Investigasi INDOSPORT

Penjaga Warisan Thamrin dari Gedung Tua hingga Lapangan Sepakbola

Senin, 13 Februari 2017 13:13 WIB
Editor: Gerry Anugrah Putra
© Grafis: Eli Suhaeli/Gerry Anugrah Putra/Herry Ibrahim/INDOSPORT
Untung Supriadi dan Abdullah Palawah penjaga gedung Museum M.H. Thamrin. Copyright: © Grafis: Eli Suhaeli/Gerry Anugrah Putra/Herry Ibrahim/INDOSPORT
Untung Supriadi dan Abdullah Palawah penjaga gedung Museum M.H. Thamrin.

Bulan Februari menjadi bulannya Mohamad Hoesni Thamrin. Lahir tanggal 16 Februari 1894, Thamrin yang tumbuh besar di Sawah Besar, menjadi tokoh Betawi yang berpengaruh dalam perjuangan bangsa Indonesia.

Thamrin terkenal dengan suaranya yang berpihak kepada pribumi di Batavia. Ia dengan lantang mengatakan proyek perumahan di Menteng hanya menguntungkan para Belanda.

Sebagai anggota dewan rakyat, Thamrin membangun prasarana bagi perjuangan bangsa Indonesia. Gedung Permufakatan adalah peninggalan Thamrin yang kini masih berdiri tegak di jalan Kenari 2. 

Gedung itu merupakan gudang yang dibeli Thamrin sebagai tempat berkumpulnya pemuda di Batavia. Penggunaan gedung guna mempersiapkan kemerdekaan Indonesia.

Penjaga setia Gedung Permufakatan yang kini menjadi Museum M.H. Thamrin, Pak Untung Supriadi menjelaskan bahwa keluarga Thamrin mempunyai beberapa warisan berupa gedung, mesjid, dan juga lapangan sepak bola.

“Kenapa menjadi museum Mohamad Hoesni Thamrin, karena memang gedung ini dulunya dimiliki oleh Mohamad Husni Thamrin,” ujar Untung Supriadi kepada INDOSPORT.

Pak Untung Supriadi penjaga gedung Museum M.H. Thamrin.

Awalnya, gedung yang kini menjadi Museum M.H. Thamrin ini dibangun oleh orang Belanda bernama Meneer Has. Gedung difungsikan sebagai rumah pemotongan hewan serta tempat penampungan buah-buahan dari Australia untuk didistribusikan ke instansi-instansi Belanda di Batavia. Pada 12 Maret 1927, Thamrin membeli gedung ini dari Meneer Has.

Gedung ini menjadi saksi dari berbagai peristiwa bersejarah. Pada 1928, gedung ini diserahkan untuk kaum pergerakan kebangsaan yang tergabung dalam Organisasi Permufakatan Perhimpunan Politik Kebangsaan Indonesia (PPPKI). Saat itu, M.H. Thamrin sedang menjabat sebagai anggota Volksraad.

“Di gedung ini para tokoh kebangsaan mengadakan rapat permufakatan dalam rangka memperjuangkan kemerdekaan Indonesia, sehingga juga dikenal dengan nama Gedung Permufakatan Indonesia,” jelas Pak Untung.

Tidak banyak yang tahu, bahwa di gedung ini lahir gagasan politik perjuangan kemerdekaan Indonesia oleh pemuda pergerakan Indonesia. Bahkan, menurut banyak cerita sejarah di gedung ini pula konsep lagu Indonesia Raya karya W.R. Supratman pertama kali diperdengarkan secara instrumental, tanpa alunan lirik.

Sebagai penjaga gedung tua, pria yang akrab disapa Pak Untuy itu memang harus telaten mengurus barang-barang tua yang sebagian masih asli dan milik Thamrin. Dari beberapa koleksi yang ada di gedung tersebut, beberapa menyita perhatian. Meja jenazah dan radio merupakan koleksi asli dari MH Thamrin.

“Suasana gedung tua ya memang begitu. Apalagi meja jenazah itu asli dipergunakan saat membaringkan tubuh Thamrin saat akan dikubur,” cerita Pak Untuy.

Pak Untung secara rutin merawat koleksi museum yang kebanyakan barang asli milik M.H. Thamrin.

“Saya sudah cukup lama menjaga gedung ini. Memang banyak kejadian aneh yang pernah saya rasakan, tapi ya sudah biasa namanya juga gedung tua yang isinya juga barang tua. Kita niat saja menjaga gedung Thamrin ini. Jaga warisan Thamrin istilahnya,” lanjutnya sambil melihat dengan tajam meja jenazah tersebut.

Seperti jejak misteri, mungkin meja jenazah tersebut cukup memberikan banyak cerita tersembunyi. Tapi bukan itu yang menggelitik INDOSPORT untuk melihat sisi olahraga dalam warisan Thamrin.

Pak Untuy pun bercerita tentang keterlibatan Thamrin di olahraga. Ya, lapangan Petojo menjadi topik pembicaraan selanjutnya. Lapangan tua yang disebut Bung Karno sebagai lapangan Pulo Piun itu pernah merasakan ‘tangan’ Thamrin.

“Lapangan itu juga warisan Thmarin. Dia bagusin lapangan tersebut dengan biaya 2000 gulden. Itu murni keinginan Thamrin yang ingin masyarakat pribumi bisa bermain bola, sebagai bentuk perlawanan juga buat orang-orang Belanda yang main bola di Menteng,” cerita Pak Untuy yang asli Jatinegara Kaum.

Namun, Pak Untuy tak bisa menceritakan banyak tentang lapangan Petojo. “Ada yang jaga di sana. Sejarah yang pastinya sama dia,” sarannya ketika penulis meminta diceritakan lebih jauh tentang lapangan Petojo.

INDOSPORT pun langsung menuju ke lapangan Petojo di jalan Biak, Roxy. Meski sudah beberapa kali mengunjungi lapangan ini, namun ada yang cukup menarik perhatian dengan sosok tua berambut putih.

Sosok tersebut merupakan ‘juru kunci’ lapangan Petojo. INDOSPORT berkesempatan mendengar cerita bagaimana lapangan ini setelah VIJ menjadi Persija dan pindah ke Menteng. Tapi ada yang lebih mendalam dari itu semua, bagaimana sosok ini menjaga dan punya kecintaan warisan Thamrin.

Perkenalkan, namanya adalah Abdullah Palawah, lahir di Manado 11 Juli 1942. Sosoknya cukup terkenal bagi warga yang berada di sekitara lapangan Petojo. Rambut putih dan selalu berada di lapangan saat sore hari, merupakan kegiatan dari pria yang akrab disapa Om Dullah itu.

Abdullah Palawah, 'juru kunci' lapangan Petojo.

“Saya datang ke Jakarta tahun 1964. Saat itu saya datang dari Manado karena diajak main bola oleh pak Anwar Dado bos klub Jakarta Putera (anggota internal Persija),” cerita Om Dullah di tribun lapangan.

Om Dullah mulai bercerita tentang perjalananya sebagai pemain sepak bola yang setia dengan klub dan Persija. Ini menjadi hal menarik disamping mengetahui sejarah bagaimana lapangan ini tetap ada hingga kini.

“Saya datang ke Jakarta, lapangan ini memang sudah ada. Dulu luas sekali lapangan ini dan tribunnya juga tidak sebagus sekarang. Om Dullah tahu ini lapangan sudah ada sejak dulu, sebelum kita merdeka. Thamrin yang bikin lapangan ini bisa dipakai oleh orang-orang pribumi main bola,” kata Om Dullah.

Bermain di lapangan yang dibangun atas usaha besar Thamrin memang membuat Om Dullah senang. Lapangan bersejarah ini menjadi saksi bagaimana dirinya bermain sepak bola dan hampir saja masuk ke tim senior Persija dan Indonesia. Sayang nasib berkata lain, Om Dullah gagal menggapai impiannya.

Lapangan Petojo saat ini. Mengecil karena dipugar, tapi masih tetap bernafas sebagai sarana bermain sepakbola warga Jakarta.

“Ya, dulu pernah hampir masuk, tapi saya tak terlalu kecewa karena masih bisa bermain bola di Jakarta Putera. Saat itu tujuan kami bermain di kompetisi Persija karena memang termotivasi masuk Persija. Tapi karena tak masuk, ya sudah kita tetap main di Jakarta Putera,” jelasnya sambil mengeluarkan senyum kecil.

Bertahun-tahun Om Dullah bermain sepak bola di lapangan Petojo. Kecintaannya pun membesar dan menolak menyerah untuk pulang ke Manado. Beberapa rekannya yang datang ke Jakarta sudah pulang kembali ke Manado, hanya dirinya yang masih bertahan di Jakarta hingga kini.

“Saya merasa ini rumah saya. Datang ke Jakarta di usia muda dan terus bermain sepak bola, membuat saya merasa dekat dengan lapangan ini,”

Pernah suatu ketika Om Dullah harus pulang kampung ke Manado untuk jangka waktu yang lama. Harusnya melihat kampung halaman adalah waktu yang dimanfaatkan untuk lebih lama menikmati tanah kelahiran, tapi apa yang terjadi dengan Om Dullah merupakan kebalikannya.

“Saya bosan di kampung saya. Saya lebih suka menikmati ramainya Jakarta dan juga lapangan ini. Susah untuk berpisah lama-lama dengan lapangan ini,” ucapnya sambil tertawa. 

Kini Om Dullah yang sudah berusia 71 tahun memang hanya tinggal mengenang masa dirinya dan lapangan Petojo menyatu ketika masih bermain. Ia tinggal mewariskan sepak bola kepada dua anak kembarnya, Edo dan Riva Palawah. Keduanya juga tumbuh berkembang di lapangan ini.

“Anak saya kembar jadi pemain bola juga. Tapi sekarang sudah lebih fokus bekerja. Edo main di Tunas Jaya dan Riva main di Atamora. Mereka sering ketemu di kompetisi Persija, yang kebetulan jadwal saling mempertemukan Tunas Jaya dan Atamora,” cerita Om Dullah mengenai penerusnya di lapangan hijau.

Kini lapangan Petojo bukan lapangan yang banyak didatangi para penikmat sepak bola seperti era 1930-an. Lapangan ini sudah banyak dipugar dan dikelola oleh pemerintah daerah DKI Jakarta. Namun, Om Dullah sebagai ‘orang lama’ lapangan ini tetap bersentuhan dan menjaga lapangan yang bernama resmi Stadion VIJ ini.

“Sekarang yang sewa dikit. Apalagi Jakarta Putera sudah tidak aktif dan Atamora juga hanya tim yunior yang latihan. Jadi paling hanya ada satu atau tiga saja yang menyewa lapangan,”  kata Om Dullah.

Pemasukan uang sewa memang langsung ke pengelola lapangan, yakni Dinas Olahraga dan Pemuda (Disorda) DKI Jakarta. Tapi Om Dullah juga mendapat pemasukan sebagai penjaga tak resmi lapangan. 

“Saya sering siapkan rompi atau membelikan minum jika ada yang bertanding. Mereka biasanya kasih saya beberapa uang karena sudah membantu persiapkan kebutuhan sebelum main. Sekarang saya hidup dari situ saja, untuk rokok dan makan,” jelas Om Dullah sambil menyeruput kopi susu.

Menjadi penjaga warisan memang bukan hal yang mudah. Butuh kecintaan untuk bisa terus merawat dan menjaga peninggalan tempat bersejarah.

"Saya tak bisa lepas dari lapangan. Kadang kalau tidak ada yang main atau latihan, saya tetap datang ke sini untuk sekedar membersihkan tribun, dan menikmati sore di lapangan ini," kenangnya sambil menatap ke arah lapangan.

Pak Untuy dan Om Dullah merupakan penjaga warisan yang melakukan kegiatannya dengan rasa memiliki yang besar. Setidaknya Thamrin tak perlu risau dengan warisannya untuk kepentingan warga Jakarta, sebab para penjaganya siap menjaga gedung dan lapangan hingga nafas mereka berhenti.

604