x

Bersama Memutus 'Kutukan' 79 Tahun Demi Asia Tenggara Tampil di Piala Dunia

Minggu, 5 Februari 2017 19:41 WIB
Editor: Galih Prasetyo

Pada perhelatan Piala Dunia 1938, Indonesia yang masih dalam jajahan bangsa kolonial Belanda, ikut ambil bagian. Saat itu Indonesia masih menggunakan nama Hindia Belanda. 

Skuat Hindia Belanda saat itu datang ke perhelatan ketiga Piala Dunia dengan bermaterikan sejumlah pemain yang mayoritas berasal dari klub lokal seperti Hercules Batavia, Djocoja Djogjakarta, Sparta Bandung, serta SVV Semarang. 

Meski kalah telak 0-6 dari salah satu kekuataan Eropa kala itu, Hungaria di babak pertama dan langsung tersingkir, penampilan Achmad Nawir dan kawan-kawan sempat mendapat ulasan khusus dari koran Prancis, L'Equipe edisi 06 Juni 1938. 

"Gaya menggiring bola pemain depan Tim Hindia Belanda, sungguh brilian," tulis laporan L'Equipe seperti dilansir dari CNN

Sayang usai pertandingan Hungaria vs Hindia Belanda yang berlangsung di kota Reims pada 05 Juni 1938 itu hingga detik ini belum ada satu pun negara dari kawasan Asia Tenggara yang bisa tampil di pentas Piala Dunia. 

Padahal kawasan ini memiliki 600 juta penduduk atau separuh dari jumlah populasi di dunia. Sepertinya federasi-federasi negara di kawasan Asia Tenggara cukup kesulitan untuk bisa mencari starting eleven terbaik demi maju ke pentas Piala Dunia. 

Sejumlah negara termasuk Indonesia secara bergantian dalam beberapa tahun ke belakang sempat menjadi sorotan pemerhati sepakbola dunia. Negara-negara ini dianggap akan bisa tampil di pentas Piala Dunia. 

Myanmar misalnya pada 1968 sukses menjadi runner up ajang Piala Asia. Negara yang sekarang dikuasai Junta Militer ini pun dianggap banyak pihak saat itu sangat memenuhi syarat bisa tembus Piala Dunia. 

Sayang Myanmar harus keok kala bertemu China, Israel, dan Hongkong di babak kualifikasi Piala Dunia 1970. Usai Myanmar, Thailand mencoba untuk memutus kutukan usai tampilnya Hindia Belanda di Piala Dunia 1938. 

Sayang di babak playoff Piala Dunia 1974, Thailand harus menyerah dengan skor cukup telak 0-4 dari Kuwait. Setelah era tersebut, pemberitaan soal sepakbola kawasan Asia Tenggara mulai tenggalam dari pentas internasional. 

Di era-era 60-an akhir hingga 70-an, sejumlah negara di kawasan Asia Tenggara tengah sibuk dengan pergulatan politik dalam negeri masing-masing. Era Perang Dingin yang membuat dunia terbelah menjadi dua kutub juga menjadi pangkal kondisi tak mengenakkan itu. 

Bahkan sejumlah negara di kawasan Asia Tenggara seperti Vietnam, Laos, Kamboja, dan Myanmar harus terisolasi dari pergaulan internasional setelah kediktatoran militer mengusai pemerintah di negara-negara tersebut. 

Kala negara di kawasan Asia Tenggara berusaha bangkit usai huru hara politik era 60-an dan 70-an, sepakbola mereka sudah cukup jauh tertinggal. Benua Afrika mulai menunjukkan geliatnya di pentas Piala Dunia. 

Mendekati era 90-an, Arab Saudi menjadi wakil Asia yang mampu lolos sampai babak 16 besar Piala Dunia 1994. Geliat sepakbola kawasan Asia kembali dilanjutkan oleh negara-negara dari kawasan Asia Timur. 

Jepang dan Korea Selatan sampai detik ini bisa dibilang sebagai negara dari kawasan Asia yang sukses. Selain menjadi negara Asia pertama yang menjadi tuan rumah Piala Dunia, khusus untuk Korea Selatan mereka bisa sampai tembus ke babak semifinal Piala Dunia 2002. 

Kemana negara dari kawasan Asia Tenggara? Seolah jadi kutukan, kehadiran Hindia Belanda di pentas Piala Dunia edisi ketiga malah 'menutup' peluang negara lain kembali tunjuk skill di Piala Dunia. 


1. Kerja nyata The War Elephants

Timnas Thailand saat menjuarai Piala AFF 2016.

Thailand bisa disebut sebagai negara dari kawasan Asia Tenggara yang sangat fokus membangun kekuatan sepakbolanya. Sejak 2007, program sinergis antara pemerintah dengan federasi sepakbola berujung pada peningkatan kualitas sepakbola dalam negeri mereka. 

Salah satu bukti nyatanya bisa dilihat dari perkembangan Liga Thailand. Sejumlah klub sejak 2007 mulai membangun kuantitas dan kualitas, mulai dari stadion yang dibangun secara megah hingga fasilitas pelatihan berstandar internasional. 

Kondisi positif ini pun membuat sejumlah klub lokal Thailand menunjukkan kiprah mereka di kompetisi Liga Champions Asia. Pada 2013 misalnya, Buriram United sukses melangkah ke perempatfinal Liga Champions Asia. 

Klub lokal lain juga berbenah. Sejumlah klub top Eropa pun menjalin kerjasama dengan klub Thailand. Liverpool dan Manchester United misalnya selau menjadwalkan tur pramusim mereka ke Thailand. 

Selain memperkuat klub, federasi Thailand juga mendorong pemain berbakat Thailand berkarier di luar negeri seperti di Singapura, Vietnam, atau ke Eropa seperti yang dilakukan oleh top skor Piala AFF 2016, Teerasil Dangda yang sempat mencicipi Liga Spanyol bersama Almeria pada 2014 silam. 

Lantas bagaiamana perkembangan Timnas mereka? Jika diukur dengan negara tetangga, tentu saja sampai detik ini Thailand masih dianggap sebagai raja Asia Tenggara. Perfomance mereka di luar Asia Tenggara pun perlahan menujukkan grafik peningkatan. 

Tahun lalu misalnya, Thailand mampu menahan imbang 2-2 Australia di babak kualifikasi Piala Dunia 2018. Sayang Thailand masih belum mampu menunjukkan kelasnya saat bertemu Arab Saudi misalnya. Harapan untuk Thailand ke Rusia 2018 pun pupus. 

Gagal ke Rusia 2018, federasi sepakbola Thailand langsung bergerak cepat. Sebuah blue print dirancang demi bisa tembus ke Piala Dunia. 

Salah satu blue print dari sepakbola Thailand ialah program pengembangan dan pembangunan pesepakbola muda Thailand. Di bawah komando 'Zico Asia Tenggara', Kiatisuk Senamuang, blue print ini mengundang banyak pihak untuk menaruh sedikit keyakinan bahwa Thailand akan bisa menembus Piala Dunia. 

"Mereka punya kemampuan untuk bisa menjadi salah satu negara kuat di sepakbola. Mungkin dalam beberapa tahun mendatang atau di generasi berikutnya, Thailand akan tampil di Piala Dunia," kata Terry Butcher, mantan pemain Timnas Inggris seperti dilansir dari ESPN


2. Indochina berusaha mengejar

Skuat Tim Nasional Myanmar di perhelatan Piala AFF 2016.

Ambisi Thailand untuk tampil di Piala Dunia tengah dikejar oleh sejumlah negara yang dikenal dengan sebutan Indochina, Kamboja, Laos, Myanmar, dan Vietnam. 

Vietnam yang memiliki populasi lebih banyak dibanding dengan dua negara Indochina lainnya sangat memanfaatkan hal itu untuk meningkatkan popularitas Liga Vietnam (V League). Liga Vietnam tercatat menjadi profesional sejak 2000 silam. 

Klub-klub Vietnam mulai menunjukkan kelasnya di dua tahun ke belakang. Pada tahun lalu misalnya, Becamex Binh Duong FC sukses kalahkan wakil Korea Selatan, Jeonbuk Hyundai serta mampu menahan imbang klub China, Jiangsu Suning. 

Prestasi Timnas Vietnam juga mulai menunjukkan peningkatan. Pada kualifikasi Piala Dunia 2015 misalnya, mereka sukses menahan imbang salah satu kekuatan Asia, Irak dengan skor 1-1. 

Bahkan untuk level pemain muda, Vietnam bisa dibilang selangkah lebih maju dibanding Thailand. Timnas Vietnam U-20 sukses ke partai final Piala Dunia U-20 untuk kali pertama. 

Langkah positif dari Vietnam, diikuti juga oleh Myanmar. Salah satu terobosan dari sepakbola dari negeri Aung San Suu Kyi ini ialah sukses mengorbitkan pemain muda yang digadang-gadang jadi bintang Asia Tenggara, Aung Thu. 

Setali tiga uang dengan Thailand, fokus Myanmar pun pada pembinaan usia muda. Timnas Myanmar kini diisi sejumlah pemain berusia 23 tahun atau di bawahnya. Blue print Thailand membangun kekuataan dengan pemain muda betul-betul dioptimalkan oleh Federasi Sepakbola Myanmar. 

Program tersebut berbuah manis. Pada 2015 lalu, Myanmar sukses mengirim tim muda mereka ke pentas Piala Dunia U-20. Meski di ajang tersebut mereka hanya jadi lumbung gol peserta lain, termasuk mengalami kekalahan memalukan 1-5 dari Selandia Baru. 

Namun Federasi Sepakbola Myanmar tak menganggap hasil itu sebagai kegagalan. Mereka menyebut bahwa kesempatan para pemain mereka tanding di pentas internasional seperti merupakan pelajaran berharga untuk ke depan membangun tim yang lebih berkualitas. 

Satu-satunya negara di kawasan Indochina yang belum terlihat geliatnya mungkin Kamboja. Peningkatan prestasi sepakbola di negara yang terkenal dengan Khmer Merah tersebut masih berjalan di tempat. 


3. Indonesia yang bisa memimpin

Timnas Indonesia U-19 saat menjuarai Piala AFF U-19 2013.

Paul Murphy dalam artikelnya di thesefootballtimes.co menyoroti soal perkembangan sepakbola Indonesia yang bertautan dengan kondisi sosial politik negeri ini. Meski tidak secara detail, tulisan Paul menjadi pembelajaran tersendiri untuk pihak-pihak yang bertanggungjawab untuk memajukan sepakbola nasional. 

"Mereka (Indonesia) bisa mengungguli mereka (negara-negara lain di Asia Tenggara) di masa depan," tulis Murphy. 

Tulisan Murphy bersandar pada hasil yang terbilang cukup bagus dari Timnas Indonesia di perhelatan Piala AFF tahun lalu. Seperti diketahui laga di Piala AFF merupakan laga perdana Timnas usai di banned oleh FIFA akibat konflik antar PSSI versus Kemenpora. 

Menengok ke belakang, prestasi Timnas Indonesia menurut Murphy hampir memiliki harapan saat dilatih oleh Peter White yang notabene ialah mantan penyerang Aston Villa. White menurut Murphy memiliki rekam jejak bagus, ia mencontohkan rekam jejak White saat memimpin Thailand. Dalam 5 tahun periode di Thailand, White sukses menggerek posisi Thailand di peringkat FIFA. 

Dengan populasi hampir 250 juta orang, Murphy menilai seharusnya Indonesia bisa memutus 'kutukan' Hindia Belanda dan tampil di Piala Dunia. Menurut Murphy, harapan itu sebenarnya juga ada saat Indonesia masih dipimpin oleh Sukarno. 

Faktanya di era tersebut, Indonesia memang melahir sejumlah legenda di lapangan hijau. Yang juga menjadi salah satu masalah sepakbola nasional ialah soal pengembangan pemain muda. 

Jika negara-negara tetangga sudah menerapkan program tersebut, Indonesia justru di kepengurusan PSSI tahun-tahun sebelumnya tidak optimal untuk program pemain muda. Ambil contoh bagaimana nasib nahas dialami oleh sosok Indra Sjafri yang harus diputus kontrak sebagai pelatih Timnas U-19 pada 2014 lalu. 

Kegagalan Timnas U-19 lolos dari fase grup putaran final Piala Asia 2014 dianggap PSSI era itu sebagai penyebabnya. Padahal pelatih yang kini kembali melatih Timnas U-19 pada 2013 mampu antarkan Evan Dimas dan kawan-kawan jadi juara Piala AFF U-19. Selain itu, Indra Sjafri juga memiliki program nyata soal pengembangan dan pembibitan usai muda. 

Berkaca dari dosa-dosa pengurus PSSI yang terdahulu, angin segar dihembuskan PSSI di bawah pimpinan Letjen Edy Rahmayadi. Program-program yang digulirkan oleh PSSI saat ini terbilang memiliki keinginan untuk mengoptimalkan pembinaan usia muda. 

Piala DuniaIndonesiaPiala AFF 2016VietnamThailandMyanmarTeerasil DangdaTimnas IndonesiaIn Depth Sports

Berita Terkini