x

101 Tahun PSM Makassar: Dari MVB hingga Lahirkan Legenda Sepakbola Indonesia

Rabu, 2 November 2016 18:51 WIB
Editor: Gerry Anugrah Putra

Tahun 1922, sepakbola memang sedang berkembang di Sulawesi Selatan. MVB yang menjadi payung klub sepakbola amatir di Makassar sampai harus mendirikan empat divisi kompetisi untuk memutar kegiatan sepakbola. Di tahun yang sama juga, PSM membentuk kepengurusan baru yang mewakili beberapa lapisan masyarakat Makassar saat itu.

Saat kompetisi resmi PSSI dijalankan pada tahun 1931, MVB belum ikut serta. Namun, nama MVB sudah cukup dikenal di seantero nusantara saat itu. Perjalanan MVB cukup berliku, terlebih saat Jepang masuk ke Indonesia. Namun, ada hal yang positif saat Jepang mengharuskan nama-nama berbau Eropa menjadi nama Indonesia. Tahun 1942, MVB pun merubah nama menjadi Persatuan Sepakbola Makassar atau yang lebih dikenal dengan PSM.

Sepeninggal Jepang dari Indonesia, nama PSM tetap dipertahankan. Seiring dengan pembentukan Tim Nasional Indonesia pertama kali oleh PSSI tahun 1950, bintang-bintang PSM pun mulai dilirik. Ramang menjadi pemain yang ngetop di Timnas Indonesia era itu, bersanding dengan Sidi, Tan Liong Houw, Djamiat Dalhar dan R. Parengkuan.

Sepak terjang PSM di dunia pun diakui oleh federasi sepakbola tertinggi, yakni FIFA. Nama Ramang menjadi mendunia, saat FIFA mengakui sang legenda PSM itu sebagai legenda Indonesia dan dunia.

Bersama dengan klub-klub elite lainnya di Indonesia, PSM juga turut membidani lahirnya kembali kompetisi PSSI setelah merdeka. Juku Eja menjadi tim yang disegani di Indonesia bersama dengan Persija Jakarta dan Persebaya Surabaya, pada era awal kompetisi Perserikatan PSSI.

INDOSPORT coba mengulik nukilan sejarah klub yang sedang merayakan hari jadinya yang ke-101 tahun itu. Sejarah manis PSM untuk sepakbola Indonesia, patut diabadikan dalam sejarah sepakbola Indonesia.


1. Ramang, Dewa PSM Makassar Sepanjang Masa

Ramang menjadi legenda PSM dan Indonesia yang diakui FIFA.

Terlahir dengan nama Andi Ramang pada 24 April 1924, nama Ramang saat ini sudah mendunia sebagai legenda sepakbola yang diakui oleh FIFA. Bermain sepakbola sejak kecil, Ramang masuk ke skuat MVB (nama lama PSM) pada tahun 1947. Saat itu dia bermain untuk klub internal MVB, yakni Persatuan Sepakbola Induk Sulawesi (Persis).

Dirinya dilirik masuk skuat utama MVB saat mencetak banyak gol dalam satu musim kompetisi internal MVB tahun 1947. Hasil tersebut membuat Ramang diminati pengurus MVB untuk memperkuat tim utama di turnamen-turnamen sepakbola yang dibuat oleh pemerintah Jepang.

Yang menarik Ramang pernah ditawari bekerja sebagai opas di Departemen Pekerjaan Umum (DPU) Makassar. Gajinya saat itu tak pernah naik dan tak pernah turun, stuck di angka Rp3.500,-. Namun, Ramang mendapat keistimewaan, yakni bisa bermain sepakbola memperkuat PSM dan Timnas Indonesia.

Ramang memang istimewa, dia punya kemampuan untuk mencetak gol dengan posisi yang tak terduga. Bahkan ia mampu mencetak gol dari sudut yang sempit dan bahkan dengan gaya khas pemain jago saat itu, tendangan salto.

Kejayaan Ramang ada pada tahun 1956 dan 1957. Saat itu, Ramang menjadi pesepakbola top dengan menjadi andalan Timnas Indonesia dan juga PSM Makassar. Bersama dengan rekan-rekannya di Timnas Indonesia, Ramang dkk mampu menahan tim kuat Uni Soviet 0-0 di Olimpiade Melbourne 1956. Bahkan, kiper yang jadi legenda dunia, Lev Yashin, pun hampir dibuat malu. Ramang hampir membobol gawang Uni Soviet jika saja kausnya tak ditarik oleh pemain belakang Soviet.

Di tahun 1957, Ramang berhasil mempersembahkan gelar juara Perserikatan PSSI. PSM yang dipimpin Ramang tak terbendung pada tahun tersebut. Akan tetap, kariernya sebagai pesepakbola tergolong cepat. Tahun 1960 dirinya dituduh terlibat suap dan dijatuhi skorsing. Namanya pun perlahan menurun dan digantikan beberapa bintang muda baru seperti Soetjipto Soentoro dari Persija atau Rukma dari Persib Bandung.

Tahun 1962, dirinya kembali memperkuat PSM Makassar, namun pamornya sudah terlanjur jatuh. Usia 40 tahun, tepatnya tahun 1964, Ramang terakhir membela PSM Makassar menghadapi PSMS di Medan. Sejak saat itu, dirinya pensiun dari PSM. Ramang meninggal tahun 26 September 1987, di usia 59 tahun, sang legenda meninggal dunia di rumahnya yang sangat sederhana yang ia huni bersama anak, menantu dan cucunya yang semuanya berjumlah 19 orang. 

Meski demikian, generasi sepakbola Makassar masih ingat dengan jasa Ramang sebagai pemain besar PSM. Namanya bak dewa bagi Juku Eja. Hal itu dibuktikan dengan berdirinya patung Ramang di Lapangan Karebosi. Untuk menghormati Ramang, hingga saat ini, PSM punya julukan lain selain Juku Eja, yakni Pasukan Ramang.


2. Pertarungan Sengit dengan PSMS Medan dan Gelar Pertama Tahun 1957

PSM Makassar juara Perserikatan PSSI tahun 1957

Tahun 1957, menjadi tahunnya PSM Makassar. Berbekal skuat hebat, PSM memang mematok gelar juara untuk bisa menyamakan prestasi dengan para rival-rivalnya di Indonesia. PSM yang saat itu diperkuat oleh Ramang, Suardi Arland, dan Ramlan Yatim bersaing ketat dengan  PSMS Medan.

Persaingan keduanya memang menjadi berita menarik di tahun 1957. PSMS yang terkenal keras dan sempat bersitegang dengan Persija di ‘final’ Perserikatan tahun 1954, menjadi tim yang patut diwaspadai oleh PSM.

Pucuk dicinta ulam pun tiba. PSM akhirnya bertemu dengan PSMS yang bernafsu menjadi juara. Laga ketat penuh intrik dan gesekan akhirnya dimenangkan oleh PSM Makassar. Skor 2-0 cukup untuk membungkam Medan yang kembali gagal menjadi juara.

Gelar PSM tahun 1957 menjadi pembuka gelar-gelar lainnya. Juku Eja kembali meraih gelar juara Perserikatan tahun 1959. Ramang dkk kembali menjadi yang terbaik di Indonesia. Bahkan Persija dan Persebaya tak mampu mengejar kekuatan PSM kala itu.


3. Lahirkan Legenda Sepakbola Indonesia

Ronny Pattinasarany, pemain legenda PSM era 1970-an.

Tak hanya Ramang yang menjadi legenda sepakbola Indonesia. Beberapa pemain yang ‘lahir’ dari PSM pun menjadi legenda sepakbola Indonesia. Di angkatan Ramang, ada beberapa nama yang menjadi nama besar sepakbola Tanah Air, yakni Noorsalam, Suwardi Arland, hingga Ramlan Yatim.

Ada satu pemain angkatan Ramang, yakni Rasyid Dahlan yang juga bisa dianggap sebagai legenda sepakbola PSM. Rasyid merupakan pemain gelandang bertahan yang sangat bertenaga. Dirinya menjadi anak emas pelatih Timnas Indonesia, Tony Poganick. Namun kariernya harus ‘mati’ saat ia mematahkan kaki Sinyo Aliandoe saat seleksi pemain. Akhirnya Rasyid terkucilkan dan hanya bermain di regional Sulawesi Selatan saja.

Lepas dari angkatan Ramang, PSM melahirkan bintang era 1970-an dalam diri Suaib Rizal, Andi Lala, dan Ronny Pattinasarani. Sayang dua pemain yang disebutkan hijrah lebih cepat ke Persija Jakarta. Bahkan keduanya dianggap sebagai legenda Persija.

Era Ronny, PSM kembali menjadi tim yang ditakuti di level nasional. Bahkan nama Ronny sendiri sangat dikenal sebagai kapten Timnas Indonesia pada eranya. Permain lugas dan keras menjadi ciri khas bek yang ogah memakai pelindung kaki itu. Ronny pada akhir kariernya hijrah ke Jakarta dan bermain untuk Persija. Selain itu Ronny juga sempat menjadi pelatih klub Galatama, Tunas Inti bersama Risdianto.

Saat ini, PSM juga menelurkan kembali pemain berbakat. Syamsul Chaeruddin dan Rasyid Bakri menjadi representasi PSM di era ini. Keduanya memang masih bermain untuk PSM, tapi tak menutup kemungkinan kiprahnya akan sama dengan para pendahulunya di PSM.

Selamat Ulang Tahun PSM, Ewako PSM!

Persebaya SurabayaPersib BandungPersija JakartaPSSIPSM MakassarPSMS MedanSyamsul ChaeruddinRonny PattinasaranyAndi RamangLiga Indonesia

Berita Terkini