x

Kisah Ketua Umum PSSI, Ada yang Menginspirasi Sampai Pimpin Federasi dari Balik Jeruji

Minggu, 17 Februari 2019 16:55 WIB
Editor: Prio Hari Kristanto

INDOSPORT.COM - Satuan Tugas Antimafia Bola telah resmi menangkap Plt. Ketua Umum PSSI, Joko Driyono, pada Jumat (15/02/19) lalu. Penangkapan ini pun membuat geger masyarakat Indonesia, terkhusus publik sepak bola nasional. 

Bagaimana tidak, setelah sejumlah Exco ditetapkan tersangka, kini seorang petinggi selevel ketua umum pun ikut terseret. 

Joko Driyono ditetapkan sebagai tersangka atas perusakan barang bukti kasus pengaturan skor dalam persepakbolaan Indonesia oleh Satgas Antimafia Bola.

Baca Juga

Ditangkapnya Joko Driyono tentunya membuat kita flash back terhadap sepak terjang ketua-ketua PSSI terdahulu yang tak pernah lepas dari kontroversi. 

Persatuan Sepak Bola Indonesia atau disingkat PSSI merupakan organisasi olahraga tertua tanah air yang sudah berusia 88 tahun. Dalam perjalanannya, reputasi PSSI terus mengalami pasang surut seriring dengan orang-orang yang berkecimpung di dalamnya. 

Stigma terhadap PSSI terus mengalami perubahan, mulai dari lambang perjuangan bangsa, hingga menjadi sarang mafia. 

PSSI dibentuk pada tanggal 19 April 1930 di Yogyakarta dengan nama Persatuan Sepak Raga Seluruh Indonesia. Sebagai organisasi olahraga yang lahir pada masa penjajahan Belanda, kelahiran PSSI berkaitan erat dengan upaya politik untuk menentang penjajahan. 

PSSI didirikan oleh seorang insinyur sipil bernama Soeratin Sosrosoegondo. Sebagai seorang nasionalis sekaligus pemuda yang gemar main sepak bola, Soeratin melihat sepak bola adalah wadah terbaik untuk menyemai nasionalisme di kalangan pemuda sebagai sarana untuk menentang penjajah Belanda.

Ia pun menjadi ketua pertama dengan masa jabatan 10 tahun dari tahun 1930 - 1940. Sebagai salah satu pendiri sekaligus ketua pertama, ia dianggap banyak orang sebagai tokoh yang sangat menginspirasi. 

Ia rela meninggalkan pekerjaannya sebagai komisaris di sebuah perusahaan besar Belanda demi terjun berjuang melalui sepak bola. Dalam usia PSSI yang telah 88 tahun, PSSI pun telah dipimpin oleh 16 Ketua Umum dan 2 Pelaksana Tugas.

Setelah Soeratin ada sejumlah ketum-ketum yang juga meninggalkan kesan baik dan menginspirasi. Sebut saja Ali Sadikin yang menjabat pada era 1977-1981 dan juga Kardono yang sukses memberikan sejumlah gelar bagi Timnas Indonesia di era 80-an dan awal 90-an. . 

Pada era Ali Sadikin, diperkenalkan sepakbola semi profesional yang kemudian dikenal dengan nama Liga Sepakbola Utama (Galatama) yang mulai bergulir Maret 1979 dengan diikuti 14 klub seperti Indonesia Muda, Warna Agung, Arseto, Arema, sampai Jayakarta. 

Para pemain timnas pun berbondong-bondong masuk klub-klub semi pro ini. Kompetisi Galatama bahkan sempat menjadi barometer di Asia dan menjadi bahan studi banding negara lain, seperti Malaysia dan Jepang. Kompetisi ini resmi berakhir setelah melebur dengan perserikatan. 


1. Kesalahan yang Terus Berulang

Nurdin Halid, Edy Rahmayadi, dan La Nyalla Mattalitti.

Sayangnya, PSSI tak lepas dari berbagai kontroversi. Apalagi kalau bukan yang disebabkan oleh polah ketua umumnya sendiri. 

Jika dulu PSSI memiliki tokoh insipratif seperti Soeratin, Ali Sadikin, dan Kardono, maka dalam dua dekade ini PSSI panen sosok-sosok kontroversial seperti Nurdin Halid, La Nyalla, Djohar Arifin hingga Joko Driyono.

PSSI pada masa kepemimpinan Nurdin Halid mendapatkan sorotan sangat luas. Sayangnya, sorotan itu bukan karena prestasi timnas, melainkan hal-hal tak terpuji yang dibuat dirinya. 

Di era Nurdin, PSSI pernah dipimpin oleh ketua umum dari balik jeruji besi. Ya, pada Agustus 2007 Nurdin divonis dua tahun penjara akibat tindak pidana korupsi dalam pengadaan minyak goreng.

Publik pun secara luas menekan dirinya untuk mundur. Bahkan seorang Jusuf Kalla pun sampai ikutan gemas dengan Nurdin Halid. 

Selain karena kepatutan, Nurdin sudah jelas melanggar statuta FIFA yang menyebutkan seorang pelaku kriminal tidak boleh menjabat sebagai ketua umum federasi. 

Namun, hal itu tak berlaku bagi Nurdin Halid dan para Exco yang ada di PSSI. Nurdin dengan leluasa tetap menjabat sebagai ketua umum sampai dirinya kembali dibebaskan.  

Ia pun menjabat sampai tahun 2011 sebelum akhirnya digantikan oleh Djohar Arifin Husein. Nurdin tercatat telah delapan tahun memimpin PSSI tanpa satu pun prestasi juara bergengsi untuk Timnas Indonesia.

Ketika publik merasa PSSI berjalan ke arah lebih baik dengan lengsernya Nurdin, di situ pulalah publik ternyata dikecewakan. 

Mengapa? karena PSSI justru semakin berjalan ke arah yang sesat. PSSI dan sepak bola Indonesia selalu bermasalah setelah dimpimpin oleh dua ketua umum setelah Nurdin, yaitu Djohar Arifin dan La Nyalla Mattalitti. 

Mengusung gerakan reformasi sepak bola Indonesia, di awal kepemimpinannya, Djohar secara kontroversi merombak format kompetisi profesional.

Liga Super Indonesia yang dibentuk PT Liga Indonesia ia ubah menjadi Liga Primer Indonesia bentukan PT Liga Prima Indonesia Sportindo. Inilah awal dari dualisme kompetisi tanah air yang benar-benar membuat sepak bola Indonesia di titik nadir. 

Setelah masalah dualisme liga, kembali muncul PSSI tandingan bernama KPSI (Komite Penyelamat Sepak Bola Indonesia) sebagai respon atas keputusan Djohar Arifin. Di sinilah bencana dualisme klub dimulai yang dampaknya masih kita rasakan hingga saat ini. 

Setelah kepengurusan Djohar selesai, muncul nama La Nyalla yang maju sebagai calon Ketua Umum PSSI. Ia pun terpilih sebagai ketua umum via Kongres PSSI pada 17 Maret 2015 di Surabaya.

Namun, kepeimpinan La Nyalla hanya seumur jagung. Menpora yang baru saat itu, Imam Nahrawi, menjatuhkan sanksi administratif terhadap kepengurusan PSSI pimpinan La Nyalla. Kegaduhan kembali terjadi, PSSI pun lumpuh setelah sanksi pemerintah. 

Pada Mei 2015 PSSI resmi dibekukan oleh FIFA. Otoritas tertinggi sepak bola dunia tersebut menjatuhkan sanksi ke PSSI karena intervensi pemerintah yang mana tabu bagi FIFA.

Namun, usaha pemerintah untuk 'bersih-bersih' PSSI kala itu dirasa tepat karena faktanya La Nyalla pun bukan sosok pemimpin ideal di mana ia juga terjerat kasus dugaan korupsi dana hibah KADIN, walau pun belakangan ia tak terbukti bersalah. 


2. Puncak Titik Nadir

Edy Rahmayadi memberikan bendera PSSI kepada Joko Driyono, sebagai tanda pindahnya tanggung jawab ketua PSSI. Minggu (20/1/19).

Ketika status PSSI kembali dipulihkan FIFA, harapan terhadap PSSI yang baru pun muncul di hati masyarakat. Apalagi, muncul sosok fresh alias baru atas nama Edy Rahmayadi.

Namun, ekspektasi masyarakat terhadap sang jenderal masih jauh dari kenyataan. Justru di era Edy Rahmayadilah PSSI mendapatkan reputasi terburuknya dalam sejarah.

Edy Rahmayadi resmi mundur pada awal 2019 ini menyusul tekanan besar dari masyarakat yang menilai dirinya telah gagal lantaran tak mampu memberikan prestasi Timnas serta kasus pengaturan skor yang mencuat. Edy juga dikritik karena gagal fokus memimpin PSSI lantaran menjadi gubernur di Sumatera Utara. 

Kasus pengaturan skor sendiri sudah cukup akrab terdengar di sepak bola Indonesia utamanya di lingkungan PSSI. Namun baru akhir tahun 2018 hingga awal 2019 ini semuanya terkuak dengan gamblang. 

PSSI pun tidak bisa keras kepala lagi seperti dahulu zaman Nurdin Halid. Berawal dari kontroversi yang muncul di kompetisi Liga 2, dibentuklah Satuan Tugas Antimafia Bola. 

Dalam waktu singkat, Satgas Antimafia Bola pun sanggup memetakan kasus pengaturan skor atau match fixing yang ada di tanah air. 

Sejumlah nama exco PSSI, Komdis, dan wasit pun ikut terseret. Puncaknya tentu saja dengan ditangkapnya Joko Driyono sang Plt. Ketua Umum pengganti Edy Rahmayadi. Joko Driyono ditangkap karena menjadi otak perusakan berkas barang bukti pengaturan skor. 

PSSI pun benar-benar di titik nadir. Pengaturan skor merupakan kejahatan terbesar di dalam sepak bola. FIFA sendiri menjadiakan praktik match fixing sebagai musuh utama mereka. 

Ketua Satgas Antimafia Bola, Hendro Pandowo (kedua kiri), Karo Penmas Divisi Humas Polri Dedi Prasetyo (kedua kanan), dan Wakasatgas Anti Mafiabola Krishna Murti pada acara jumpa pers terkait status tersangka Joko Driyono di Mabes Polri, Sabtu (16/02/18).

Sebagai sebuah olahraga, sepak bola Indonesia dirusak oleh praktik terkutuk ini. Parahnya, praktik ini juga melibatkan sosok ketua umum. Joko Driyono secara resmi masuk ke dalam daftar ketua umum pesakitan yang pernah ada di PSSI. 

Menanti 'Reinkarnasi' Soeratin

Publik pun kini kembali berharap. Dengan perhatian luas terhadap permasalahan sepak bola nasional yang mencapai puncaknya akhir-akhir ini, akan ada perubahan total di tubuh PSSI. 

Baca Juga

Akan ada kembali sosok ketua umum PSSI yang sanggup menapaki jejak Soeratin dan mengembalikan PSSI sebagai wadah perjuangan untuk meningkatkan martabat bangsa dan negara di mata asing. 

Terus Ikuti Perkembangan Sepak Bola Indonesia dan Olahraga Lainnya Hanya di INDOSPORT.COM 

PSSIDjohar ArifinJoko DriyonoSoeratin SosrosoegondoEdy RahmayadiExco PSSINurdin HalidAli Sadikin

Berita Terkini