x

7 Alasan Bobroknya Chelsea di Awal Musim Ini

Jumat, 3 November 2017 06:00 WIB
Editor: Yohanes Ishak
Antonio Conte, pelatih Chelsea.

Kebobolan 10 gol dalam 5 pertandingan terakhir di seluruh kompetisi yang dilakoni Chelsea menandakan jika ada sesuatu yang tidak baik bagi mereka.

Menyandang status juara bertahan Liga Primer Inggris, serta semangat yang tinggi kembali ke Liga Champions di musim 2017/18 ini usai absen musim 2016/17 kemarin, tim asal London Barat ini justru tampil melempem.

Tidak sedikit yang mengatakan jika masih awal musim, masih wajar. Namun jika pernyataan ini selalu ditanamkan dalam benak para pemain Chelsea, maka bukan tidak mungkin di musim 2017/18 ini mereka akan kian terpuruk, bahkan berpeluang tanpa gelar.

Terakhir kali, The Blues dihajar oleh tim asal Serie A Italia, AS Roma dengan skor mencolok 0-3 dalam pertandingan keempat Grup C Liga Champions 2017/18.

Baca Juga

Hasil ini tentu terbilang tidak wajar, mengingat di atas kertas Chelsea lebih diunggulkan daripada Roma. Namun, jika melihat dari gaya bermain dalam laga itu, tim besutan Antonio Conte ini memang pantas menerima kekalahan.

Beruntung bagi The Pensioners, kiper mereka, Thibaut Courtois tampil prima, sehingga sejumlah peluang yang diciptakan oleh Roma masih dapat dimentahkan olehnya. Karena kalau tidak, bukan tidak mungkin mereka akan pulang ke London dengan skor lebih dari tiga gol.

Lalu apa sebenarnya yang menjadi penyebab bobroknya sang juara bertahan Liga Primer Inggris di awal musim ini?

Berikut ini INDOSPORT memberikan beberapa alasannya:


1. Dua Pemain Sangat Penting yang Dibiarkan Pergi

Nemanja Matic (kiri) dan Diego Costa, dua mantan pemain Chelsea.

Pada jendela transfer musim panas lalu, dapat dipastikan 100 persen jika seluruh fans Chelsea sejatinya sangat kecewa dan heran, mengapa tim kesayangannya melepas Nemanja Matic ke Manchester United dan Diego Costa yang pada akhirnya telah resmi mudik ke Atletico Madrid.

Padahal, dua pemain ini memiliki peranan yang sangatlah penting bagi tim London Biru untuk memberikan gelar Liga Primer Inggris 2016/17.

Matic mampu menjaga keseimbangan permainan The Blues dari sisi tengah. Bahkan, di saat genting, ia juga dapat membantu lini serang Chelsea.

Duetnya dengan N’Golo Kante benar-benar membuat para pemain lawan kesulitan untuk menembus lini tengah Chelsea di musim lalu.

Diego Costa? Tidak perlu ditanyakan lagi. Predator kelahiran Brasil berkewarganegaraan Spanyol ini benar-benar menjadi momok bagi jantung pertahanan lawan.

Cepat, agresif, kuat dalam duel fisik dan udara, serta mampu memancing emosi lawan membuat Diego Costa benar-benar menjawab tipikal striker Chelsea dari musim-musim sebelumnya (Jimmy Floyd Hasselbaink, Didier Drogba, dan Nicolas Anelka).

Entah mengapa Chelsea membiarkan keduanya pergi. Matic bahkan dilepas ke klub rival Chelsea, Manchester United, sementara Diego Costa yang masih piawai dalam urusan mencetak gol tidak dibutuhkan oleh Antonio Conte.

Padahal, jika masih ada kedua pemain tersebut, bukan tidak mungkin jika Chelsea masih tetap bermain dengan stabil di awal musim 2017/18 ini.


2. Lini Belakang yang Mudah Lengah

Para pemain Chelsea tertunduk lesu usai kalah 0-3 dari AS Roma.

Entah dibuat terpukau atau tak menyangka dengan serangan yang dibangun oleh tim lawan, lini pertahanan Chelsea yang rentan kebobolan dikarenakan mereka terlalu banyak lengah.

Sebut saja nama-nama seperti David Luiz dan Antonio Rudiger yang sempat terlihat dengan jelas hanya menonton atau melihat pergerakan pemain lawan saat menghadapi Crystal Palace, Watford, dan AS Roma.

Situasi inilah yang pada akhirnya harus dibayar mahal oleh mereka dengan merelakan gawangnya kebobolan hingga berujung kekalahan.

Padahal, seandainya mereka sigap dan langsung menutup pergerakkan lawan tentunya gawang mereka tidak akan mudah dibobol oleh tim lawan.


3. Kurangnya Komunikasi dengan Baik

Ekspresi kecewa para pemain bertahan Chelsea usai kebobolan dari AS Roma pada tengah pekan kemarin.

Komunikasi itu memang sangat diperlukan dalam segala hal. Termasuk dalam menjalani sebuah pertandingan.

Sebelum berlaga, komunikasi perlu dilakukan saat di ruang ganti, jelang kick off, pertandingan, bahkan hingga pertandingan selesai.

Saat di ruang ganti, para pemain harus dapat berkomunikasi dengan baik untuk menentukan siapa yang menjaga siapa dan siapa yang menutup ruang di sisi mana.

Saat kick off, pembicaraan itu perlu diulang kembali untuk saling mengingatkan dan saat sedang bertanding dilakukan lagi agar taktik yang diinginkan berjalan dengan lancar.

Terlebih jika ada satu pemain yang melihat pemain lawan bergerak bebas tanpa kawalan, sementara rekannya tidak memberikannya penjagaan, maka ia dapat berkomunikasi untuk memberitahu agar dapat menutup sang lawan.

Situasi inilah yang bisa saja terjadi pada lini pertahanan Chelsea. Karena jika tidak demikian, tidak mungkin ada pemain lawan yang dapat bergerak bebas untuk memberikan ancaman, bahkan sampai bisa mencetak gol.


4. Terlalu Dimanjakan dengan N'Golo Kante

N'Golo Kante, gelandang bertahan Chelsea.

Ya, mungkin ini adalah salah satu alasan yang paling tepat diberikan kepada Chelsea yang sejak bulan Oktober 2017 mereka mudah kebobolan.

Chelsea terlalu dimanjakan dengan keberadaan N’Golo Kante yang seringkali merusak lini serangan lawan, baik saat dibangun di lini tengah, maupun sudah menembus lini pertahanan The Blues.

Kante mampu mematahkan pola serangan yang dibangun oleh tim lawan. Namun, gelandang bertahan asal Prancis ini harus absen akibat mengalami cedera di awal bulan Oktober kemarin.

Situasi inilah yang membuat para bek Chelsea seakan tidak terbiasa dan harus bekerja keras menahan serangan tim lawan.

Seharusnya hal tersebut tidak perlu terjadi. Jika Conte menerapkan strategi 3-4-3 atau 3-4-2-1 dan Kante satu-satunya pemain yang dapat merusak permainan menyerangan lawan.

Seharusnya tiga pemain bertahan The Pensioners bisa bekerjasama untuk mengisi peranan Kante dengan baik.


5. Tiemoue Bakayoko Belum Mampu Beradaptasi dengan Baik

Tiemoue Bakayoko, gelandang bertahan Chelsea.

Gelandang bertahan anyar Chelsea, Tiemoue Bakayoko diboyong dari AS Monaco pada jendela transfer musim panas kemarin.

Bakayoko didatangkan untuk mengisi lubang yang ditinggalkan oleh Nemanja Matic yang dilepas ke Manchester United.

Kembali lagi seperti di artikel pertama, seandainya Matic dipertahankan dan Bakayoko tetap didatangkan. Maka, Bakayoko setidaknya masih memiliki waktu yang cukup untuk beradaptasi dengan gaya bermain Antonio Conte.

Ya, Tiemoue Bakayoko sejauh ini dapat dikatakan belum dapat beradaptasi dengan permainan pelatih asal Italia tersebut.

Beberapa kali, gelandang bertahan berusia 23 tahun ini sering salah menempatkan posisi dan kehilangan bola. Tidak jarang, pemain lawan pun dapat memanfaatkan peluang melalui pos yang dihuni olehnya.


6. Danny Drinkwater Baru Pulih dari Cedera

Danny Drinkwater, gelandang bertahan Chelsea.

Bagi pencinta sepakbola sejati, khususnya sepakbola Inggris, tentunya masih ingat bagaimana klub kecil Leicester City secara mengejutkan dapat menjadi juara Liga Primer Inggris di musim 2015/16.

Kala itu, tim berjuluk The Foxes ini memiliki duet gelandang bertahan yang mampu bekerjasama dengan ciamik dan konsisten, yakni N’Golo Kante dan Danny Drinkwater.

Kini, keduanya telah berada di Chelsea. Drinkwater memang baru didatangkan tim London Barat pada penutupan jendela transfer musim panas yang dibuka pada akhir-akhir bulan Agustus 2017 kemarin.

Pemain asal Inggris ini diharapkan mampu kembali berduet dengan baik bersama Kante seperti keduanya saat masih membela Leicester City pada dua musim lalu.

Sayangnya, Drinkwater baru bisa dimainkan pada dua pertandingan terakhir, dikarenakan dirinya yang belum lama pulih dari cedera.

Baru sembuh dari cedera tentu membuat pemain berusia 27 tahun tersebut tidak bisa langsung mengeluarkan bentuk permainan terbaiknya.

Andai saja ia telah benar-benar fit dan Kante juga telah pulih dari cedera, mungkin saja lini tengah Chelsea akan kembali solid, dan Bakayoko dapat mengambil pelajaran penting dari kedua pemain tersebut.


7. Morata dan Batshuayi Bagus, Tapi…

Alvaro Morata dan Michy Batshuayi, dua striker Chelsea di musim 2017/18.

Chelsea mendatangkan Alvaro Morata dari Real Madrid dengan mahar senilai 70 juta poundsterling atau nyaris mencapai Rp1,24 triliun pada jendela transfer musim panas kemarin.

Kehadirannya diplot untuk menggantikan peranan dari Diego Costa yang keberadaannya tidak diinginkan oleh sang pelatih, Antonio Conte.

Morata sejauh ini memang tampil cukup bagus dan dapat mencetak gol di awal-awal laga The Blues. Sayangnya, Morata harus diakui lebih pantas dijadikan oleh super-subs atau (pemain pengganti selalu diandalkan karena memiliki peranan penting dari bangku cadangan).

Mengapa demikian? Chelsea membutuhkan sosok striker yang memiliki karakter petarung, agresif, kuat dalam duel fisik, dan berani mengambil tindakan seperti melepaskan tendangan spekulasi dari jarak yang tidak masuk akal.

Seperti yang telah diberitakan pada artikel sebelumnya, sosok seperti itu ada pada dalam diri penyerang-penyerang Chelsea sebelumnya, seperti Diego Costa, Didier Drogba, Nicolas Anelka, dan sang legenda Jimmy Floyd Hasselbaink.

Karakter ini mungkin ada sedikit dalam diri striker kedua mereka, Michy Batshuayi. Hanya saja, penyerang berusia 24 tahun ini masih tampil kurang konsisten, meski kerap mencetak gol di saat-saat genting.

Harus diakui, jika dua penyerang Chelsea kali ini memiliki karakter yang berbeda dengan empat striker yang telah disebutkan.

Sekadar untuk informasi tambahan, Morata memiliki gaya bermain yang tenang, cerdik dalam mencari celah ruang tembak, serta mampu menggocek pemain lawan.

Memang bagus, tapi hanya saja, karakter Morata dapat dikatakan tidak terlalu cocok untuk tim seperti Chelsea.

Namun jika Morata dan Batshuayi konsisten mencetak gol, maka mereka bisa mematahkan dan menciptakan karakter baru dalam sosok penyerang Chelsea.

ChelseaLiga Primer InggrisLiga Inggris

Berita Terkini