Kisah Maulwi Saelan: Berawal dari Mimpi Hingga jadi Legenda Sepakbola Nasional
Mungkin banyak yang belum mengetahui sosok Maulwi Saelan. Pria yang wafat pada usia 90 tahun tersebut tidak hanya mengabdi melalui sepakbola, namun juga di dunia militer. Bahkan ia pernah menjadi pengawal Presiden pertama RI, Sukarno.
Kabar meninggalnya Maulwi ternyata menarik simpati banyak pihak baik dari pemerintah, induk sepakbola tanah air atau PSSI, hingga pelaku dan pencinta sepakbola Indonesia. Semasa aktif bermain, Maulwi dikenal dengan julukan Benteng Beton karena sangat tangguh saat mengawal gawang Timnas Indonesia.
Sebelum menjadi ajudan Bung Karno, Maulwi Saelan sudah berkontribusi terlebih dahulu di dunia si kulit bundar. Pencapaian terbaiknya adalah mengantarkan Indonesia menembus empat besar Asian Games 1954 dan merebut medali perunggu Asian Games 1958.
“Kami berduka cita mendalam atas wafatnya tokoh sepakbola Indonesia. Semoga Almarhum khusnul khotimah dan keluarga yang ditinggalkan sabar dan ikhlas melepas kepergiannya. Kita insan sepakbola tanah air harus meneruskan perjuangannya,” kata Menteri Pemuda dan Olahraga (Menpora), Imam Nahrawi.
Seperti apa kisah dan perjalanan hidup Maulwi Salean? Berikut INDOSPORT mencoba merangkumnya untuk pembaca setia.
1. Mimpi Besar Bermain di Olimpiade
Maulwi lahir dan besar di Makassar, Sulawesi Selatan 08 Agustus 1936 silam. Sejak bocah, putra satu-satunya dari Amin Saelan ini sudah punya impian menjadi pemain sepakbola yang bisa tampil di ajang bergengsi, Olimpiade.
Namun sosok yang menginsipirasinya bukanlah dari kalangan pesepakbola. Maulwi awalnya terpukau dengan atlet lari asal Amerika Serikat, Jesse Owens yang berhasil meraih 4 medali emas di Olimpiade 1956.
“Ini gara-gara saya terpukau kejayaan pelari Jesse Owens yang berhasil memborong empat emas dalam Olimpiade Berlin tahun 1956,” ujarnya seperti dilansir dari laman Sukarno.org.
Karier sepakbola Maulwi dimulai ketika sang ayah membangun klub bernama MOS di Makassar dan membutuhkan kiper. Ia kemudian bersedia dan ternyata bakatnya semakin terlihat di sana.
Ketika hijrah ke Jakarta, ia mendapat kesempatan mengawal gawang tim Jakarta Raya di PON I di Solo 1948. Aksinya yang memukau membuatnya dipanggil membela Timnas di Asian Games 1951 di New Delhi, India.
Pencapaian terbaik Maulwi kala berseragam Timnas adalah membawa skuat Garuda finish di urutan ketiga Asian Games 1954 dan menyabet medali perunggu di Asian Games 1958.
Sementara itu, impian awal Maulwi semasa kecil itu untuk bermain di Olimpiade pun menjadi kenyataan saat 11 tahun berselang usai Indonesia merdeka, tepatnya pada 17 November 1965. Saat itu ia dipercaya untuk mengawal gawang Timnas Indonesia di Olimpiade Melbourne, Australia.
“Saya ditunjuk mempertahankan gawang kesebelasan Indonesia pada pertandingan bola Olimpiade XIV di Melbourne, Australia,” kisahnya.
Pada waktu itu, Timnas Indonesia untuk pertama kalinya mengikuti ajang Olimpiade di cabor sepakbola. Skuat Garuda diperkuat beberapa pemain legendaris seperti Ramang, Djamiat, Him Tjiang, Liong Houw, Kiat Sek, dan Ramlan sebagai kapten.
Skuat Garuda kala itu mampu mengimbangi salah satu satu negara kuat, Uni Soviet (yang kemudian jadi juara cabor sepakbola Olimpiade Melbourne) dengan skor 0-0, bahkan hingga sampai babak perpanjangan waktu dua kali 15 menit.
Dengan hasil tersebut, pertandingan kemudian harus diulang 36 jam kemudian (belum ada adu penalti saat itu). Tim Indonesia harus bertanding dengan kondisi pincang karena dua pemain cedera di laga pertama. Alhasil, Maulwi dan rekannya kalah secara terhormat dari Uni Soviet dengan skor cukup telak 0-4 dalam laga ulangan tersebut.
“Saya jatuh bangun menahan gelombang serbuan Beruang Merah (Uni Soviet). Pokoknya kami bertekad tidak menyerah. Waktu itu masih belum ada peraturan kalau hasil pertandingan draw, harus dilakukan sudden death tendangan penalty,” kenang Maulwi yang menghembuskan napas terakhir pada usia 90 tahun itu.
2. Torehkan Tinta Emas Bersama Timnas U-19
Selain berkarier sebagai pemain, Maulwi Saelan juga sempat menjajaki karier kepelatihan dengan menjadi asisten pelatih Timnas U-19, Antun Pogacnik tahun 1961 lalu. Meski tidak mendampingi tim setiap hari, namun ia menyatakan selalu mengingat perjalanan Indonesia merebut gelar juara Piala Asia U-19 di Thailand.
Menurut Maulwi, sepakbola modern di tanah air pertama kali dikenalkan oleh Antun Pogacnik kala berlaga di turnamen Piala Asia U-19 atau yang dahulu bersama Piala Asia Muda. Ketangguhan Indonesia kala itu tak lepas dari kecerdikan pelatih asal Yusoglavia tersebut dalam meramu strategi.
“Basisnya itu adalah pola 4-4-2, 3-5-3 atau 3-2-5, yang penting mirip huruf W dan M. Pola ini sangat melekat dengan Indonesia dan sudah menjadi identitas,” beber Maulwi.
Kerja keras Antun Pogacnik yang dibantu oleh Maulwi Saelan dan Djamiat Dalhar pun berbuah manis. Setelah mempersiapkan diri selama lebih dari setahun, skuat Garuda pun bertolak ke Thailand. Pada Piala Asia U-19 tahun 1961 itu, Indonesia tergabung di grup A bersama Korea Selatan, Vietnam, Singapura, dan Jepang.
Di laga perdana, Indonesia menang 2-0 atas Vietnam. Selanjutnya Korea Selatan ditahan imbang dengan skor 2-2. Tim Merah Putih kembali menang di laga ketiga dengan skor 2-1 atas Jepang. Sedangkan di laga penutup, Indonesia bermain imbang 1-1 dengan Singapura.
Dengan koleksi enam poin, Indonesia tampil sebagai juara grup dan melaju ke final melawan juara grup B, Myanmar. Kedua tim ini akhirnya diputuskan sebagai juara bersama usai bermain imbang 0-0 (waktu itu belum ada adu penalti).
3. Jadi Pengawal Bung Karno
Pengabdian Maulwi Saelan kepada Bumi Pertiwi ternyata tidak hanya di bidang olahraga. Lelaki kelahiran Makassar tersebut juga memenuhi panggilan revolusi. Dalam usia kurang dari 20 tahun, ia ikut berjuang melawan pasukan khusus NICA (pasukan Belanda).
Maulwi kemudian meneruskan perjuanganya melawan penjajah di Jawa. Ia bertempur di Malang Selatan. Karier tersebut mengantarnya menjadi Wakil Komandan Yon VII/CPM Makassar dan tahun 1958 Ia kemudian bertemu Bung Karno di Pare-pare, Sulawesi Selatan.
“Bung Karno mengenal saya berkat Olimpiade Melbourne. Beliau tanya siapa ayah saya, Amin Saelan pendiri Taman Siswa Makassar,” kisah Maulwi.
Maulwi yang merupakan mantan wakil komandan Tjakrabirawa, pasukan penjaga Presiden Soekarno tersebut juga pernah mendekam di penjara. Dilansir dari laman Historia, hal itu berawal tahun 1967 saat ia diinterogasi dan ditanyai seputar keterlibatan Bung Karno dalam peristiwa G30S PKI 1965.
Maulwi sendiri yakin Soekarno tak mengetahui ihwal peristiwa penculikan dan pembunuhan para jenderal angkatan darat itu. Pemeriksaan terhadap dirinya ternyata berujung penjara. Pada hari yang sama setelah interogasi Kopkamtib, Maulwi tak pernah diizinkan pulang sampai lima tahun lebih.
Selesai dari dunia militer, Maulwi menghabiskan waktu di bidang pendidikan sebagai ketua Yayasan Syifa Budi di kawasan Kemang, Jakarta Selatan. Sekolah itu cukup popular dan lebih dikenal dengan nama Al-Azhar Kemang.
Selain berkiprah di dunia pendidikan, Maulwi juga pernah menjabat sebagai ketua umum PSSI periode 1964-1967.
Karier Maulwi di Sepakbola Nasional :
1948 : Kiper tim Jakarta Raya PON I di Solo.
1953 : Kapten dan kiper tim Sulawesi Selatan PON III di Medan.
1950-1962 : Berkarier sebagai pesepakbola profesional.
1951-1956 : Kiper dan kapten Timnas Indonesia di Asian Games 1951 di New Delhi, India, Asian Games 1954 di Tokyo, Jepang (urutan 3), Olimpiade 1956 di Melbourne, Australia, Juara Pra Piala Dunia Zona Asia 1958, Tur Asia (Manila-Hongkong-Bangkok) 1955, Tur Eropa Tmur (Rusia, Yugoslavia-Jerman Timur-Chekoslowakia)1956.
1964-1967 : Ketua Umum PSSI.
1979 : Pengurus Persija Jakarta.
1977-1981 : Pengurus PSSI, ketua evaluasi dan badan teknik badan tim nasional (BTN) PSSI, ketua dewan pelatih/korp pelatih PSSI.
1979 : Chief de Mission bersama tim manajer Timnas, Sutjipto Suntoro di 16 besar Piala Dunia Yunior.
1989 : Pembawa bendera mewakili mantan pesepakbola pada PON XII di Jakarta.
1991-1999 : Dewan penasehat PSSI.