Ramayana yang Terlupa dari Dunia Tinju
Gelimang prestasi dimasa lalu tak menjadi jaminan bisa menjalani sisa kehidupan dengan tenang. Tapi, kondisi itu tak membuat Junai kehilangan harapan akan kerasnya kehidupan. Ia masih terus bertarung demi bertahan hidup.
Meski penghargaan yang telah diraih ini tak seimbang dengan kehidupannya pasca pensiun menjadi petinju. Piala-piala dan penghargaan miliknya kini penuh debu.
Mantan juara IBF Intercontinental kelas Bantam 1982, Junai Ramayana.
Sungguh miris nasib mantan juara IBF Intercontinental kelas Bantam era 1982 ini. Perjuangannya demi Merah Putih berkibar dan lagu Indonesia Raya berkumandang sama sekali tak dianggap. Ia terbuang, teracuhkan bahkan terpinggirkan.
Mantan juara IBF Intercontinental kelas Bantam 1982, Junai Ramayana.
Simak penelusuran awak INDOSPORT ke kehidupan sang 'Ramayana' saat ini:
1. Bekerja serabutan
Saat ini, Junai hanya bisa menekuni jualan batu akik sembari menjaga keamanan rumah di Perum Griya Pratama. Dia pun harus membuka warung kecil-kecilan di samping rumahnya yang sangat sederhana. Semua itu Junai lakukan untuk menyambung hidup, apalagi pemerintah belum mendukung sepenuh hati padanya.
Pemerintah dianggap abai dengan dunia olahraga tinju. Sehingga tinju mati suri karena para promotor tak mau rugi menggelar pertandingan adu jotos yang kini tak diminati lagi.
"Saya membantu istri yang juga buka kios mracang (toko yang menjual berbagai macam kebutuhan). Apapun usaha saya lakukan, mulai jadi satpam di Perum Griya Pratama, jual pulsa, demi menghidupi keluarga dan lima anak," terangnya, ketika ditemui di kediamannya, Jl Kali Kepiting, Surabaya, Jawa Timur.
Bahkan ketika awal tahun 2015 lalu demam batu akik melanda masyarakat, dia pun juga ikut jualan batu akik di depan kios mungil miliknya. Dia lantas memamerkan akik jenis kecubung, safir hingga bacan yang sudah pakai emban. "Yang penting laku dan hasilnya untuk keluarga, meski tak banyak, tapi lumayan agar dapur tetap mengepul," ujar Junai.
2. Dulu dipuja, kini tak dikenal
Ketika awal 2015 lalu demam batu akik melanda masyarakat, dia pun juga ikut jualan batu akik di depan kios mungil miliknya. Dia lantas memamerkan akik jenis kecubung ke awak INDOSPORT, safir hingga bacan yang sudah pakai emban.
"Yang penting laku dan hasilnya untuk keluarga, meski tak banyak, tapi lumayan agar dapur tetap mengepul," ujar Junai.
Hanya sedikit para pecinta tinju yang mengetahui sosok seorang Junai. Pria asal Aceh ini menapaki dunia adu bogem ini bermula dari tinju amatir di Medan pada 1986an. Kemudian dia memutuskan hijrah ke Surabaya dan terjun di tinju profesional dengan berlatih di Sasana Sawunggaling milik Setijadi Laksono.
Bergabung dengan sasana terbaik, karir Junai sebagai petinju pun semakin menanjak naik. Pria yang lahir pada 20 Juni 1970 ini mampu merebut sabuk juara IBF Intercontinental (Int) kelas bantam, setelah mengkandaskan Fransisco Aroyo (Panama) pada 1992 silam di Surabaya. Saat itu, Junai mampu menang KO ronde 4.
Pada tahun yang sama, dirinya juga mempertahankan gelar IBF Intercontinental kelas bantam setelah mengalahkan Roger Drama. Kesuksesan Junai meraih IBF Int, membuat namanya meroket. Dia mampu mempertahankan gelar juara sebanyak dua kali. Namun selepas itu, semangat tandingnya merosot jauh, ketika bertanding melawan Fadila Gonzales di Saragoza, 1994 silam.
"Sebenarnya, saat itu wasit sudah akan memenangkan saya. Namun, ada pemberitahuan kalau salah satu juri melakukan kekeliruan dalam menilai. Protes pun tiada guna. Akhirnya, sabuk juara saya melayang dan direbut Gonzales," kenang Junai yang memiliki rekor tanding 65 kali tanding, 4 kali kalah, 3 seri dan 17 menang KO ini.
3. Pemerintah abai
Ketika disinggung soal perhatian pemerintah pada prestasi atlet yang mengibarkan panji Merah Putih di dunia internasional, Junai lantas terdiam. Dia telah lama tanpa ada dukungan dan kejelasan yang menjanjikan dari pemerintah akan prestasi yang diraihnya membela Indonesia
"Tawaran untuk mendapat pekerjaan yang memadai belum ada sampai sekarang. Tapi, kalau tali asih pernah terima. Cuma..," timpal salah satu rekan Junai saat menemani INDOSPORT yang kemudian menghentikan pernyataannya.
"Waktu era Menteri Pemuda dan Olahraga (Menpora) Andi Mallarangeng, Mas Junai pernah dapat tali asih. Hanya saja, dari nilai sebesar Rp 175 juta yang seharusnya diterima Mas Junai, hanya Rp 25 juta yang sampai ke tangannya," lanjut rekan Junai seraya meminta namanya tidak disebutkan.
Usai memutuskan gantung sarung tinju akibat kekalahan menyakitkan, potensinya tetap dihargai, sehingga Junai diminta melatih di Sasana Sawunggaling mulai 1998 lalu.
Dari kiprah tangan dinginnya, beberapa petinju terkenal lahir darinya. Sebut saja mantan juara nasional, Julio de La Basez dan Dobrak Arter. Sayangnya, karir Junai makin meredup. Apalagi ketika Sasana Sawunggaling yang berjasa ikut menaikkan pamornya harus ditutup pada 2000an.