x

Koreksi Insiden di SUGBK, Menuju Sepakbola Damai

Minggu, 26 Juni 2016 15:45 WIB
Editor: Rizky Pratama Putra

Pertandingan baru memasuki menit ke 81, saat wasit menghentikan laga yang berlangsung di Stadion Utama Gelora Bung Karno (SUGBK).  Padahal papan skor masih berpihak pada tim tamu Sriwijaya FC, yang pada Jumat (25/06) malam, masih memimpin dengan satu gol.

Atmosfer panas memasuki puncaknya usai kabut dari bom asap berpadu dengan sisa gas air mata yang dilepaskan polisi. Saat pemain menepi ke pinggir lapangan, seketika pula insiden pecah.

Sejumlah The Jakmania berusaha masuk ke dalam lapangan, yang diawalai pada menit ke 77. Sebagian berusaha menyelamatkan diri karena udara cemar, namun sebagian lain nampak terlibat keributan dengan aparat keamanan.

Kejadian tidak hanya sampai di situ, di luar stadion suasana tidak kalah mencekam. Pada lokasi di antara pintu IX dan X yang kemudian dikenal dengan pintu merah, sebagian pendukung Persija Jakarta telah terlibat insiden dengan para polisi.

Imbasnya, jatuh korban dari pihak pendukung dan polisi. 155 The Jakmania diamankan dan 6 orang polisi tumbang, bahkan seorang diantaranya dalam keadaan kritis.

Kabar terakhir, Polisi masih menahan 7 anggota yang diduga anggota dari The Jakmania yang segera menjadi tersangka kericuhan. Hal ini menjadi citra buruk selanjutnya bagi persepakbolaan nasional.

Sebagai negara yang menjadikan sepakbola sebagai energi kedua bagi masyarakatnya, Indonesia sudah saatnya melakukan pembenahan di semua lini. Tidak hanya soal perilaku suporter, tapi juga belajar bagaimana menangani tindakan para pecinta bola dengan semestinya.

Berikut catatan dari insiden yang terjadi di SUGBK yang coba dirangkum oleh INDOSPORT;


1. Koreksi Merah Penggila Bola

The Kmers saat melakukan konsolidasi dengan pihak keamanan beberapa waktu lalu.

Sepakbola masih menjadi komoditi utama olahraga di Indonesia. Pada tahun 2010, Kompas menyebut bahwa setidaknya 54 persen penduduk Indonesia merupakan penggemar sepakbola.

Jumlah ini membuat Indonesia menjadi negara dengan suporter bola terbanyak se Asia Pasifik. Namun, kondisi ini tidak dibarengi dengan kultur yang matang dari para fans.

Tidak jarang rasa primordial atau gengsi kedaerahan mengiringi kecintaan mereka terhadap klub tercinta. Lihat bagaimana perseteruan The Jakmania dengan Bobotoh atau Bonek dengan Aremania.

Percikan ini seringkali akhirnya berujung pada kontak fisik. Pada fase inilah muncul respek minor dari masyarakat.

Rombongan pendukung yang datang ke stadion seringkali dianggap gangguan bagi warga. Padahal cara ini merupakan perwujudan kecintaan mereka pada klub yang didukung.

Wadah komunitas juga hendaknya segera merangkul seluruh insan pendukung. Agar para fans lebih mendapat edukasi soal ketertiban dan keamanan saat menyaksikan pertandingan.

Para pendukung juga diharapkan mampu meminggirkan pola kekerasan dalam dukungan mereka. Sepanjang bulan Mei 2016, tercatat setidaknya ada lima insideng bentrokan suporter.

Dua orang pendukung telah menjadi korban fanatisme suporter. Muhamad Fahreza, anggota The Jakmania yang tewas usai insiden di Jakarta dan Stanislaus Gandhang Deswara yang tewas saat insiden di Gresik.


2. Api Dilawan Api

Kejadian yang terjadi di SUGBK disinyalir menjadi sebuah upaya 'pembalasan' dari The Jakmania atas tewasnya Muhamad Fahreza, salah satu anggota mereka. Fahrez tewas usai diduga mengalami penganiayaan, usai laga Persija Jakarta kontra Persela Lamongan.

Pada laga sebelumnya saat menjamu PS TNI, bahkan para The Jakmania sempat membuat koreografi yang sedikit 'mencolek' aparat kepolisian. Mereka meminta pertanggungjawaban dari polisi atas tewasnya Fahrez.

Tidak hanya itu, sayup - sayup terdengar teriakan "pembunuh" dari sebagian The Jakmania. Ini merupakan riak awal dari proses merebaknya aksi vandal yang dilakukan The Jakmania.

Insideng yang terjadi Jumat (25/06) malam merupakan langkah selanjutnya dari para penggila Persija Jakarta ini. Tak puas dengan penanganan kasus Fahreza ditambah dengan situasi tertinggal adalah bumbu sedap bagi sajian kekerasan.

Namun yang disayangkan dari kejadian ini adalah fenomena rimba yang acap terjadi di masyarakat kita. Membalas kekerasan dengan kekerasan adalah pilihan instan berbalut heroisme semu.

Tak ayal tidak ada yang terselamatkan dari kejadian ini. Korban malah bertambah dengan akar mula kekerasan baru, sementara efek dari kekerasan lama belum juga sembuh.


3. Keamanan Setengah Hati

Ratusan aparat dari Polres Malang lakukan pengawalan Aremania ke Jakarta.

Tuntutan Kemenpora agar iklim kompetisi tampil lebih sehat, nampaknya masih belum bisa dipenuhi. Bentrokan antar suporter masih acap terjadi.

Meski dari kacamata suporter, euforia datangnya kompetisi bak hujan sehari setelah kemarau bertahun - tahun. Setiap komunitas pendukung, termasuk The Jakmania menyambut antusias ini dengan gaya sendiri.

Bagi The Jakmania, kompetisi adalah angin berlayar. Apapun yang menjadi resiko akan diambil demi menemani klub berlayar mengarungi samudera kompetisi.

Tak ayal, berbagai hal dilakukan oleh para penggila klub. Mulai dari aksi simpayik hingga segala macam aksi 'norak' acap kali dipertontonkan sebagai bagian dari kecintaan mereka terhadap klub yang dipuja.

Sayang, aksi ini tidak mendapat frekuensi yang sama dengan pihak keamanan. Para suporter masih dianggap pembeban tugas bagi aparat kepolisian.

Prosedur tetap pengawalan pertandingan masih disejajarkan dengan penanganan aksi unjuk rasa melalui aturan Protap Kapolri/1/X/2010. Hal ini membuat tindakan represif masih menjadi ujung tombak mengawal para pendukung yang ingin menikmati pertandingan.

Tidak jarang bahkan para suporter mendapat perlawanan dari ratusan polisi bersenjata lengkap. Kegagalan polisi yang secara gugus tugas juga berperan sebagai pengayom untuk mencegah teror dengan upaya persuasif masih acap terjadi.

Tidak jarang, suporter dan masyarakat diteror dengan status siaga 1 jelang pertandingan yang dianggap berpotensi kisruh. Padahal ada unsur dimana polisi juga mengajak semua pihak untuk menolak kekerasan secara persuasif, seperti diatur dalam Protap.

Himbauan ini justru melahirkan teror baru, di mana semua pihak merasa terancam. Akibatnya, masyarakat secara spontan membekali diri dengan semangat melindungi nyawa masing - masing.

Dalam beberapa kesempatan, sejumlah oknum kepolisian juga disinyalir melakukan tindakan provokatif. Padahal dalam Protap diatur larangan untuk bersikap arogan dan terpancing oleh massa ( Pasal 1 poin d).

"Gak semua polisi sih, ada juga polisi yang baik, kaya ngasih rokok daripada kita keluar untuk beli. Tapi ata juga yang kejam, gak pake ngomong maen tendang - tendang aja," ujar Ade Budiansah, Sekretaris The Jakmania Korwil Kalideres.

Bahkan usai kejadian insiden yang pecah di SUGBK lalu, beberapa aparat juga berperilaku secara tidak profesional. Direktur Resersi dan Kriminal Polda Metro Jaya, Kombes Pol Krishna Murti mengunggah sebuah foto di akun Instagram pribadinya yang bernada mengancam.

"Kalian adalah negara kami akan tegakkan hukum secara adil. Negara tidak boleh kalah oleh supporter brutal," tulis Kombes Krishna Murti

Hal ini juga diikuti oleh seorang yang diduga oknum polisi yang memposting sebuah foto bernada ancaman di akun Facebook. 

Menurut pengamat Kepolisian, Bambang Widodo Umar, hal ini bisa memperburuk citra kepolisian. Masyarakat akan semakin terteror dengan kewenangan yang seolah tak terbatas dari para penegak hukum.

"Ini yang sangat salah, jangan benturkan polisi dengan sipil dengan melontarkan kalimat atau foto yang berindikasi bisa memicu aksi balasan. Apa yang dilakukan Kombes Krishna Murti bisa mempermalukan dirinya dan institusi kepolisian," kata Bambang. 

Menurut Bambang,  ada baiknya aparat keamanan juga berbenah soal penanganan pertandingan. Penyesuaian personil yang akan berjaga juga penting dilakukan selain memperketat personil di lapangan.

"Masyarakat Indonesia punya kecenderungan primordial yang tinggi, jadi penting untuk memilih personil yang berjaga," ujar Bambang.

Selain itu, kepolisian juga dianjurkan untuk bisa lebih teliti soal psikologi dari personil yang berjaga saat pertandingan. Karena dalam susasana tak terkendalai, hal kecil bisa memancing gelombang kericuhan yang lebih besar.


4. Sepakbola Terancam Kembali Mati

Usai puasa kompetisi selama setahun, turnamen demi turnamen tak resmi menjadi obat penahan rasa rindu insan sepakbola tanah air. Konflik berkepanjangan antara induk sepakbola Indonesia, PSSI, dengan pemerintah yang diwakili oleh Kemenpora mmebuat para suporter menahan ludah, untuk menahan dahaga atmosfer pertandingan tim tercinta.

Barulah pada 13 Mei 2016, FIFA secara resmi menarik sanksi yang setahun 'membunuh' sepakbola Indonesia. Udara sejuk ini disambut dengan gelaran Torabika Soccer Championship (TSC) sebagai kompetisi resmi pertama usai sanksi.

TSC bergulir usai gencatan senjata antara Kemenpora dan PSSI tiba setelah sekian lama dinanti. Namun baru bergulir 8 minggu, kompetisi ini terancam kembali beku.

Buntut kericuhan para The Jakmania dan kepolisian kembali membuat Kemenpora bereaksi keras. Bahkan Kemenpora mengancam akan membubarkan kompetisi yang baru seumur jagung ini.

Persija JakartaSriwijaya FCAremaniaBobotohBonekTorabika Soccer Championship (TSC)Liga Indonesia

Berita Terkini