x

Peru vs Argentina 1964: Kebrutalan Aparat di Lapangan Sepakbola

Jumat, 27 Mei 2016 14:00 WIB
Editor: Gema Trisna Yudha

Sepakbola Indonesia kembali tercoreng dengan kerusuhan di Gresik beberapa waktu lalu. Suporter PS TNI yang berstatus tentara, tak bisa melepaskan atributnya dan tampil sebagai suporter sepakbola sepenuhnya. Mereka bentrok dengan suporter Gresik United, puluhan orang terluka. 

Pengamanan stadion juga menjadi sorotan, karena barang-barang yang tak seharusnya justru lolos dan berada di lapangan. 

Sedikit berbeda, kebrutalan aparat terjadi di kota Lima, Peru, kala menjamu Argentina di babak kualifikasi Olimpiade 1964.

Ratusan nyawa melayang ditambah setengah juta orang terluka dalam peristiwa ini. Tragedi Peru menjadi bagian terkelam dalam sejarah kerusuhan sepakbola. 

Berikut INDOSPORT merangkumnya untuk para pembaca setia:  


1. Pertandingan

Hari itu menjadi hari penting bagi seluruh penduduk Peru. Meski berhadapan dengan tim besar macam Argentina, optimisme terekam dalam pembicaraan para fans demi tampil di babak utama Olimpiade 1964, di Tokyo, Jepang. Peru hanya butuh hasil seri untuk mendapatkan tiket ke Jepang. 

53 ribu orang memadati Estadio Nacional di kota Lima, Peru, yang menjadi lokasi pertandingan. Suasana memanas karena tuan rumah tertinggal 1-0 hingga ujung waktu normal pertandingan.

Para suporter Peru terus memberikan dukungan. Stadion bergemuruh untuk memacu semangat para pemain. Enam menit jelang laga berakhir, Peru berhasil mencetak gol penyama. Namun wasit asal Uruguay, Angel Eduardo Pazos, menganulirnya.

Keputusan itu dianggap sebagai upaya menjegal tim kesayangan di Olimpiade. Penonton berang. Seorang suporter dari provinsi Callao yang dikenal dengan Negro Bomba, berlari kencang memasuki lapangan untuk memprotes keputusan wasit. 


Negro Bomba dihalangi wasit saat hendak menyampaikan protes.

Tinggal selangkah lagi dihadapan wasit, polisi mencekalnya. Setengah lusin polisi lainnya datang memburu sambil mengacungkan pentungan. 

Pukulan bertubi-bertubi. Negro Bomba tumbang. Terkapar. 


2. Terkunci

Reaksi berlebihan aparat keamanan membuat para suporter semakin beringas. Mereka mulai beranjak untuk bergerak memberi balasan pada polisi, namun sebelum memasuki lapangan, gas air mata ditembakkan. 

Bukannya meredakan suasana, tindakan polisi justru membuat keadaan semakin ricuh. Kepanikan semakin memuncak. Para penonton langsung mundur dan mencari jalan keluar. Mereka berdesakan, saling dorong, hingga ada yang jatuh dan terinjak-injak. 

"Kami berusaha keluar, tapi pintu terkunci. Kami berbalik dan memanjat dinding stadion. Tapi gas air mata membuat kami tak tahan dan mencari jalan keluar lain," kata Jose Salah, seorang suporter timnas Peru yang saat itu berada di Stadion.

Tak cuma penonton, para pemain dan offisial lapangan juga tak dapat meninggalkan lapangan. Pesepakbola legendaris Peru, Hector Chumpitaz yang saat itu tampil di lapangan mengatakan mereka terjebak di ruang ganti selama dua jam. 

"Kami terjebak di ruang ganti. Seseorang keluar melihat keadaan, lalu bilang dua orang meninggal. Orang lain bilang ada banyak yang meninggal," terang Chumpitaz.


3. Tembakan

Kematian para penonton memang terjadi, tapi tak cuma karena terjebak dan terinjak-injak. Mereka juga tumbang diterabas timah panas. 

Jerit ketakutan orang-orang yang berlari mencari jalan keluar dijawab dengan letusan senapan. Bangku-bangku stadion menanggung tubuh-tubuh tak berdaya para penonton. Sebagian terluka, sebagian tak bernyawa. 

"Peluru ada dimana-mana. Saya berlari, terus berlari, dan tak mau melihat ke belakanga," kata Salas

Polisi masih mengejar para penonton yang berhasil ke luar stadion. Namun setelah keluar dari jebakan stadion yang terkunci, para penonton jadi lebih berani. Mereka membalas polisi membabi buta. Dua orang polisi dilaporkan mati saat itu. Dikoyak kemarahan para suporter. 

"Dari radio kami mendengar 10 orang tewas, lalu bertambah jadi 20, lalu 30 orang. Setiap kali berita, jumlah korban terus bertambah. 50, 150, 200, 300, 350 orang tewas," tutur Chumpitaz.


4. Tak Terungkap

Jumlah yang tewas dilaporkan sebanyak 328 orang, sementara 500 orang lainnya mengalami luka-luka. Hanya saja diyakini jumlah ini jauh lebih besar. 

Namun hingga saat ini peristiwa berdarah ini tak pernah benar-benar diungkap. Hanya dua orang yang diadili dalam peristiwa ini. Komandan Polisi yang memerintahkan penembakan gas air mata, Jorge Azambuja, dihukum 30 bulan kurungan. 

Satu lagi adalah seorang hakim yang mengadili kasus tersebut, Castaneda, karena telah menyerahkan laporan kejadian tersebut. 

Tak terungkapnya tragedi ini dilatarbelakangi persoalan politis. Pemerintah mengatakan kejadian ini dapat menjadi pelajaran bagi para penentang otoritas. 

ArgentinaSuporter sepakbolaSuporterPeruFlashback

Berita Terkini