Selain e-KTP, Setya Novanto Juga Terlibat Dugaan Kasus Suap PON Riau 2012

Kamis, 16 November 2017 06:42 WIB
Editor: Cosmas Bayu Agung Sadhewo
© Sembilan Bersama Media - WordPress.com
PON Riau 2012. Copyright: © Sembilan Bersama Media - WordPress.com
PON Riau 2012.

Status tersangka yang telah diterapkan oleh Komisi Pemberantasa Korupsi (KPK) kepada Ketua DPR, Setya Novanto, nyatanya menyita perhatian publik Tanah Air. Tak mengherankan, memang, mengingat Setya Novanto sendiri merupakan orang penting dalam tubuh pemerintahan di Indonsia.

Kasus korupsi e-KTP yang menjerat dirinya membuat pria kelahiran Bandung, 12 November 1954 ini menjadi incaran KPK. Terakhir, dirinya tidak ditemukan saat KPK dan pihak kepolisian menjemput paksa di dalam kediamannya, Jalan Wijaya XIII, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan, Rabu (15/11/17) malam tadi.

Tidak ditemukannya Setya Novanto di kediamannya tersebut seakan membuat dirinya menjadi buronan KPK, walau belum ada keterangan resmi perihal DPO hingga berita ini diturunkan.

Pasalnya, Setya Novanto dikabarkan telah mangkir delapan kali dari 11 pemanggilan yang telah dilakukan oleh KPK. Hal tersebut dikonfirmasi langsung oleh juru bicara KPK, Febri Diansyah kepada Kompas TV.

"KPK sudah melakukan total seluruhnya 11 kali pemanggilan," ucapnya di gedung KPK pada Kamis (16/11/17) dini hari WIB tadi.

Usut punya usut, Setya Novanto ternyata memiliki deretan kasus yang pernah menyeret namanya, salah satunya adalah kasus korupsi PON Riau di tahun 2012 silam.

© SuratKabar.ID
Ketua DPR RI, Setya Novanto. Copyright: SuratKabar.IDKetua DPR RI, Setya Novanto.

Dalam kasus korupsi tersebut, muncul nama Lukman Abbas selaku mantan Kepala Dinas Pemuda dan Olahraga Riau. Dirinya menjadi salah satu tersangka dalam kasus suap pembangunan arena PON Riau, dan dituntut dengan hukuman 8 tahun penjara.

Dilansir oleh Kompas.com (03/08/12), dalam kesaksiannya Lukman mengatakan bahwa pada awal Februari 2012 dirinya menemani Gubernur Riau kala itu, Rusli Zainal, untuk mengajukan proposal bantuan dana APBN untuk keperluan PON melalui Kementerian Pemuda dan Olahraga senilai Rp 290 miliar. Proposal itu disampaikan Rusli kepada Setya Novanto di lantai 12 gedung DPR.

"Setelah pertemuan dengan Setya Novanto di DPR, saya disuruh menyerahkan uang kepada Kahar. Saya kemudian menemuinya di lantai 12. Namun, bukan dia yang menerima uang. Uang 850.000 dollar AS diserahkan oleh sopir saya kepada Acin, ajudan Pak Kahar, di lantai dasar Gedung DPR. Selebihnya 200.000 dollar AS lewat Dicky dan Yudi (dari Konsorsium Pembangunan Stadion Utama PON)," kata Lukman.

Sekadar informasi, Kahar Muzakir yang kala itu merupakan Fraksi Golkar pernah menjadi saksi kasus korupsi suap penyelenggaraan PON Riau 2012. Dirinya bersama dengan Setya Novanto pernah dihadirkan di persidangan Rusli Zainal di pengadilan Tipikor Riau. Keduanya dimintai kesaksiannya perihal aliran dana dari Rusli Zainal untuk uang lobi penambahan dana PON.

© Tempo
Rusli Zainal saat disidang kasus korupsi dirinya. Copyright: TempoRusli Zainal saat sidang kasus korupsi dirinya.

Walau begitu, hingga kini baik Setya maupun Kahar tidak terbukti sebagai tersangka dalam kasus korupsi suap tersebut. Namun, Setya melalui perwakilannya, Rudi, mengakui bahwa ia bertemu dengan Rusli di lantai 12 gedung Nusantara I DPR. Pertemuan tersebut pun dikatakan tidak membicarakan masalah PON, melainkan acara di DPP Partai Golkar.

"Mau ada acara di DPP Golkar, Pak Rusli jadi ketua panitia. Pada saat itu Pak Rusli datang ke ruang Pak Novanto di lantai 12 untuk minta jadi narasumber. Waktu itu ikut dua orang stafnya (Rusli). Pak Novanto tak kenal. Disitu bukan hanya Pak Novanto sendirian. Ada Pak Muhidin, ada Ketua DPD Golkar Bali. Di situ dibilang surat resmi untuk jadi narsum menyusul. Udah, itu aja," katanya dikutip Kompas.com.

© Media Indonesia
Stadion Utama Bekas PON Riau yang terbengkalai. Copyright: Media IndonesiaStadion Utama Bekas PON Riau yang terbengkalai.

Alhasil, dari kasus suap tersebut dikabarkan sempat terdapat dampak yang signifikan dalam pembangunan venue PON Riau 2012. Dampak itu berupa terlambatnya pembangunan tujuh venue yang rencananya akan digunakan untuk pertandingan beberapa cabang olahraga.

"Orang kerja pun sudah pada malas karena ketakutan. Saya sudah sampaikan, kalau mereka tidak berbuat, tidak perlu takut. Jalani saja," ucap Agung Laksono yang kala itu menjawab sebagai Menteri Koordinator bidang Kesejahteraan Rakyat, dikutip Merdeka (09/08/12).