Boaz Solossa, Patah Kaleng, dan Jaminan Bakat Papua untuk Indonesia
Satu assist saat melawan Singapura di Piala AFF 2016 menjadi penegasan Boaz Solossa bahwa Papua tak pernah habis menelurkan bakat bertalenta. Umpan dari Boaz berhasil dimaksimalkan Stefano Lilipaly menjadi gol penentu kemenangan.
Gol ini juga membawa Skuat Garuda ke semifinal AFF 2016. Aksi ini juga menegaskan Boaz sebagai sosok utama skuat Garuda dalam 10 tahun terakhir.
Boaz seakan menjadi jaminan ketajaman lini serang Timnas dan setiap klub yang dibelanya. Hingga laga melawan Filipina, pemain berusia 30 tahun ini telah mencatat 30 penampilan bersama Timnas Indonesia.
Bochi, demikian panggilannya, merupakan monumen dari generasi terkini sepakbola Papua. Bochi adalah simbol dari mengalirnya para pemuda di ujung timur Nusantara ini dalam urusan sepakbola.
Sebelum Bochi, kita mengenal sosok Elie Aiboy, Erol Iba, Aples Tecuari, Chris Yarangga, Eduard Ivakdalam, dan Rony Wabia. Lebih lawas lagi, jangan lupakan nama Rully Nere, Noah Mariem, dan Yohanes Auri di kancah persepakbolaan nasional.
Papua layaknya mata air dalam pencarian bibit unggul bagi sepakbola tanah air. Tak putus generasi yang dikenal kuat secara fisik maupun lihai secara individual ini dalam perjalanan panjangnya.
Sedikit mengulas kondisi kultural masyarakat Papua, ternyata ada sebuah tradisi unik yang tanpa disadari menyemai bakat para pemuda dalam bermain sepakbola. Sebuah permainan rakyat yang dimainkan hampir di seluruh wilayah Cendrawasih, Patah Kaleng namanya.
Bagaimana permainan tradisi ini menjadi cikal bakal bagi mengalirnya talenta Papua? Berikut hasil rangkuman dari INDOSPORT;
1. Monumen Perdana Sepakbola Papua
Dominggus Waweyai, nama seorang perintis anak Papua di Timnas Indonesia. Dominggus merupakan salah satu pemain Papua yang sempat mencicipi berseragam Merah Putih di era 1960-an.
Dominggus merupakan salah satu talenta emas asal Hollandia, nama Papua sebelumnya. Dominggus dianggap sebagai salah satu pemain yang menjadi masterpiece sepakbola Papua di zamannya.
Hollandia sendiri memiliki dua asosiasi sepakbola, Voetbalbond Hollandia en Omstreken (VHO) yang hanya untuk pemain Belanda dan Eropa lainnya, dan Voetbal Obligasi Hollandia (VBH), di mana masyarakat lokal bisa diperbolehkan berkarier lewat kompetisi yang digagas VBH.
Dominggus merupakan keluaran dari klub sepakbola Missie Voetball Vereniging (MVV), sebuah tim yang berkompetisi di liga yang digagas VBH. Bakat Dominggus kemudian tercium sampai ke Jakarta dalam waktu singkat.
Drg. Endang Witarsa salah satu sosok yang pertama kali menemukan bakat Dominggus Waweyai, salah satu permata sepakbola Papua pertama.
Berkat blusukan yang dilakukan Liem Soen Joe, atau yang dikenal dengan Drg. Endang Witarsa, bakat Dominggus sampai di ibu kota. Pak Dokter, sapaan akrabnya ditugaskan untuk merombak total Persija Jakarta yang kala itu tengah mengalami kemerosotan prestasi.
Pak Dokter sukses memboyong Dominggus dan sejumlah pemain untuk memperkuat Macan Kemayoran di tahun 1962. Pemain yang dikenal memiliki kualitas individu yang cemerlang ini kemudian mampu membawa Macan Kemayoran menjadi juara di tahun 1964 dan 1965.
Gemilang di Persija Jakarta, membuat Dominggus sempat dipanggil memperkuat Tim Nasional Indonesia. Antun 'Toni' Pogacnik memanggil Dominggus untuk membela Timnas Indonesia.
Padahal sejak tahun 1960-1963, Dominggus menjadi rebutan antara Indonesia dan Belanda yang ingin menggunakan jasanya. Sempat dua tahun membela Indonesia, Dominggus akhirnya memutuskan untuk menjadi warga negara Belanda pada tahun 1965.
2. Aliran Kedua Talenta Tanah Papua
Duet Yohanes Auri dan Timo Kapisa merupakan salah satu yang terbaik di Indonesia di era tahun 1970-an. Keduanya merupakan andalan Persipura Jayapura dalam kompetisi perserikatan PSSI.
Keduanya mampu menjadikan Persipura menjadi juara di tahun 1977. Hal ini membuat PSSI berkenan untuk mengirimkan tim asal timur Indonesia tersebut ke ajang Kings Cup di tahun yang sama.
Berbekal hal ini, Will Coerver yang saat itu ditunjuk sebagai nahkoda Timnas Garuda ikut memanggilnya. Johanes Auri langsung menjelma sebagai salah satu pemain belakang terbaik di zamannya.
Sementara Timo Kapisa menjadi andalan Timnas di lini depan. Kala itu, para saksi menilai bahwa permainan Timo saat ini sedikit banyak mirip dengan Boaz Solossa hari ini.
Lalu ada nama Noah Meriem dan Rully Nere di era 80-an. Rully Nere merupakan sosok yang tak asing lagi bagi para pecinta sepakbola Tanah Air.
Kehadirannya di Timnas Indonesia pada dasawarsa 1977-1989 selalu dikenang seluruh insan sepakbola tanah air. Pemain yang besar bersama Persipura ini, menjadi salah satu pilar lini tengah Skuat Garuda saat merebut emas di SEA Games 1987.
Sebelum Boaz, mungki Rully Nere lah pemuda Papua yang menyedot perhatian sepakbola nasional. Sebanyak 9 pelatih yang pernah menangani Indonesia di akhir 70-an hingga akhir 80-an tak berani untuk luput memanggil namanya dari daftar pemain Timnas Indonesia.
3. Kilap Papua Sepanjang Masa
Giliran generasi Aples Tecuari, Chris Yarangga, dan Alexander Pulalo mewarnai sepakbola di pertengahan 1990-an. Keduanya tergabung dalam proyek ambisius dari PSSI yang bertekat menelurkan prestasi lewat pembinaan usia muda.
Aples, Chris, dan Alex masuk dalam rombongan 20 orang pemuda yangb dikirim ke Italia lewat program Primavera. Aples merupakan salah satu stopper paling disegani di Indonesia. Chris merupakan seorang pemain gelandang bertahan yang cukup sukses bersama Persipura.
Ketiganya menjadi jaminan melimpahnya bakat asal timur di kancah persepakbolaan nasional. Belum lagi nama Eduard Ivakdalam atau pun Rony Wabia yang menjadi garansi kualitas teknis dan sosok bertenaga.
Para pemain Papua ini juga sempat keluar-masuk Timnas Indonesia pada eranya. Bahkan, Rony Wabia sempat membuat sebuah gol atraktif melalui sepakan pojoknya di Piala Asia 1996.
Para pemain ini seakan menjadi jembatan emas bagi para junior mereka untuk berkarier lebih jauh di sepakbola nasional. Keberadaan mereka akan menjadi cikal bakal para pemain muda Papua macam Ortizan Solossa, Boaz Solossa, Christian Worabay, Elie Aiboy, Erol Iba, dan Oktovianus Maniani.
4. Generasi Emas Memanjang di Awal Milenium Baru
Layaknya sebuah kebun subur, Papua menjadi ladang mewah para bakat muda. Para pesepakbola tumbuh layaknya jamur di musim penghujan.
Kita tentu saja masih ingat nama macam Elie Aiboy dan Erol Iba. Pengagas pertama talenta muda Papua di awal milenium baru.
Keduanya menjadi satu dari segenap bakat muda ujung timur yang bakal mewarnai persepakbolaan nasional. Erol dan Elie merupakan alumnus dari program PSSI Baretti, sebuah proyek kedua PSSI usai merasa program Primaveranya berjalan mulus.
Elie bahkan sempat melanglang hingga ke Malaysia bersama Bambang Pamungkas. Pemain ini dikenal sebagai sosok pemain sayap yang cukup licin.
Elie Aiboy menjadi satu pemain yang sanggup mengantarkan Indonesia sebagai runner up Piala AFF 2004. Trio Aiboy, Bambang Pamungkas, dan Ilham Jayakesuma menjadi salah satu yang paling mematikan di sepakbola ASEAN.
Patah tumbuh hilang berganti. Musim semi Aiboy dan Erol berganti dengan bibit baru pada nama Boaz Solossa, Ian Kabes, Christian Worabay, dan Imanuel Wanggai.
Generasi ini mendominasi Timnas Indonesia pasca Piala Asia 2007 di Jakarta. Bahkan Boaz yang kini menjadi kapten Timnas Indonesia disebut layak bermain di Eropa kala itu.
Lalu tibalah waktunya Oktovianus Maniani, Patrich Wanggai, dan Titus Bonai memasukkan nama mereka sebagai the next big things. Okto sukses mengantarkan Indonesia menjadi (lagi-lagi) runner up Piala AFF 2010.
Saat itu, Okto membuat para pencinta sepakbola nasional lupa akan keberadaan Boaz Solossa yang tengah menurun. Okto sukses menjadi pemain sayap yang licin bersama Irfan Bachdim dan Cristian Gonzalez di lini depan skuat Garuda.
Sementara itu, duet Patrich Wanggai dan Titus Bonai menjadi harapan Indonesia kala memperkuat Timnas U-23. Sayang keduanya gagal mempersembahkan emas kala melakoni laga SEA Games 2011 yang berlangsung di halaman sendiri.
5. Patah Kaleng Nama Rahasia Itu
Skill mentereng menjadi salah satu keunggulan para pemain Papua. Sejak era Dominggus Waweyai, Rully Nere, Noah Meriem, Elie Aiboy, Boaz Solossa, dan Patrich Wanggai dikenal dengan skill individu mereka.
Kemampuan ini seolah menjadi bakat alamiah yang dimiliki para pemuda ini. Namun, ternyata ada tradisi yang memungkinkan mereka mampu dominan terhadap penguasaan bola secara individu.
Sebuah permainan rakyat bernama patah kaleng menjadi rahasianya. Patah Kaleng, dinamakan demikian lantaran menggunakan kaleng sebagai salah satu alat permainan.
Kaleng tersebut digunakan sebagai pengganti gawang. Permainan ini tak ubahnya seperti sepakbola namun tanpa aturan yang sempurna.
Lapangan yang digunakan pun menyesuaikan banyaknya pemain yang ikut serta. Benar-benar fleksibel!
Permainan ini bisa dilakukan hanya dengan 2-3 orang dengan lapangan kecil, ataupun dengan 5-10 orang pada lapangan yang lebih besar. Sebuah kesepakatan akomodatif komunal yang memberi kesempatan siapa saja untuk unjuk kemampuan.
Mereka akan saling mengenai kaleng yang diletakan di ujung lapangan untuk mencetak angka bagi tim masing-masing. Segala cara akan dilakukan dengan upaya 'menggoreng', sebuah istilah ala Papua untuk menggocek pemain lawan.
Inilah yang menjadi candradimuka bagi para bocah Papua untuk mencari celah dalam mengembangkan bakat individual mereka. Biasanya si 'Raja Goreng', seorang yang punya kemampuan individu lebihlah yang akan diplot sebagai kapten atau pemimpin sebuah tim.
Pertandingan Patah Kaleng juga semakin seru, karena bisa bersambung. Meski tidak ada aturan waktu permainan, tapi pertandingan bisa diselesaikan untuk ditunda.
Besoknya, ketika pertandingan dilanjutkan, skor akan dimulai dengan posisi angka sebelumnya. Misalnya tim A unggul 3-2 atas tim B pada laga sebelumnya.
Maka pada pertandingan berikutnya, skor akan dimulai dari angka 3-2 untuk tim A. Terus berlanjut hingga ada tim yang menyerah.
Hal ini membuat skor pertandingan bisa mencapai angka yang tidak terhingga. Namun, hal inilah yang menjadi motivasi anak-anak Papua untuk tampil ngotot dan kompetitif.
Situasi ini menjadi salah satu bekal bagi para pemuda Papua saat beranjak dewasa. Modal teknik yang terasah, dibumbui dengan semangat pantang menyerah, dan berusaha untuk lebih maksimal dalam sebuah pertandingan telah mengakar sejak dini.
Meski tidak banyak yang mengetahui sejak kapan olahraga tradisional ini bermulai, namun Patah Kaleng terlanjur menjadi katalisator awal bagi para pemain muda Papua untuk berkompetisi secara setengah matang.
Lalu, saat sebagian besar bocah Papua memanfaatkan kaleng sebagai sarana sederhana mereka dalam bersepakbola, PSSI hari ini belum memiliki formulasi untuk pengembangan bakat muda sejak dini.
Bayangkan, jika saja bakat para 'Raja Goreng' tersentuh lebih cepat oleh pemandu bakat yang kita ketahui sama sekali tak dimiliki oleh klub-klub Indonesia, bukan tidak mungkin mereka mampu bersaing dengan sepakbola jalanan Brasil yang menelurkan bakat sekelas Pele, Zico, dan Neymar di Brasil.