x

Peter Withe, Pionir Sepakbola Thailand dan Indonesia

Kamis, 8 Desember 2016 19:06 WIB
Editor: Arief Rahman Hakim

Hanya berlatih dalam kurun waktu dua-tiga bulan, baru berlatih bersama pasca FIFA mencabut sanksi kepada PSSI, dan hanya diberi dua pemain oleh masing-masing klub, kinerja Riedl dalam membawa Indonesia ke final merupakan pencapaian yang hebat, bahkan, melebihi ekspektasi.

Pria Austria berusia 67 tahun itu sukses menerapkan formasi 4-4-2 dan 4-2-3-1 dalam mengarungi Piala AFF 2016, dari penyisihan grup neraka, grup A, yang berisikan juara bertahan, Thailand, Singapura, dan tuan rumah, Filipina.

Indonesia terus melaju dan menyingkirkan Vietnam dengan total agregat gol 4-3, menanti pemenang laga antara Thailand dan Myanmar. Tentu, harapan publik di final adalah menjadi juara, memupus kutukan spesialis runner up yang diraih pada 2000, 2002, 2004, dan 2010.

Pencapaian Boaz Solossa dan kawan-kawan hingga saat ini boleh jadi menambah manis CV Riedl, kala ia melatih Indonesia. Namun Riedl bukan satu-satunya pelatih asing yang menunjukkan kualitasnya saat melatih Timnas Indonesia, karena nama Riedl sejajar dengan Peter Withe dan Ivan Kolev.

Dua pelatih itu juga punya andil masing-masing dalam mengembangkan permainan sepakbola Skuat Garuda, baik dari segi taktik, atau penanaman mental. Terutamanya Withe, yang bisa disebut sebagai pionir sepakbola Thailand dan Indonesia.

Withe (65 tahun) saat ini tak melatih klub atau negara, setelah terakhir melatih Nakhon Pathom United. Namun legenda Aston Villa itu juga memiliki capaian dan warisan yang ditinggalkan untuk Thailand serta Indonesia.

INDOSPORT pun coba menjabarkan sosok pria kelahiran Liverpool itu dan andilnya, kala menjadi pionir sepakbola Thailand dan Indonesia. Berikut penjabarannya:


1. Withe dan Negeri Gajah Putih

Peter White saat melatih Timnas Thailand.

Timnas negara pertama yang dilatih Withe, pasca melatih Wimbledon pada 1991. Kariernya di ranah kepelatihan pun terhitung cepat, karena sejak ia memutuskan pensiun sebagai pesepakbola pada 1990, setahun kemudian melatih Wimbledon, dan berani mengambil tanggung jawab sebagai pelatih Timnas Thailand pada 1998.

Gajah Perang Thailand pun diubahnya menjadi kekuatan besar di Asia Tenggara, tengok betapa sulitnya pemain Timnas Indonesia kala itu seperti Nur'Alim, Aji Santoso, dan Sugiantoro, melawan Thailand.

Dua kali beruntun pada 2000 dan 2002, Withe membawa Thailand ke final Piala AFF dan memenangi kedua final itu, mengalahkan Indonesia yang mulai mendapat julukan spesialis runner up.

seperti halnya kebanyakan mantan pemain atau pelatih asal Britania Raya, Withe juga menerapkan taktik yang identik dengan kultur sepakbola Inggris, yakni kick and rush. Thailand dibentuknya dengan permainan cepat, ofensif, enerjik, dan memainkan direct football atau sepakbola langsung.

Tak ada waktu bagi tim lawan mengatur pertahanan mereka, Thailand akan langsung meneror jantung pertahanan lawan. Withe mengandalkan Kiatisuk Senamuang, yang kini jadi pelatih Timnas Thailand, bersama dengan pemain lainnya seperti Pipat Thonkanya, Kovid Foythong, dan Tanongsak Prajakkata.

Filosofi bermain yang sudah terbentuk sejak 2000 itu, dilanjutkan hingga 2002, bahkan, Withe menanamkan mental pemenang atau juara di Thailand. Hal itu terbukti pada Piala AFF 2002 melawan Indonesia di Stadion Utama Gelora Bung Karno, di mana format saat itu bukan laga kandang dan tandang.

Thailand sama sekali tidak gentar bermain di hadapan suporter fanatik Indonesia, memaksa skor menjadi 2-2 di waktu normal, dan menang drama adu penalti dengan skor 4-2.

Capaian, penanaman filosofi dan mental Withe kepada Thailand ini hanya jadi batu lompatannya di level Timnas. PSSI pun sudah mulai memantau Withe selepas prestasi dua titel beruntun Piala AFF 2000 dan 2002 itu.


2. Kisah Manis Piala AFF White Tak Terulang di Indonesia

Peter White saat melatih Timnas Indonesia.

Kegagalan Withe membawa Thailand lolos ke perempat final Piala Asia 2004, dimanfaatkan PSSI yang kala itu dipimpin Nurdin Halid, untuk menarik White ke Timnas Indonesia. Bak Gayung bersambut, Withelangsung menerima pinangan PSSI pada 2004.

Harapan PSSI tentu agar sepakbola Indonesia berprestasi, terutamanya di turnamen terdekat, Piala AFF, sebelum berpikir terlalu jauh ke Piala Asia, apalagi Piala Dunia. Tanpa keraguan sama sekali, Withe langsung mendobrak taktik andalan Indonesia yang mengandalkan 3-5-2 dengan 4-4-2.

3-5-2 merupakan formasi klasik atau konservatif yang dahulu menjadi skema favorit Indonesia, namun, Withe menginginkan Indonesia agar meninggalkan zona nyaman itu dan menerapkan formasi klasik Inggris, 4-4-2.

Kala itu penerapan taktik itu dikritik oleh figur beken sepakbola Indonesia seperti Benny Dollo dan Sutan Harhara, karena menilai pemain Indonesia belum siap memainkan pola itu. Bagaimana respon Withe? Tidak peduli, dan bersikukuh dengan prinsipnya itu.

Ia tetap menggunakan formasi itu di Piala AFF 2004 dan tidak ragu dalam membuat keputusan. Pemain-pemain seperti Kurniawan Dwi Yulianto, Elie Aiboy, Ponaryo Astaman, Firman Utina, dan Charis Yulianto.

Kala itu, untuk ketiga kalinya Indonesia mencapai babak pamungkas alias final, dan kali ini melawan Singapura. Format saat itu telah menggunakan dua sistem kandang dan tandang, dan sayangnya, Singapura juara dengan agregat gol 5-2.

Meski begitu, filosofi bermain yang telah ditanamkan Withe saat itu terbukti menjadi hal yang positif dalam perubahan bermain Timnas Indonesia. Pasalnya di grup A bersama Singapura, Vietnam, Laos, dan Kamboja, Indonesia lolos sebagai juara grup dengan catatan gemilang.

Indonesia mencetak 17 gol! Hebatnya lagi, tanpa pernah kebobolan ke gawang yang dijaga Hendro Kartiko. Indonesia saat itu menang 6-0 kontra Laos, 3-0 melawan Vietnam, 8-0 melawan Kamboja, dan imbang tanpa gol melawan Singapura.

Withe pun meyakinkan Indonesia untuk melepas dahaga titel Piala AFF saat itu, lolos dengan heroik dari semifinal dan mengalahkan Malaysia, dan menjadikan bencana tsunami Aceh, untuk memotivasi Skuat Garuda.

Indonesia tampil gemilang membalikkan ketertinggalan agregat 1-2 dari Malaysia, dan berbalik menang di Shah Alam dengan skor 4-1, Indonesia tampil ofensif, enerjik, dan bermain penuh determinasi.

Di final, semua itu lenyap seketika karena taktik Radojko Avramovic, yang sukses mengandalkan Agu Casmir dalam menjadi motor serangan Singapura.

Keajaiban serupa tak lagi terjadi di Piala AFF 2007, karena permainan Indonesia sudah dibaca oleh lawan-lawannya, dan Withe gagal total kala itu karena tak mampu membawa Indonesia lolos penyisihan grup yang berisikan Singapura, Vietnam, dan Laos.

Palu pemecatan tak dapat dihindari, publik menekan PSSI untuk memecat Withe dan hanya dalam kurun waktu enam bulan dari Piala Asia 2007, Withe dipecat dan digantikan dengan Ivan Kolev.

Withe tak lagi melatih Timnas, namun peninggalan formasi 4-4-2 itu masih diterapkan hingga saat ini ke era Riedl, hanya Kolev yang memiliki taktiknya sendiri, yakni 4-3-3.


3. Tanpa White, Takkan Ada Boaz Solossa di Timnas Indonesia

Peter White memberi kesempatan Boaz Solossa menjalani debut pada 2004.

Boaz Solossa, bomber kelahiran Sorong, Papua, yang ditakuti di Asia Tenggara karena kecepatannya melalui lini belakang lawan, tajam dalam mengeksekusi peluang dan kini jadi kapten Timnas.

Bomber Persipura Jayapura merupakan andalan lini depan Indonesia dan pengalamannya sangat diharapkan publik, dapat membawa Tim Merah Putih memecah dahaga titel Piala AFF tahun ini.

Tapi, coba untuk sesaat lupakan Boaz yang kini telah matang sebagai pesepakbola, dan ingat bagaimana nama Boaz pertama muncul di Timnas. Ya, Boaz diberi kesempatan mentas di level internasional dan menjalani debut bersama Withe.

Pada 2004, Withe meninggalkan Bambang Pamungkas dan memasukkan Boaz - yang kala itu belum dikenal - ke dalam skuat yang dibawanya ke Piala AFF 2004. Boaz belajar langsung dari Ilham Jaya Kesuma dan Kurniawan Dwi Yulianto, bagaimana bermain di Timnas.

Kesempatan itu tak ayal dijadikan kesempatan bagus bagi Boaz, untuk terus mematenkan namanya di dalam skuat Timnas Indonesia. Pemain yang tadinya bersinar di Tim Papua Pon Palembang 2004, kini menjadi andalan Timnas Indonesia.

Boaz Theofilius Erwin Solossa menjalani debut di usia 18 tahun, dan langsung memulai Piala AFF 2004 dengan dua golnya ke gawang Laos. Mentalnya sudah terasah, karena pernah bangkit dari cedera berat pada 2004, 2005, bahkan bangkit dari patah tulang pada 2007.

Sang bomber telah mencetak 14 gol dari 42 caps yang dijalaninya, terpaut 23 gol dari Bambang Pamungkas. Dan masuknya Boaz itu menunjukkan, bahwa Withe punya mata elang dalam melihat talenta muda.

"Saya sempat kaget ketika Withe mengatakan pemain kita kurang garang di lapangan. Dia bilang jarang sekali ada pemain kita yang berani melakukan penetrasi jika memiliki peluang. Hanya sedikit pemain yang seperti itu. Dan jika ada dia menyebutkan hanya Boaz penyerang Persipura Jayapura," ucap Iwan Setiawan mengenai penilaian White kepada Boaz pada 2004.

Alfred RiedlPiala AFF 2016Benny DolloTimnas IndonesiaIvan KolevPiala AFFLegenda OlahragaPeter WitheTimnas Thailand

Berita Terkini