meninggal dunia pada 1959.

“Di akhir  hidup Ir Soeratin tinggal di Bandung sangat sederhana. Saya sempat bersama ibunda menengok beliau dalam keadaan sakit. Dan sampai akhir hayat beliau, menurut saya perhatian pemerintah saat itu hampir tidak ada. Bahkan beliau dimakamkan di TPU. Sirnaraga. Baru 10 tahun terakhir ini ada perubahan, jasa jasa beliau mulai diperhatikan,” ungkap Wuly.


3. Tanpa gelar pahlawan

Atas segala jasa-jasanya mendirikan dan memelihara PSSI, nama Soeratin akan terus dikenang selamanya. Piala Soeratin yang merupakan kejuaraan sepakbola junior PSSI kini, merupakan 'bukti' salah satu penghargaan untuk sang pahlawan pendiri PSSI.

Sempat bergulir wacana untuk mengajukan Soeratin sebagai salah satu pahlawan nasional Indonesia. Melalui Rapat Paripurna Nasional PSSI 2005 (Kep/09/Raparnas/XI/2005), gelar pahlawan nasonal untuk Soeratin dituntut, sayang hingga kini gelar itu belum diperoleh karena masalah administrasi.

Selain diabadikan dalam ajang Piala Soeratin, rumah yang dijadikan oleh sang pendiri PSSI untuk melakukan berbagai pertemuan dengan para tokoh sepakbola nasional juga dijadikan sebagai salah satu monumen untuk mengenang ‘sang pahlawan tanpa tanda jasa’. 

Rumah milik Soeratin di Yogyakarta sebagai saksi bisu terbentuknya PSSI kini dijadikan salah satu monumen untuk mengenangnya.

“Rumah beliau yang digunakan untuk rapat-rapa masih ada di Yogyakarta menjadi hotel Ndalem Soeratin yang dikelola oleh adik Praharso, putra dari Ir Soeratmo Sosrosoegondo," kata Wuly.

"Oh ya, rumah di Yogya yang digunakan untuk kepentingan-kepentingan sepakbola itu dibuat dan dibangun sendiri oleh eyang Soeratin, eyang putri Sriwulan menempati rumah ini sampai akhir hayat beliau,” ujar Wuly.

Kini, Wuly sebagai cucu Soeratin pun berharap jika PSSI yang dibangun sang kakek dengan susah payah, penuh darah dan air mata tak terpecah belah. Pencabutan pemekuan PSSI oleh Menpora, Imam Nahrawi, yang berujung pencabutan sanksi oleh FIFA, diharapkan Wuly memberi secercah ahrapan baru bagi PSSI yang di awal berdirinya dijadikan alat pemersatu bangsa oleh Soeratin.

“Harapan kami tentunya jangan sampai PSSI yang dengan susah payah menjadi alat pemersatu bangsa dibiarkan tercerai berai lagi dan tetap bisa mengangkat derajat bangsa dimata dunia,” ujar Wuly.

Soeratin CupSoeratin SosrosoegondoIn Depth SportsLegenda Olahraga

Berita Terkini