x

Awal Mula Kebangkitan Atalanta, Sang Dewi yang Meniti Jalur Elite di Eropa

Kamis, 20 Februari 2020 11:47 WIB
Editor: Prio Hari Kristanto
Atalanta vs Valencia di Liga Champions.

INDOSPORT.COM - Atalanta seakan tak berhenti memberikan kejutan demi kejutan. Setelah finis di posisi ketiga klasemen Serie A musim lalu, mereka kembali mencuri perhatian di Liga Champions. 

Atalanta sukses menang telak 4-1 atas tamunya Valencia dalam laga leg pertama babak 16 besar Liga Champions 2019-2020 di Stadion San Siro, Kamis (20/02/20). 

Empat gol tim tuan rumah dicetak oleh Haris Hateboer (16, 62'), Josip Ilicic (42'), dan Remo Freuler (57'). Sementara satu gol balasan Valencia dicetak oleh Denis Cheryshev pada menit 66'. 

Kemenangan ini menjadi momen bersejarah bagi Atalanta. Untuk pertama kalinya La Dea berhasil meraih kemenangan pada debutnya di fase knock out Liga Champions. 

Baca Juga

Atalanta seakan tak berhenti memberikan kejutan demi kejutan. Setelah finis di posisi ketiga klasemen Serie A musim lalu, mereka kembali mencuri perhatian. 

Tanda kesuksesan Atalanta sebetulnya telah tercium sejak musim 2016-2017 lalu. Kala itu Nerazzurri di luar dugaan mampu finis di posisi keempat klasemen Serie A menyingkirkan dua tim tradisional, Lazio dan AC Milan. 

Padahal, dua musim sebelumnya mereka hampir saja terdegradasi setelah finis di posisi ke-17. Setelah sempat tersendat di musim 2017-2018, mereka kembali masuk empat besar pada musim 2018-2019. 

Musim 2018-2019 sendiri menjadi sangat spesial karena untuk pertama kalinya mereka sanggup finis di posisi ketiga Serie A. Bahkan Atalanta menjadi tim paling produktif di Serie A mengalahkan Juventus dan Napoli. 

Dari sinilah jati diri Atalanta di bawah asuhan Gian Piero Gasperini terkuak sepenuhnya. Klub yang bermarkas di Bergamo ini tak lagi dicap sebagai one season wonder alias mengandalkan keberuntungan belaka. 

Atalanta kini dianggap sebagai tim papan atas yang siap mengganggu dominasi Inter, Roma, bahkan Juventus. 

Musim ini, magis Atalanta terus berlanjut. Sampai pekan ke-24, Atalanta nangkring di posisi keempat di klasemen Serie A. Josep Ilicic dkk menjadi tim terproduktif dengan 63 gol. 

La Dea sering mendapatkan skor-skor besar seperti saat menggilas AC Milan 5-0 dan Torino 7-0. Tak cuma di liga, di Liga Champions pun mereka juga bersinar. 

Walau memulai musim dengan tersendat dengan kekalahan beruntun di tiga laga awal grup, Atalanta secara perlahan tapi pasti tembus ke babak 16 besar Liga Champions. Teranyar, mereka sanggup melibas Valencia dengan skor telak 4-1

Resep Sukses La Dea

Atalanta selama ini dikenal sebagai tim biasa-biasa saja di Serie A. Bahkan, mereka sering pula terjun ke kompetisi Serie B. 

Atalanta kalah bersinar dibanding The Magnificent Seven yang sempat merajai Serie A. Lolosnya mereka ke Liga Champions menjadi prestasi terbaik dalam dua dasawarsa terakhir. 

Padahal, Atalanta memiliki reputasi bagus sebagai penghasil pemain-pemain bintang Serie A dan Eropa. Tak mengherankan memang karena akademi mereka sempat ada di peringkat enam terbaik di Eropa di bawah Real Madrid dan Barcelona. 

Kehebatan akademi mereka dalam menghasilkan pemain bintang jadi kunci sukses awal yang melandasi kebangkitan Atalanta dalam empat musim terakhir ini. 

Akademi Atalanta diisi oleh para pelatih yang minimal mengantongi lisensi B UEFA. Teknik dan kreativitas menjadi aspek terpenting dalam pembinaan. 

Akademi Atalanta memiliki sebuah filosofi. Filosofi itu adalah mencetak pemain untuk menang. Atalanta tak hanya menempa pemainnya dengan teknik dan taktikal, tetapi juga mental untuk menang di tiap pertandingan. 

Kondisi ini tentu ditunjang dengan fasilitas kelas dunia. Pusat pelatihan mereka terletak di Zingonina.

Pusat pelatihan yang bernama Centro Sportivo Bortolotti ini memiliki total area seluas 8,5 hektar dengan fasilitas yang sangat lengkap dan mutakhir.

Hasilnya tak main-main. Dalam satu dekade ini saja Atalanta menghasilkan belasan pemain-pemain bintang Italia yang bermain untuk tim senior maupun tim lain di Eropa. 

Pemain-pemain itu di antaranya adalah Giacomo Bonaventura, Franck Kessie, Andrea Conti (Milan), Davide Zappacosta (Chelsea), Simone Zaza (Valencia), Danielle Baselli (Torino), Mattia Caldara (Atalanta), Roberto Gagliardini (Inter), Alberto Grassi (Napoli/SPAL). 

Semua pemain-pemain ini pernah berkontribusi untuk Atalanta. Andrea Conti, Franck Kessie, dan Mattia caldara, misalnya. Tiga pemain ini jadi tulang punggung yang membawa Atalanta finis di posisi empat besar musim 2016-2017. 

Sebagai klub dengan pembinaan kelas dunia, sudah menjadi risiko bagi mereka kehilangan bintang-bintang muda. Namun, dalam empat tahun terakhir ini Atalanta tak kehabisan cara untuk menjaga agar skuadnya tetap kompetitif. 

Kebiasaan mereka dalam mencari bakat-bakat muda di pelosok-pelosok Lombardia membuat Atalanta selalu bisa mendapatkan pemain hebat dengan harga murah. 

Duvan Zapata misalnya, Atalanta mendapatkan bomber Kolombia ini dengan biaya hanya 12 juta euro pada paruh bursa transfer Januari lalu. 

Zapata langsung menjelma menjadi top skor klub dengan 8 gol dan enam assist di Serie A. Nilai pasarnya pun kini melonjak ke angka 40 juta euro. 

Satu contoh lain adalah Mario Pasalic. Pemain buangan Chelsea ini dibeli dengan harga murah 14 juta euro. Ia pun jadi salah satu gelandang terbaik di Atalanta dan Serie A dengan torehan lima gol dan tiga assist dari 22 laga. 

Sepak Bola Bertahan untuk Menyerang ala Gasperini 

Tangan dingin Gian Piero Gasperini di Atalanta sudah tak diragukan lagi. Sejak datang pada tahun 2016, ia sukses mengangkat derajat Atalanta. 

Di musim pertamanya saja eks allenatore Inter Milan ini membawa La Dea ke posisi keempat klasemen akhir. Sayang, saat itu Italia cuma dapat tiga jatah Liga Champions. 

Atalanta akhirnya baru benar-benar meraih tiket ke Liga Champions pada musim 2018-2019 lalu. Capaian ini membuat Gasperini semakin betah dan tak tergoyahkan. 

Gasperini memang bukan pelatih kacangan. Walau lebih sering melatih tim-tim gurem, ia memiliki segugang pengalaman yang membuatnya menjadi seperti sekarang ini. 

Salah satu kehebatan Gasperini adalah kemampuannya untuk mengadaptasi taktik bermain lawan. Seorang Jose Mourinho pernah mengakui kehebatan Gasperini yang satu ini. 

"Dia adalah pelatih yang paling membuatku kesulitan. Setiap kali aku mengubah taktik, dia selalu bisa beradaptasi. Ini adalah salah satu hasil 0-0 paling spektakuler, khususnya bagi mereka yang mencintai sepak bola," ujar Mou kala itu saat masih membesut Inter Milan. 

Gasperini adalah pelatih yang gemar dengan pakem formasi 3-4-3 dan beragam variasinya. Dengan formasi ini Gasperini menerapkan sepak bola bertahan sekaligus menyerang. 

Jika melihat Atalanta bermain, maka akan terlihat bagaimana pressing-pressing ketat yang dimainkan anak asuhnya. Ya, Gasperini memang tak ingin memberikan kesempatan pada lawan untuk berkembang. 

Strategi pressing dan marking ketat ini ditunjang dengan fleksibilitas. Biasanya tiga pemain Atalanta ditugaskan Gasperini untuk terus menekan bek lawan ketika sedang menguasai bola atau pun hendak melakukan operan. 

Di tim Gasperini tak terlihat perbedaan antara bertahan dan menyerang. Dengan pressing ketat ketika bertahan, Atalanta bisa langsung menyulapnya menjadi tekanan yang agresif ke pertahanan lawan. 

Kasarnya, untuk bertahan, mereka harus bermain agresif layaknya menyerang. Hal ini yang sering membuat pemain-pemain lawan kerepotan ketika Atalanta memegang bola. 

Para pemain Atalanta selalu siap untuk menyerang kapan pun itu. Maka tak heran mereka menjadi tim paling produktif di musim lalu dan musim ini. 

Baca Juga

Kehebatan Gasperini dalam menerapkan taktiknya ini pun berkontribusi besar terhadap hasil gemilang Atalanta baik itu di Liga Italia maupun Liga Champions musim ini. La Dea (Sang Dewi) kini hendak menembus level baru, yakni jalur elit Eropa. 

Serie A ItaliaLiga ChampionsAtalantaGian Piero GasperiniSepak BolaBerita Liga Champions Eropa

Berita Terkini