x

Menyoal Badak Lampung FC dan Tren 'Klub Instan' di Liga Indonesia

Rabu, 3 April 2019 18:42 WIB
Editor: Prio Hari Kristanto
Menyoal Badak Lampung FC dan Tren 'Klub Instan' di Liga Indonesia.

INDOSPORT.COM - Kompetisi sepak bola kasta teratas Tanah Air, Liga 1 2019, kembali kedatangan klub pendatang baru. 

Namun, jangan salah sangka dulu. klub pendatang ini bukanlah klub promosi, melainkan klub lama yang sudah berganti kulit. 

Jika Anda mengenal Perseru Serui, mulai musim depan Anda tidak akan lagi menemukan nama klub tersebut di liga. 

Ya, Perseru Serui telah resmi berganti nama menjadi Perseru Badak Lampung FC setelah dimiliki oleh Marco Gracia Paulo dan pindah homebase ke Lampung. 

Baca Juga

Bisa ditebak, pro kontra pun langsung mengiringi kabar hengkangnya Perseru ke Lampung. 

Munculnya Badak Lampung di kompetisi Liga 1 mengingatkan kita akan tren 'klub instan' yang memang sudah lazim di persepakbolaan Indonesia dalam satu dekade terakhir. 

Badak Lampung bukanlah klub pioner untuk urusan 'jalan pintas' ke Liga 1. Sebelum itu, ada banyak klub lain yang telah memulainya. 

Selain Badak Lampung, di Liga 1 saat ini saja ada empat klub baru yang eksis usai mengakuisisi klub lain. 

Keempat klub itu adalah Bhayangkara FC, Tira Persikabo, Madura United, dan Bali United. 

Keempat tim tersebut memiliki sejarah terbentuknya masing-masing. Namun, pada dasarnya ada tiga kesamaan di antara mereka.

Pertama, sama-sama mengakuisisi/merger klub lain. Kedua, mengganti nama klub. Ketiga, berpindah homebase. 


1. Tren 'Klub Instan'

Skuat Bhayangkara FC merayakan keberhasilan menjadi juara Liga 1 2017.

Cikal bakal Bhayangkara FC berawal dari dualisme Persebaya Surabaya yang beralih ke Liga Primer Indonesia (LPI). Bajul Ijo kemudian mengubah nama menjadi Persebaya 1927. 

Pada waktu bersamaan, sebuah klub bernama Persikubar Kutai Barat (bukan klub kasta teratas) diboyong ke Surabaya dan diubah nama menjadi Persebaya untuk main di ISL (kasta teratas). 

Persebaya ISL ini pun mengalami masalah legalitas dan harus mengubah-ubah nama hingga akhirnya menjadi Bhayangkara FC usai merger dengan PS Polri. 

Lain lagi dengan Bali United. Klub ini muncul usai pengusaha Yabes Tanuri membeli klub yang tengah sekarat, Persisam Putra Samarinda. 

Klub ini pun dibawa ke Bali untuk diubah nama menjadi Bali United. 

Cerita yang kurang lebih sama terjadi pada Tira Persikabo dan Madura United. Tira Persikabo muncul usai mengakusisi Persiram Raja Ampat. 

Sementara Madura United lahir usai Achsanul Qosasih mengakuisisi klub Persipasi Bandung Raya yang bermarkas di Bandung.

Jika kita membedah lebih dalam, munculnya klub-klub 'baru rasa lama' ini memiliki aspek positif dan negatif. 


2. Mendukung Industri Sepak Bola Nasional?

Kunjungan ke Stadion Kapten I Wayan Dipta.

Pertama-tama mari kita bahas terlebih dahulu aspek positifnya.  

Pada 2011 lalu terjadi perubahan besar pada sepak bola Indonesia. Di tahun itu klub sepak bola nasional tak diperbolehkan lagi menggunakan dana APBD. 

Kondisi ini pun memberikan dampak sangat besar. Klub dipaksa harus bisa mandiri mencari dana demi bisa mengarungi kompetisi. 

Akhirnya, tren investasi di klub pun mulai digalakkan di Indonesia yang mana sampai sekarang terus mengalami perkembangan pesat. 

Bali United misalnya. Munculnya Bali United tak lepas dari masalah keuangan yang mendera Persisam Putra samarinda. 

Dengan diakuisisi oleh pengusaha Yabes Tanuri, Persisam Putra Samarinda diubah menjadi tim super di Indonesia dengan wujud Bali United. 

Klub Bali United pun kini menjadi barometer klub profesional di Tanah Air. Pengelolaan dari seorang pengusaha layaknya klub-klub Eropa membuat Bali United selangkah lebih maju dari tim-tim lainnya. 

Alih-alih menggunakan dana APBD yang terbatas serta pengelolaan yang kuno, Bali United menjelma menjadi klub profesional yang disegani. 

Kunjungan ke Stadion Kapten I Wayan Dipta.

Sebuah sinyal bagus ketika ada orang-orang yang mau berinvestasi besar untuk klub sepak bola tanah air seperti yang dilakukan oleh Achsanul Qosasih di Madura, TNI dengan Tira Persikabo, atau Marco Gracia Paulo dengan Badak Lampungnya. 

Era merger dan akuisisi klub di Indonesia seakan sebagai tanda bahwa industri sepak bola di Indonesia telah berjalan. 

Patut digarisbawahi, banyak pula pengusaha atau pemilik modla lainnya yang berinvestasi di klub yang sudah mapan seperti Persebaya, Persija, Arema, Persib, dan lain-lain.

Mereka tidak perlu pindah base untuk mencari masa karena basis klub yang sudah kuat.  

Namun, tren 'klub instan' ini juga meninggalkan sisi negatif. Bahkan, cukup banyak celah yang bisa dikritik di dalamnya.

Ada sejumlah hal yang patut disoroti dari munculnya klub-klub ini di Indonesia.  


3. Masalah Legalitas

Menyoal Badak Lampung FC dan Tren 'Klub Instan' di Liga Indonesia.

Aspek legalitas adalah satu dari lima aspek yang diwajibkan AFC untuk dipenuhi oleh sebuah klub profesional yang berlaga di kompetisi yang (juga) profesional. 

Apakah klub-klub di atas telah memenuhi syarat legalitas? Mungkin sekarang iya. Namun, bagaimana sewaktu masa-masa awal berdiri dulu?

Jika menilik proses yang ada, akuisisi yang terjadi selama ini hanyalah pembelian lisensi klub lama. 

Unsur leglaitas pun belum terpenuhi. Padahal, legalitas menjadi syarat apakah mereka layak atau tidak layak mengikuti kompetisi. 

Patut digarisbawahi, dalam keabsahan sebuah klub, yang terpenting adalah mengakuisisi PT klub yang lama. 

Hal ini pernah menimpa klub Bhayangkara FC. Alih-alih menjadi klub profesional baru di liga kasta teratas, Bhayangkara justru terbentur masalah legalitas saat ingin berlaga di Asia. 

Beda dengan PSSI, AFC yang menerapkan peraturan ketat menolak Bhayangkara FC untuk main di Asia lantaran belum memenuhi aspek legalitas. 

Sebuah klub yang berlaga di Piala AFC tidak boleh berganti pengelolaan, nama, dan logo dalam dua tahun terakhir.

Aturan ini sebenarnya biasa-biasa saja. Mengapa? Memangnya ada sebuah klub baru yang berganti nama, logo, kantor (termasuk homebase) bisa langsung bermain di kompetisi Asia? 

Klub dengan kriteria di atas pada umumnya pasti berkompetisi dari kasta terbawah terlebih dahulu. 

Namun, yang terjadi di Indonesia berbeda. Klub yang berganti nama, logo, dan homebase bisa tetap berlaga di Liga 1 walaupun aspek legalitas dipertanyakan. 

Untuk itulah, PT LIB selaku operator kompetisi harus tegas dan ketat terhadap klub-klub yang baru berganti nama, homebase, dan logo ini sebelum mengikutsertakan mereka di Liga 1. 

Begitu juga dengan BOPI yang harus bekerjasama dengan PSSI untuk melihat keabsahan dari klub-klub baru yang muncul di masa mendatang. 

Punahnya Sejarah dan Identitas Klub

Sisi negatif lain yang muncul dari tren 'klub instan' ini adalah terhapusnya sejarah dan identitas sebuah klub.

Pengakuisisian klub di Indonesia berbeda dengan yang biasa kita dengar di Eropa. 

Alih-alih membangkitkan klub yang sedang kolaps dan kembali membangun kekuatan, para investor di Indonesia justru membuat klub baru. 

Klub lama yang diakuisisi hanya sekedar sebagai bahan bakar semata. 

Kita ambil contoh Perseru Serui. Perseru telah berdiri sejak 1970 dan bermarkas di Serui, Papua. 

Namun, dengan berubah menjadi Badak Lampung FC, seketika itu juga sejarah dan identitas klub musnah. 

Logo Perseru Serui.

Sekarang yang ada adalah sebuah klub baru yang berdiri di Lampung, yang sama sekali berbeda dengan Perseru Serui. 

Nasib yang sama diderita Persisam Putra Samarinda, Persiram, dan Persipasi. 

Sisi negatif berikutnya dari tren klub instan ini adalah permasalahan 'etika'. 

Publik sepak bola nasional harusnya sepakat bahwa sebuah klub baru yang eksis di persepakbolaan nasional harus memulai perjuangan dari Liga 3. 

Mungkin PT LIB dan pemilik klub yang berganti logo, nama, dan homebase bisa membuktikan mereka mereka tak melanggar aturan, namun secara etika hal ini sangat menyakitkan bagi klub-klub lain yang baru berdiri. 

Saat ini banyak klub-klub baru yang memulai perjuangannya dari di Liga 3. Yang membedakan, mereka tidak populer, tidak memiliki uang yang banyak, dan tidak mengakuisisi lisensi klub Liga 1. 

Padahal, secara operasional, kedua tim sama-sama memiliki logo baru, nama baru, pemain baru. dan homebase baru.

Baca Juga

Hasrat instan dari para investor ini pun menimbulkan kekhawatiran. Apakah ketika klub yang dibelinya nanti mengalami penyurutan prestasi mereka tetap bertahan?

Misalnya saja ketika Madura United atau Badak Lampung terdegradasi. Apakah mereka akan bertahan atau pergi mencari klub-klub lainnya yang bisa memberikan keuntungan ketika berlaga di kasta teratas sepak bola Indonesia?

Terus Ikuti Perkembangan Sepak Bola Indonesia dan Berita Olahraga Lainnya Hanya di INDOSPORT.COM 

Perseru SeruiPSSIAFCBali UnitedBhayangkara FCBali United FCTira-PersikaboBadak Lampung FC

Berita Terkini