Kisah PON VII, Pesta Olahraga Berbalut Dana Judi

Kamis, 18 Agustus 2016 20:31 WIB
Editor: Rizky Pratama Putra
 Copyright:

Surabaya menjadi tuan rumah PON ke-7 pada tahun 1969. Ajang ini merupakan kali pertama PON dipertandingkan di zaman Orde Baru.

Pemerintah Daerah Jawa Timur dan Kota Surabaya saat itu sempat kebingungan soal biaya yang dibutuhkan. Pasalnya, kala itu ekonomi nasional dan daerah tengah dalam kondisi tidak stabil usai peristiwa 1965.


Mohammad Noer, mantan Gubernur Jawa Timur.

Tidak kehabisan akal, mereka pun mengeluarkan sebuah undian berhadiah. Undian ini bernama Lotere Totalisator (Lotto), sebuah undian yang berbau judi.

Mohammad Noer (Gubernur Jawa Timur), R. Soekotjo (Walikota Surabaya), M. Jassin (Pangdam Brawijaya) dan Acub Zainal (Danrem Bhaskara) adalah penggagas ide eksentrik ini. Lotto yang digagas ini mengadopsi ide dari Gubernur DKI Jakarta Ali Sadikin, yang pernah melegalkan judi untuk membiayai Jakarta.


Biaya pembangunan Stadion Gelora 10 November diinisiasi dari hasil Lotere Totalisator.

Selain itu, Surabaya juga tengah marak judi ilegal yang cukup meresahkan. Jadi, para pemuka daerah akhirnya bersepakat meraup dana judi, untuk membiayai ajang oahraga bertaraf nasional tersebut.

Meski menjadi kontroversi kala itu, hasil dari pengumpulan Lotto ini juga cukup memuaskan. Hanya dalam tempo delapan bulan, dana ini sanggup membiayai pembangunan Stadion Tambaksari, yang belakangan berubah nama menjadi Gelora 10 November, Surabaya.


Ali Sadikin saat melepas kontingen DKI Jakarta untuk PON VII di Surabaya.

Pon VII sendiri mempertandingkan 13 cabang olahraga. Kala itu, DKI Jakarta menjadi juara umum dengan perolehan 102 emas, 69 perak dan 40 perunggu.

Sementara Jawa Timur sebagai tuan rumah hanya bisa menjadi runner up. Perolehan medali mereka jauh dibawah DKI Jakarta, dengan 65 emas, 62 perunggu.

62