x

Mengupas Sejarah dan Rivalitas 2 Klub Tionghoa di Jakarta

Senin, 30 Januari 2017 10:30 WIB
Editor: Gerry Anugrah Putra
Skuat Tunas Jaya dan UMS

Jakarta adalah pusat pemerintahan dan ekonomi Indonesia. Tak jarang banyak warga yang berbondong mengadu nasib ke Jakarta untuk memperbaiki perekonomian mereka. Dari gang-gang sempit hingga ke kota besar, nafas para pencari kepuasan ekonomi pun terus memburu.

Di tengah kota, peranakan Tionghoa sudah datang ke Indonesia pada 300 tahun yang lalu. Tionghoa yang datang ke Indonesia banyak berasal dari Provinsi Fujian daerah Taiwan, yang juga dikenal dengan China Hokkien.

Tionghoa tersebut banyak berkumpul di daerah kota yang terkenal dengan daerah Pecinan di Glodok Jakarta. Turun temurun mereka membangun kehidupan dan berbaur bersama dengan warga lokal, entah itu berhubungan urusan ekonomi, sosial, dan tak jarang banyak yang membangun rumah tangga dengan warga pribumi.

Etnis Tionghoa pun juga memiliki pengaruh dalam melawan penjajah. Bahkan di tahun 1740 mereka melawan Belanda dengan melakukan pemberontakan yang dikenal dengan nama Geger Pacinan. Setidaknya ada sekitar 20.000 warga Tionghoa yang menjadi korban. Karena peristiwa tersebut, aliran sungai kali yang berada tak jauh dari kawasan Glodok berubah menjadi warna merah darah. 

Imbas dari peristiwa tersebut, Pemerintah Hindia Belanda mengeluarkan peraturan yang disebut dengan Wijkenstelsel, yang artinya para etnis Tionghoa hanya boleh tinggal di kawasan Glodok dan dilarang tinggal di dalam tembok kota. Namun justru karena peraturan inilah kehidupan bisnis di kawasan Glodok semakin tumbuh dengan pesat.

Bicara tentang Tionghoa di Jakarta dan peranan terhadap sepakbola, etnis ini sudah memainkan olahraga jauh sebelum PSSI berdiri. Ada beberapa klub sepakbola etnis Tionghoa di Jakarta, yakni UMS, Chung Hua, BBSA (Bangka Belitong Sport Association), dan San Ming Hui.

Namun, kini hanya tersisa dua saja yang masih bertahan dan memutar kegiatannya untuk sepakbola Jakarta. Keduanya adalah UMS dan Chung Hua (Tunas Jaya), yang masih berdiri. 

Ada cerita menarik dari dua klub tersebut. Keduanya menjadi klub besar Tionghoa di Jakarta dan merupakan rival dan kawan lama.

Seperti apa perjalanan, rivalitas, dan sumbangsih mereka untuk sepakbola Persija dan Indonesia? INDOSPORT merangkum secara ringan investigasi dua klub tersebut.


1. Lahirnya Kekuatan Sepakbola Tionghoa Bernama UMS

Klub UMS pernah menjadi yang terkuat di kompetisi Persija.

Kekuatan Tionghoa di sepabola Tanah Air dimulai dengan Union Makes Strenght di Jakarta. Klub ini terlahir dengan nama Tiong Hoa Oen Tong Hwee (THOTH) pada 15 Desember 1905 oleh mendiang Song Chong Sin. Kala itu THOTH belum memainkan cabang sepakbola di perkumpulan olahraga yang memang khusus etnis Tionghoa ini. 

Pada era awal berdiri, mereka masih fokus dengan bidang olahraga seperti atletik, tenis, dan renang. Baru pada 20 Februari 1912 muncul cabang sepakbola yang didirikan oleh Oey Keng Seng dan Louw Hap Ie dengan nama Tiong Hoa Hwee Koan (Pa Hua) FC.

Nama Union Makes Strength mulai dipakai pada 2 Agustus 1914 dan THOTH pun melebur bersama dengan UMS. Untuk menghormati THOTH sebagai organisasi olahraga etnis Tionghoa yang sudah lebih dulu muncul, UMS memakai 15 Desember 1905 sebagai tahun kelahiran mereka dan warna kebanggaan THOTH, yakni biru bergaris putih.

Perjalanan UMS sebagai klub sepakbola di Jakarta memang terbilang gilang gemilang. Klub yang tak pernah mengubah warna kebanggaan dari biru-putih itu menjadi penantang serius Hercules di kompetisi VBO (kompetisi klub-klub di Batavia di bawah payung pemerintahan kolonial).

UMS saat ini, masih terus eksis sebagai klub anggota Persija Jakarta.

Meski menjadi 'jago' Batavia, UMS baru dua kali merebut gelar juara VBO Turnoi, yakni pada musim 1932/1933 dan 1947/1948. Bisa dibilang UMS merupakan menjadi klub etnis Tionghoa paling legendaris di Indonesia.

Namun, UMS sebagai klub yang juga menjadi organisasi olahraga Tionghoa di Batavia tak lepas dari konflik. Terutama cabang sepakbola yang cukup banyak anggotanya. UMS saat itu punya tiga tim yang dibagi per kelas.

Kelas pertama adalah para pemain bintang yang selalu menjadi andalan UMS jika bermain di kompetisi resmi, lalu kelas dua yang menjadi pelapis tim kelas pertama dan bermain di kompetisi kelas dua VBO, dan yang terakhir adalah kelas tiga, tim yang menjadi pelapisnya tim pelapis.

Kondisi tersebut membuat UMS bergejolak. Banyak pemain dari kelas tiga tak puas dengan statusnya yang hanya menjadi pelapis dari dua tim tersebut.

"Sejarahnya seperti itu, jadi pemain-pemain kelas tiga itu tak puas dengan pengurus UMS yang terus menempatkan mereka di kelas tiga," ucap Benhard Sindikara, salah satu sesepuh Tunas Jaya, kepada INDOSPORT beberapa waktu yang lalu.

Tanpa sadar, pemberontakan pemain kelas tiga itu pun meluas dan membuat UMS mempunyai 'musuh' baru sekaligus abadi hingga saat ini.


2. Kemunculan Chung Hua Tsing Nien Hui (Perkumpulan Olahraga dan Sosial Tunas Jaya)

Tunas Jaya lahir sebagai pesaing UMS dalam cabang sepakbola

'Pemberontakan' pemain kelas tiga UMS berimbas pada keluarnya para pemain dari Petak Sinkian. Dimotori oleh Tan Chin Hoat, para pemain tersebut hijrah ke Chung Hua Tsing Nien Hui yang baru saja terbentuk dan membuka cabang olahraga.

Kemunculan Chung Hua jelas mengancam dominasi UMS sebagai wadah olahraga dan sepakbola etnis Tionghoa di Jakarta. Apalagi, Chung Hua punya pemain-pemain andal seperti Tan Chin Hoat, Tek An, Tek Sen, A Bing, dan Kok Gie yang sebelumnya memang bermain di UMS.

Jika UMS bermain di Petak Sinkian, maka Chung Hua pertama kali bermain di lapangan Jenderal Urip di Jatinegara. 'Dendam' kepada UMS menjadikan Chung Hua terus membangun kekuatan di sepakbolanya. Lambat laun Chung Hua berkembang menjadi klub yang ditakutkan di Batavia bersama dengan Hercules, UMS, dan Vios. 

Dukungan warga sekitar pun mengalir kepada Chung Hua. Apalagi saat itu Jatinegara juga menjadi sentra dagang yang banyak didiami oleh etnis Tionghoa yang mulai keluar dari benteng Glodok. Alur itulah yang membuat Chung Hua menjadi kekuatan baru di sepakbola Batavia.

Buktinya nyata mereka adalah gelar juara VBO di musim terakhir, yakni pada 1949/1950. Setelah itu, kompetisi VBO pun tutup usia dan secara resmi, kompetisi Persija dan PSSI lah yang diakui negara.

Pada masa orde baru, Chung Hua mengubah namanya menjadi Tunas Jaya. Pada era bernama Tunas Jaya, klub ini masih beraktivitas dengan baik dan menjadi perkumpulan sepakbola Tionghoa yang rutin menggelar turnamen Liga Naga.

INDOSPORT berkesempatan untuk bertemu dengan Budhi Tanoto yang merupakan putra dari sesepuh Tunas Jaya, Tan Liong Houw. Budhi menuturkan bahwa dirinya besar di Tunas Jaya karena faktor keluarga. 

Tunas Jaya kini tak lagi menggunakan warna kuning dan hijau.

Bersama sang kakak, Wahyu Tanoto, Budhi bermain untuk Tunas Jaya selepas belajar sepakbola di Merdeka Boys Football Association (MBFA) pada era 1980-an. Membela Tunas Jaya merupakan suatu kehormatan karena di klub itulah sang kakek dan ayahnya menjadi pemain besar Indonesia.

"Ya, saya pernah dengan cerita dari papi (Tan Liong Houw) jika Tunas Jaya dulu awal-awal bernama Chung Hua. Dulu klub hebat di Jakarta, engkong (Tan Chin Hoat) dan papi saya merupakan pentolan klub Tunas Jaya," cerita Budhi.

"Kita dulu main tidak pindah klub, terus di Tunas Jaya kalau sedang kompetisi Persija. Baru pas main di Perserikatan, saya menjadi wakil Tunas Jaya di Persija," lanjut Budhi yang juga pemain skuat Indonesia Junior tahun 1983, mengenang masa mudanya.

Budhi menilai Tunas Jaya era Tan Liong dan dirinya sangatlah berbeda. Dulu semasa bernama Chung Hua, klub tersebut bisa dibilang menjadi salah satu jagoan Jakarta. Bersama dengan UMS, Indonesia Muda, Hercules, Jakarta Putera, ataupun BBSA, Chung Hua menjadi pesaing juara kompetisi Persija.

"Pas papi main, Tunas Jaya memang sedang bagus. Julukan kita dulu Si Naga Kuning, karena klub kita identik dengan warna kuning dan hijau," cerita Budhi. 

Menariknya warna tersebut memang kontras dengan warna kebanggan UMS yang lebih adem, biru dan putih. Kesamaannya adalah keduanya memakai motif bergaris dalam kostum, dan perbedaanya adalah pemilihan warna.

Budhi melanjutkan Tunas Jaya pada eranya. Masa itu, Tunas Jaya masih tetap eksis walau tidak segarang era Tan Chin Hoat dan Tan Liong Houw. Namun, Tunas Jaya tetap mengirimkan wakil untuk Persija.

"Zaman saya, Tunas Jaya tidak terlalu naik. Biasanya yang masuk Persija itu saya dan kakak saya, lalu ada Pracoyo, dan Herry Latief. Kita juga banyak di papan tengah pas kompetisi Persija," terangnya mengingat kondisi klub jamannya bermain.

Namun, Budhi masih menceritakan bahwa Tunas Jaya punya prinsip yang tak boleh dilanggar. "Kita boleh kalah, tapi jangan sama UMS," tegasnya.


3. Adu Gengsi UMS dan Tunas Jaya di Lapangan Hijau

Sepakbola UMS.

UMS dan Tunas Jaya seperti ditakdirkan selalu bertemu tiap tahun. Meski dulu di Jakarta terdapat klub Tionghoa lain seperti BBSA dan Sin Ming Hui, namun pertandingan UMS dan Tunas Jaya tetap jadi primadona.

Rival abadi tampaknya sudah menjadi bagian hidup keduanya sejak tahun 1946. Pasalnya, baik UMS dan Tunas Jaya sepakat untuk masuk sebagai anggota Persija pada tahun 1951. Keduanya pun kembali berkompetisi di lingkungan Persija.

Musim 1953/1954 merupakan musim perdana kompetisi sepakbola Persija dimulai. UMS benar-benar merajai Jakarta dengan menyambet gelar juara di musim perdana. UMS mendapatkan back to back pada musim 1955/1956, dan menasbihkan diri lebih baik dari Tunas Jaya.

UMS semakin berkibar dengan banyaknya pemain yang masuk ke Persija dan Timnas Indonesia. Setelah masuk Persija, UMS membuka diri dengan mempersilahkan pemain non Tionghoa memperkuat UMS. Setidaknya hampir 70 persen pemain Persija berasal dari UMS. Maka tak heran nama-nama pemain UMS seperti, Kwee Kiat Sek, Chris Ong, Soei Joe, Kwee Hong Sing, Van der Vin, Djamiaat Dalhar, dan Wim Pie juga menjadi andalan Persija.

Era kejayaan UMS terus berlanjut di 1960-an. Kali ini UMS dipimpin oleh pelatih Liem Soen Joe alias drg. Endang Witarsa mampu merajai kompetisi Persija. Sedangkan Tunas Jaya namanya tak terlalu menonjol di kompetisi.

Superior UMS terbukti saat para pemainnya menyumbangkan gelar juara untuk Persija tahun 1964. Macan Kemayoran saat itu identik dengan UMS yang tinggal menambah Soetjipto Soentoro dan Sinyo Aliandoe saja di skuat tahun tersebut. Namun benih persaingan antar klub tetap terpelihara.


Ketika UMS Batavia dan Tionghoa Surabaya bertemu dalam laga amal.

"UMS kalau bertemu Tunas Jaya, persaingannya ketat. UMS boleh kalah dari siapa saja, tapi tidak dari Tunas Jaya. Pelatih sendiri yang ngomong itu," ujar Ketua Pengurus UMS saat ini, Alex Sulaiman kepada INDOSPORT.

Dengan demikian, UMS merasa mereka berada di atas Tunas Jaya dalam torehan prestasi di Persija dan Timnas Indonesia. Tetapi Tunas Jaya tak mau kalah dengan apa yang diberikan UMS ke Persija dan Indonesia.

Jika UMS bangga dengan banyaknya pemain yang membela Persija dan Timnas Indonesia, maka Tunas Jaya bangga pemainnya menjadi simbol Persija dan Timnas.

Nama Tan Liong Houw benar-benar menjadi simbol kebanggan Tunas Jaya. Pemain yang identik dengan handuk di leher saat bermain itu menjadi idola publik Jakarta. Tak percaya? Orang Betawi memberikan julukan Macan Betawi kepada Tan Liong Houw yang beretnis Tionghoa. 

"Kenapa dulu papi (Tan Liong Houw) dijuluki Macan Betawi, karena papi orang Jakarta dan main di Persija," jelas Budhi Tanoto mengenai julukan yang didapat oleh ayahnya.

Budhi Tanoto, putra legenda Tunas Jaya, Tan Liong Houw, bercerita tentang klub yang dibelanya saat muda.

Tak hanya di Persija, Tan Liong Houw juga menjadi simbol sepakbola Indonesia di Timnas. Tunas Jaya pantas bangga dengan Tan Liong Houw, karena di Timnas, UMS mau dipimpin oleh seorang Tunas Jaya. Ya, Liong Houw menjadi kapten bagi Timnas Indonesia

Menarik memang, karena para pemain akur saat membela Persija dan Timnas, namun saat membela panji klub masing-masing, kata akur sudah tak lagi digunakan.

"Mereka selalu ingin menunjukkan diri lebih baik dari Tunas Jaya, kita pun di Tunas Jaya demikian. Jadi jika ketemu di lapangan, pertandingan selalu seru," cerita sepuh Tunas Jaya, Bernhard Sindakara, mengenang rivalitas keduanya.

UMS pun juga punya prinsip yang sama dengan rivalnya itu, yakni benih-benih persaingan terus tertanam di jiwa pengurus dan pemain mereka. "Kita boleh kalah dari klub lain, tapi jika lawan Tunas Jaya sudah jelas kita tidak boleh kalah," cerita Yan Somar yang merupakan mantan pemain UMS.

Salah satu mantan pemain Tunas Jaya, Iwan dan Eko pun masih ingat betul masa saat mereka berhadapan dengan UMS. Iwan yang menjadi pemain Tunas Jaya 1980-an selalu terngiang persaingan hebat keduanya.

"Saya seangkatan dengan Wahyu Tanoto, putranya Tan Liong Houw. Kalau bersaing dengan UMS kita memang sengit. Kita adu gengsi dengan mereka, dan memang instruksi dari pengurus memang tidak boleh kalah," kenang Iwan saat dirinya masih berkostum Tunas Jaya.

Begitu juga dengan Eko yang kini alih profesi menjadi wasit jika ada pertandingan di Taman Sari. Dirinya memang tidak terlalu mengalami persaingan dengan UMS secara dalam, namun saat membela Tunas Jaya pada era 2000-an awal dia sempat merasakan permainan keras di lapangan.

"Wah, kalau lawan UMS memang ketat, tapi sehabis pertandingan kita akur lagi. Cuma di lapangan gengsi klub tak bisa dihilangkan," cerita Eko saat ditemui INDOSPORT seusai memimpin pertandingan Tunas Jaya Old Star di Stadion Taman Sari, Minggu (22/01/17).

Rivalitas UMS dan Tunas Jaya yang paling nyata adalah beberapa tahun lalu tepatnya 2012 dalam kompetisi internal Persija di Lapangan Banteng, Jakarta Pusat. Tunas Jaya yang kala itu unggul mendapat perlawanan keras dari UMS. 

Salah satu pemain UMS mendapat kartu merah dari wasit karena melanggar pemain Tunas Jaya dengan keras. Tak terima, pemain UMS pun menyerang pemain Tunas Jaya dan kerusuhan antar pemain pun pecah.

Meski sempat diamankan oleh wasit, sang pemain yang tak terima dikeroyok pemain Tunas Jaya, diam-diam membawa balok dan menyerang bangku cadangan Tunas Jaya. Kerusuhan antar pemain dan pendukung kedua tim pecah di Banteng.

"Ya memang begitu kalau di lapangan, tapi sebetulnya di luar lapangan dan sesama pengurus kita akur kok. Cuma memang kan di lapangan hawa panas susah dihilangkan," lanjut Iwan.

Budhi Tanoto punya pengalaman yang tak terlupakan saat menghadapi UMS. Dirinya pernah mengalahkan UMS di kandangnya, Stadion Petak Sinkian. 

"Saat itu kita mantan-mantan Tunas Jaya diundang UMS pas ulang tahun ke-100. Kita main di Petak Sinkian, kandang mereka. Senangnya, kita menang 3-1 dari UMS, saya bikin gol satu," kenang Budhi sambil tertawa lebar mengingat momen tersebut.

Namun Budhi tak setuju jika pertandingan keduanya harus berakhir dengan kericuhan. Dirinya tak pernah merasakan adu jotos atau perkelahian di lapangan saat membela Tunas Jaya berhadapa dengan UMS.

"Zaman saya dulu gak pernah ribut. Paling kita main keras di lapangan karena kita tak mau kalah dari mereka," ia menuturkan.

Hingga kini rivalitas UMS dan Tunas Jaya di lapangan hijau terus berlanjut, hingga keduanya hanya menjadi klub penyetor pemain muda saja ke Persija. Bahkan, UMS dan Tunas Jaya seakan hanya mengenang kejayaan masa lalu saja.


4. Mengenang Kejayaan Klub Besar Tionghoa Jakarta

Stadion Taman Sari, stadion tua saksi perjalanan Tunas Jaya

Saat ini UMS dan Tunas Jaya masih berdiri, namun keduanya mengalami nasib yang berbeda dengan masa lalu. UMS memang masih menempati lapangan Petak Sinkian, tapi sengketa tanah membuat mereka sempat terusir dari lapangan yang mereka tempati sejak tahun 1926.

UMS masih terus memproduksi pemain dan berkompetisi di Persija sebagai anggota. Tapi geliatnya sudah tidak seluwes zaman dahulu. Kini, UMS seperti sedikit sekali memproduksi pemain dari etnis Tionghoa. Mereka kini memang membaur dengan pribumi, khususnya Betawi, namun sedikitnya Tionghoa yang bermain sepakbola di Petak Sinkian, seperti memutus rantai tradisi klub ini.

Meski demikian, denyut nadi UMS terhadap pembinaan sepakbola usia muda di Jakarta terus berjalan. Mereka tak pernah menghentikan cita-cita para pendiri yang memang ingin olahraga terus tumbuh.

Lapangan Petak Sinkian masih menggelar beberapa latihan UMS, baik itu tim senior maupun kelompok usia muda. Kegiatan sepakbola masih menggeliat di tengah sengketa lapangan legendaris tersebut. 

Setiap sore, latihan UMS masih dipenuhi oleh warga. Baik itu Tionghoa maupaun lokal berbaur bersama menyaksikan bakat-bakat muda melatih kemampuan sepakbola. Tak jarang beberapa Tionghoa tua mengenang masa-masa mereka belajar sepakbola di UMS.

"UMS sebuah klub sepakbola yang bisa dikatakan turun menurun. Ayah saya dulu di UMS. Ketika saya masih kecil, saya suka diajak lihat ayah saya main di UMS. Pokoknya pemain UMS, anaknya mesti masuk UMS," ungkap Alex Sulaiman kepada INDOSPORT.

Sedikit berbeda dengan UMS. Tunas Jaya memang masih eksis, namun secara resmi kepengurusan mereka sudah tidak ada. Sejauh ini Tunas Jaya eksis berkat pengusaha yang juga gila bola, yakni Sen Tjon alias Achoan.

Stadion Taman Sari, menjadi lapangan latihan Tunas Jaya setelah pindah dari lapangan Djendral Urip, Jatinegara.

Tunas Jaya kini sudah bertahun-tahun menempati Stadion Taman Sari dan meninggalkan Lapangan Djendral Urip. Lapangan ini hanya dipisahkan berapa puluh meter saja dengan lapangan UMS di Petak Sinkian.

Seperti roda berputar, Tunas Jaya sedang menikmati keberadaannya di atas. UMS sekarang susah payah untuk kembali ke habitatnya sebagai klub besar yang hobi mengorbitkan pemain andal.

"Sekarang Tunas Jaya lagi bagus kan. Kemarin saya dengar mereka juara kompetisi Persija, artinya mereka ada prestasi," jelas Budhi Tanoto.

Sekarang di kompetisi Persija, Tunas Jaya jadi raja. Dua kali juara beruntun pada tahun 2011 dan 2014, menjadikan Tunas Jaya klub kuat Persija saat ini. Mereka juga mewakili Persija Muda tahun 2014 yang turun bertanding di Liga Nusantara. 

Keduanya masih eksis sebagai klub dari etnis Tionghoa yang tersisa di Jakarta. Namun persaingan mereka sebagai rival abadi terus berlanjut jika keduanya bertemu. Antara Petak Sinkian dan Taman Sari 'dendam' masa lalu masih terus tertanam. Setidaknya, Tionghoa Jakarta masih mempunyai wadah bermain bola dan warisan dari para pendahulu mereka.

Persija JakartaIndonesiaDKI JakartaTimnas IndonesiaIn Depth SportsLiga IndonesiaUnion Makes Strength (UMS)Tunas JayaInvestigasi

Berita Terkini