Liga Indonesia

Mengungkap 'Degradasi' Persija 1985

Senin, 20 Februari 2017 14:27 WIB
Editor: Gerry Anugrah Putra
 Copyright:

Tepat di tanggal itu, Persija mengalami mimpi buruk. Kekalahan 3-6 dari Persiraja Banda Aceh, membuat anak-anak Jakarta menerima nasib harus mengalami penurunan kasta. Persija yang kala itu sedang dikuasai oleh Drs. Anwari tak berbuat banyak akibat konflik di lingkup internal. Hasilnya terbukti dengan pencapaian Persija yang amburadul.

 Persija memang sedikit lunglai dengan berisikan pemain-pemain tua hasil dari kompetisi internal yang mandek pembinaan. Hanya ada nama besar Hadi Ismanto yang merupakan eks bintang Persebaya Surabaya era 1970-an yang membela Persija. Itu juga karena Hadi menjadi pegawai Pertamina Surabaya yang pindah Jakarta. Kejadian itu lazim diisi oleh pemain-pemain Indonesia Muda seperti Hadi.

Hadi Ismanto jelas tak berdaya jika harus berjuang sendirian. Dia memang nama besar di sepak bola Indonesia, tapi ketika ia masuk Persija, usianya sudah terbilang gaek dan butuh pemain muda yang bisa menopangnya agar bisa memainkan peran pengalaman yang ia punya.
 
Akhirnya namanya tak cukup membawa Persija kembali berkibar seperti era 1970-an. Tahun 1985 menjadi yang terburuk dalam sejarah Persija. “Saat itu ada konflik di lingkup Persija. Banyak mosi tak percaya yang ditunjukkan kepada pengurus,” ujar salah satu sepuh Persija yang tak mau disebutkan namanya, kepada INDOSPORT.

Ini sangat menarik. Setiap organisasi memang tak lepas dari konflik, bahkan PSSI saja juga pernah berkonflik dengan pecahnya kubu Solo dan Yogyakarta. Menariknya di sini bukan karena terbagi dua kubu, tapi mengubah status Persija yang dulu gilang gemilang menjadi rapuh seperti lutut terkena asam urat.

Tak pelak tahun itu seperti titik rendah prestasi Persija. Jika berkaca pada realita, Persija gagal menjalankan tugasnya sebagai perkumpulan yang harus bisa memproduksi pemain untuk Jakarta. Kegagalan tersebut menjadi aib bagi Persija. Tak heran konflik internal terus memanas untuk menjatuhkan satu sama lain.

Kembali ke lapangan hijau, pemain sebagai bidak catur tentu terkena imbasnya. Panasnya konflik ‘di kantor’ Persija menular ke pemain. Tak ada semangat juang, karena memang program pembinaan Persija tak berjalan, sedangkan tim-tim lain terkesan lancar dengan programnya.

Adityo Darmadi, striker andalan Persija era 1980-an dari klub Menteng FC.

Tentu saja, ketidakpercayaan kepada pengurus saat itu membuat Persija mandek memproduksi pemain. Berbekal nama besar dan kejayaan masa lalu, Persija memulai kompetisi 1985 dengan gontai. Dari enam tim wilayah barat Macan Kemyoran berada di peringkat paling bawah.
 
Persija mau tak mau harus mengikuti babak 6 kecil yang memang sudah menjadi kesepatakan dari Musyawarah Nasional PSSI atau yang saat ini lazim disebut dengan Kongres PSSI. Di babak 6 kecil harusnya Persija bisa tampil lebih beda dari babak besar sebelumnya. Namun, dunia berkata lain kepada Persija.
 
Gol Hadi Ismanto, Sudirman Simamora, dan Zulkarnain Sidik tak cukup membuat Persija selamat dari pertandingan hidup mati melawan Persiraja. Skor 6-3 untuk kekalahan menghiasi papan skor Stadion Citarum.
 
Media kala itu memberitakan bahwa Persija terdegradasi. Bersama Persema Malang, Persija secara harafiah turun ke kasta kedua alias Divisi I. Namun, mereka belum sepenuhnya ‘mati’. PSSI sebagai federasi punya satu babak lagi yang akan mempertemukan dua peringkat terbawah dan dua peringkat atas.

Persija dan Persema harus berhadapan dengan dua peringkat teratas Divisi I, yakni Persiba Balikpapan dan PSIM Yogyakarta. Hal itu membingungkan orang awam karena Persiba yang harusnya melenggang kangkung ke Divisi Utama, harus berhadapan dulu dengan para ‘jawara’ terbuang Divisi Utama.
 
Sebuah kebijakan misterius dari PSSI yang banyak publik tak tahu. Ada apa dengan PSSI? Kenapa harus 4 kecil? Dan apakah ini merupakan tindakan penyelamatan PSSI kepada Persija yang secara sejarah menjadi pendirinya?
 
INDOSPORT mendapatkan pernyataan langsung dari Sekretaris Jenderal PSSI kala itu, Nugraha Besoes. Ditemui di kediamannya di daerah Joglo, Jakata Barat, Nugraha Besoes menceritakan bagaimana sistem 6 kecil dan 4 kecil itu terjadi.

Nugraha Besoes, mantan Sekjen PSSI yang menjelaskan bagaimana format kompetisi Perserikatan 1985 dan status Persija Jakarta.

 Ia tak menampik anggapan masyarakat yang menyebut keputusan tersebut seakan memihak Persija. Namun ia menolak PSSI merencanakan secara mendadak babak 4 kecil itu.

“Mengapa ada 4 kecil? Ya karena menang sudah ada aturannya. Babak 4 kecil itu sudah ditetapkan saat Munas PSSI sebelum kompetisi Perserikatan dimulai. Jadi itu bukan rekayasa PSSI untuk menyelamatkan Persija,” ujar Nugraha Besoes.
 
Nugraha juga secara blak-blakan mengenai polemik 31 tahun tersebut. Menurutnya, 4 kecil diadakan untuk memenuhi kembali kuota peserta kompetisi yang berjumlah 12 tim. Selain itu, PSSI juga ingin kualitas tim yang bermain di Divisi Utama merupakan tim terbaik. Sehingga, 4 kecil juga mencari siapa yang lebih layak dari tim terlemah Divisi Utama dan terbaik dari Divisi I untuk bisa bertahan di kasta tertinggi.
 
“Kita cari sistem yang adil untuk tim-tim Divisi Utama dan Divisi I. Babak 4 kecil itu untuk memberikan keadilan bagi tim-tim tersebut. Jadi tidak ada itu 4 kecil untuk menyelamatkan tim Divisi Utama, apalagi menyelamatkan Persija,” sambung Nugraha.
 
Menurut Nugraha, adanya 4 kecil juga membuat seru persaingan menuju Divisi Utama. Hal itu dinilai wajar oleh Nugraha, apalagi saat itu tidak ada protes dari perwakilan klub terkait dengan penyelenggaraan babak 4 kecil. Baik Persiba dan PSIM sebagai wakil Divisi I tak melakukan aksi protes dan datang ke techincal meeting kompetisi Perserikatan 1986 yang dibarengi persiapan 4 kecil.
 
“Tidak ada anggota yang keberatan dengan sistem 4 kecil tersebut. Jika memang ada, sudah pasti babak 4 kecil tersebut tidak akan berjalan karena anggota pada protes. Tapi ini mereka tak ada yang protes resmi yang masuk ke PSSI,” lanjutnya.

“Ya, kalau hebat maka lewati dulu 4 kecil. Kebetulan memang Persija yang menang jadi mereka tetap berada di Divisi Utama,” cerita Nugraha Besoes yang masih ingat betul detail kompetisi tahun 1985.
 
Di sisi lain, pihak Persija juga membantah kabar adanya intervensi kepada PSSI untuk tidak mendegradasikan Macan Kemayoran ke Divisi I.

INDOSPORT juga mendapat pernyataan langsung dari sesepuh Persija, Biner Tobing. Biner yang kala itu pengurus di PS Mahasiswa dan Komite Wasit Persija, menyangkal ‘Si Merah Putih’ melakukan desakan ke PSSI. Ia juga menolak dengan tegas anggapan bahwa Persija meminta dan memohon untuk tidak degradasi dengan adanya 4 kecil itu.

Biner sependapat dengan Nugraha Besoes yang menilai bahwa babak 4 kecil itu merupakan program yang dibuat PSSI saat Musyawarah Nasional.  Biner juga menerangkan bahwa Persija merupakan tim yang sangat patuh dengan peraturan PSSI.

“Tidak ada itu namanya, intervensi ke PSSI. Kita Persija merupakan tim yang patuh dengan PSSI, meski kita pendiri mereka (PSSI), jadi kita selalu ikuti saja peraturan PSSI,” cerita Biner.

“Makanya kita ikuti saja 4 kecil, toh itu memang kebijakan dari PSSI saat itu. Kita taat dengan perarutaran federasi, tapi kita menolak kalau dibilang minta selamat dari degradasi dari PSSI,” sambung Biner yang juga mantan aktivis Universitas Indonesia.

PSSI menuntaskan 4 kecil dengan ‘mengembalikan’ Persija ke habitatnya di Divisi Utama bersama dengan Persiba Balikpapan, sebagai juara Divisi I PSSI. Hasil tersebut memang mendapat opini yang kurang baik dari masyarakat pecinta sepak bola Indonesia, yakni Persija harusnya terdegradasi.

Namun polemik apakah Macan Kemayoran terdegradasi terus bergulir. Hingga kini, peristiwa 31 tahun itu masih terus menjadi perbincangan hangat di kalangan penikmat sepakbola Indonesia.

Lalu apakah benar Persija terdegradasi? 

Sebetulnya tidak hanya Persija saja yang nasibnya cukup membingungkan. Persib juga pernah merasakan hal serupa pada tahun 1983, saat mereka dinyatakan degradasi ke Divisi I. Namun para sejarawan Persib berpendapat bahwa itu bukanlah degradasi karena memang apa yang dilalui Persib jelang kompetisi 1985 adalah babak zona sebelum masuk ke babak besar.

Polemik itu juga mucul saat Persija selamat dari degradasi. Banyak opini yang menyebutkan Persija turun kasta, beberapa sejarawan juga ada yang berpendapat bahwa Persija memang terdegradasi ke Divisi I. Asumsinya adalah babak play off promosi dan degradasi adalah babak percepatan pamungkas Divisi I.

Skuat Persija tahun 1986, bangkit dari keterpurukan lewat sistem kompetisi internal yang berkesinambungan.

Tetapi, sebuah statment dari Nugraha Besoes cukup mematahkan polemik tersebut. Sebuah penegasan dari orang PSSI era itu, bahwa Persija tidaklah terdegradasi ke Divisi I. “Jadi Persija tidak terdegradasi ke Divisi I, karena mereka menang babak 4 kecil yang memang sudah ditetapkan sebelum kompetisi Perserikata 1985,” ujar Nugraha.

Berarti sejarah tidak berubah. Dalam catatan PSSI, Persija memang tidak terdegradasi tahun 1985. Tapi memang informasi saat itu yang cukup minim membuat berbagai persepsi dan asumsi-asumsi pun tercipta dengan liar. 

Sejak saat itu, Persija kembali tampil sebagai tim besar. Kembali bergabung dengan klub-klub sejawatnya di PSSI, dan masuk ke babak elite 8 besar atau 6 besar.

Memang, Kerancuan dan polemik babak 4 kecil terus akan menjadi misteri tersendiri. Program PSSI yang memang ditetapkan saat itu tidak mendapat porsi informasi lebih, sehingga cukup membingungkan publik dengan sistem tersebut. 

Dengan kata lain, 4 kecil menjadi babak yang sempat membingungkan publik. Kini dengan adanya pernyataan langsung dari Nugraha Besoes, 4 kecil ‘resmi’ menjadi bagian dari kompetisi.

Pernyataan orang penting PSSI saat itu pun mempertahankan sejarah bahwa Persija bukanlah anak emas PSSI yang sengaja diselamatkan. Persija juga tidak terdegradasi ke Divisi I, dan cerita itu tetap berjalan hingga kini.

616