Liga Indonesia

Menjawab Keterkaitan PSIM dengan Keraton Yogyakarta

Jumat, 3 Maret 2017 10:12 WIB
Editor: Tengku Sufiyanto
 Copyright:

Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY), salah satu daerah otonom setingkat provinsi yang ada di Indonesia. Yogyakarta memiliki catatan sejarah yang sangat panjang dalam terbentuknya Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).

Yogyakarta dahulu merupakan wilayah Kerajaan Mataram yang sudah memiliki tradisi pemerintahan sendiri. Ngayogyakarta (dalam bahasa Jawa) memiliki sistem pemerintahan kesultanan, termasuk di dalamnya terdapat juga Kadipaten Pakualaman.

Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat berdiri sejak 1755 yang didirikan oleh Pangeran Mangkubumi yang kemudian bergelar Sultan Hamengkubuwono I. Sementara itu, Kadipaten Pakualaman didirikan oleh Pangeran Notokusumo (saudara Sultan Hamengkubuwono II) yang kemudian bergelar Adipati Paku Alam I pada tahun 1813.

Seiring berjalannya waktu, Yogyakarta pada zaman penjajahan Belanda diberikan hak atau wewenang untuk mengatur rumah tangganya sendiri. Selanjutnya, Daerah Kasultanan Yogyakarta dan Daerah Pakualaman bergabung ke NKRI saat Proklamasi Kemerdekaan Indonesia, untuk menjadi satu mewujudkan kesatuan Daerah Istimewa Yogyakarta.

Saat itu, Sri Sultan Hamengkubuwono IX dan Pangeran Adipati Paku Alam VIII yang  menjadi aktor bergabungnya Daerah Kasultanan Yogyakarta dan Daerah Pakualaman bergabung ke NKRI. Lalu, Sri Sultan Hamengkubuwono IX dan Sri Paku Alam VIII bertindak sebagai kepala daerah (gubernur) dan wakil kepala daerah (wakil gubernur) yang bertanggung jawab langsung kepada Presiden Republik Indonesia.

Sehingga, pemerintahan DIY memiliki otonomi khusus yang dipimpin gubernur dari keturunan Sri Sultan Hamengkubuwono, dengan pendamping seorang wakil gubernur keturunan Pangeran Paku Alam. Nilai adat istiadat dan budaya peninggalan Kerajaan Mataram juga masih berlaku di Yogyakarta.

Yogyakarta tempo dulu.

Yogyakarta pasca kemerdekaan menjadi daerah saksi bisu perjuangan Indonesia mempertahankan kedaulatannya. Yogyakarta pernah menjadi Ibu Kota Indonesia dari 4 Januari 1946 hingga 27 Desember 1949. Saat itu, Indonesia harus menghadapi agresi militer Belanda pertama dan kedua.

Sejarah tersebut yang juga membuat Yogyakarta sangat istimewa di mata masyarakat Indonesia. Banyak orang yang ingin berkunjung ke Yogyakarta untuk melihat secara langsung bangunan-bangunan peninggalan sejarah yang masih berdiri kokoh, salah satunya Keraton Yogyakarta.

Masyarakat Indonesia berkunjung ke Yogyakarta juga karena dipengaruhi banyaknya destinasi wisata yang cantik di sana. Lalu ada pula yang datang ke Yogyakarta untuk melanjutkan studi, karena banyaknya universitas ternama di sana.

Yogyakarta sebagai daerah yang selalu dirindukan untuk dikunjungi. Tak ayal, moda transportasi kereta api yang rata-rata digunakan masyarakat untuk berkunjung ke Yogyakarta tak pernah sepi.

Hal tersebut terjadi pada hari Kamis (09/02/17), di mana Stasiun Pasar Senen dipenuhi masyarakat yang memanfaatkan waktu cuti atau sekadar adanya urusan pekerjaan untuk berkunjung ke Yogyakarta. Kereta Api Gaya Baru Malam penuh sesak berangkat dari Stasiun Pasar Senen menuju Stasiun Lempuyangan pada pukul 11.00 WIB.

Hamparan sawah dan pedesaan menjadi hiasan cantik para masyarakat di dalam Kereta Api Gaya Baru Malam. Hampir menempuh waktu 9 jam, Kereta Api Gaya Baru Malam tiba di Stasiun Lempuyangan.

Yogyakarta saat ini.

Kota Yogyakarta saat itu diguyur hujan gerimis ditambah dengan adanya musik Jawa yang merdu terdengar di setiap sudut kota, membuat hati begitu tenang dan tenteram. Bangunan-bangunan sejarah Yogyakarta menjadi pemandangan menarik dalam memanjakan mata.

Jumat (27/01/17), Yogyakarta diselimuti cuaca cerah. Bangunan-bangunan sejarah terlihat dengan jelas. Ada satu bangunan bersejarah yang memanjakan mata para pencinta sepakbola. Bangunan tersebut adalah Monumen PSSI.

Monumen PSSI dahulunya memang tempat lahirnya Persatuan Sepakbola Seluruh Indonesia (PSSI) pada tanggal 19 April 1930 yang digagas Ir. Soeratin Sosrosoegondo. Soeratin melihat sepakbola sebagai wahana terbaik untuk menyemai nasionalisme di kalangan pemuda demi menentang Belanda.

PSSI didirikan sebagai alat perjuangan rakyat melawan Belanda melalui sepakbola. Pasalnya, Belanda mendirikan perkumpulan sepakbola bernama Nederlandsch Indische Voetbal Unie (NIVU). NIVU tidak memperbolehkan pribumi bergabung untuk bermain sepakbola.

Soeratin yang menjadi Ketum PSSI pertama mendirikan PSSI bersama perwakilan tujuh klub pribumi, yakni Voetbalbond Indonesische Jacatra (Persija Jakarta, Sjamsoedin), Bandoengsche Indonesische Voetbal Bond (Persib Bandung, Gatot), Persatuan Sepakraga Mataram (PSIM Yogyakarta, Daslam Hadiwasito, A.Hamid, M. Amir Notopratomo), Vorstenlandsche Voetbal Bond (Persis SOlo, Soekarno), Madioensche Voetbal Bond (PSM Madiun, Kartodarmoedjo), Indonesische Voetbal Bond Magelang (PPSM Magelang, E.A Mangindaan), dan Soerabajasche Indonesische Voetbal Bond (Persebaya Surabaya, Pamoedji).

Monumen PSSI yang pada bagian belakang terdapat Mes PSIM Yogyakarta.

Di belakang bangunan Monumen PSSI, berdiri tegak mes pemain PSIM. Lalu ada Stadion Mandala Krida di bagian depan. Stadion Mandala Krida merupakan kandang dari PSIM.

Nama PSIM mungkin tidak setenar Persija Jakarta, Persib Bandung, ataupun Persebaya Surabaya dalam hal raihan prestasi. Namun, PSIM memiliki catatan sejarah yang menarik untuk diketahui.

Jika ditarik sejarah Yogyakarta, muncul pertanyaan apakah ada kaitannya Kasultanan Yogyakarta dan Pakualaman dalam sistem keraton atau kerajaan di kubu PSIM? Maklum saja, nama kepanjangan PSIM ada kata Mataram. Mataram merupakan kerajaan awal mula terbentuknya Yogyakarta.

Logo PSIM Yogyakarta.

Keterkaitan Keraton Yogyakarta dengan PSIM

Seorang penggiat sejarah sepakbola bernama Dimaz Maulana menerangkan lebih detail soal awal mula dunia bal-balan di Yogyakarta, hingga bermuara keterkaitan Keraton Ngayogyakarta dengan PSIM.

"Sepakbola merupakan hiburan rakyat untuk menyatukan rakyat. Saat itu, Kasultanan Ngayogyakarta mempunyai hiburan wayang wong untuk menarik masyarakat di alun-alun. Keliling Indonesia ke Batavia dan lain-lain. Acara tersebut diselingi dengan pertandingan sepakbola. Laga sepakbola Yogyakarta saat itu juga dimainkan di Stadion Kridosono," ungkap Dimaz kepada INDOSPORT, Sabtu (11/02/17).

PSIM terbentuk pada tanggal 5 September 1929 dengan nama awal sebuah organisasi sepakbola Perserikatan Sepakbola Mataram (PSM). Kemudian pada tanggal 27 Juli 1930 nama PSM diubah menjadi PSIM. Nama Mataram dipakai karena saat itu Ngayogyakarta merupakan Kerajaan Mataram.

Dimaz mengungkapkan, ada campur tangan Keraton Ngayogyakarta dalam berdirinya PSIM. Buktinya, tanah berdirinya mes PSIM, Monumen PSSI, dan Stadion Mandala Krida adalah tanah Keraton Ngayogyakarta yang dikenal dengan istilah Sultan Ground (SG).

Lanjut Dimaz, tanah Keraton Ngayogyakarta diwakafkan untuk PSIM. Seterusnya, PSIM pemegang hak tanah tersebut tanpa bisa dipindahtangankan seizin Keraton Ngayogyakarta.

"Saat itu, PSIM didirikan ketika Sultan Hamengkubuwono VIII memegang kendali pemerintahan. PSIM ada campur tangan andil keraton. Tak hanya soal tanah, keterkaitannya bisa dilihat dari semua peraturan dan kebijakan selalu melalui keraton ketika itu," ujar Dimaz.

"Lalu melalui simbol. Jawa dalam sejarahnya, termasuk Keraton Ngayogyakarta penuh dengan sistem kesimbolan. Kalau kita ke keraton, ada sistem kesultanan dengan simbol kelambangan. Misalnya, ada bangunan dalam relief terdapat angka 1, angka 8, lalu bergambar nogo (naga) yang bermakna angka 2, dan gambar bumi yang bermakna 1. Jadi, bangunan tersebut didirikan pada tahun 1821. Logo PSIM merupakan makna peninggalan kesimbolan Jawa, yang menurut saya menandakan tahun berdiri," tambah pakar sejarah lulusan Universitas Gajah Mada (UGM) tersebut.

Info grafis PSIM Yogyakarta.

Dimaz mengatakan, PSIM merupakan satu-satunya tim diisi pribumi ketika itu. Hal itu seiring dengan paham Soeratin yang menyebut sepakbola sebagai alat perjuangan mengusir Belanda.

"Bukan karena rasis atau apa. Semangat PSIM ketika itu tidak mau dijajah. Kalau di Kesultanan Surakata lebih terbuka sama Belanda," kata Dimaz.

PSIM kemudian makin menggeliat di kompetisi sepakbola Indonesia dengan sistem Perserikatan ketika itu. PSIM akhirnya menjadi juara Perserikatan pada tahun 1932. Setelah itu, klub berjuluk Laskar Mataram tersebut menjadi runner up Perserikatan tahun 1939, 1940, 1941, 1943, dan 1948.

Saat itu, para pemain PSIM kebanyakan dihuni oleh klub amatir pribumi, khususnya dari Hizbul Wathan yang didirikan tahun 1946 dan PS Gama pada tahun 1949.

Seperti diketahui, sistem kompetisi Perserikatan memang setiap klub mengambil pemain dari para tim anggota yang memiliki kompetisi internal. Sama halnya seperti sistem Tim Nasional (Timnas) Indonesia yang mengambil pemain dari klub-klub Tanah Air.

Budaya dan Pengaruh Keraton Yogyakarta di PSIM

Seiring moncernya prestasi PSIM di era Perserikatan, budaya Keraton Ngayogyakarta juga berkembang di tubuh tim Laskar Mataram.

Dimaz mengungkapkan, ada budaya minta restu Sultan Hamengkubuwono yang sedang berkuasa saat sebelum PSIM terjun ke kompetisi. Lalu diikuti dengan budaya berziarah ke Imogiri (Makam Raja-Raja Mataram).

"Meminta restu kesultanan itu tradisi dari lama. Saya pernah melihat hal tersebut pada tahun 1992," kata Dimaz.

Hal tersebut juga tidak bisa dipungkiri oleh mantan pemain PSIM Yogyakarta era 1999-2011, Marjono.

"Ada budaya meminta restu ke Sultan. Ziarah ke Imogiri sebagai ritual leluhur. Kepercayaan masyarakat Jawa tidak boleh meninggalkan para leluhur," kata Marjono kepada INDOSPORT.

Para pemain dan ofisial PSIM Yogyakarta bertemu dengan Sultan Hamengkubuwono X.

Tak hanya budaya, Dimaz mengatakan bahwa ada persoalan pengaruh Keraton Yogyakarta dalam setiap pengambil keputusan terkait PSIM.

"Tahun 2006, PSIM sepakat kerja sama dengan Vilour, apparel dari Bandung. Saat itu, jersey PSIM ada lambang Parang Rusa dan Kusumo yang melambangkan ksatria buat berperang. Lambang tersebut tidak main-main dalam kesimbolan Keraton Yogyakarta. Saat itu, manajemen PSIM meminta restu Keraton Yogyakarta. Saya diceritakan oleh mantan General Manager PSIM, Ahmad Syauqi Suratno," ujar Dimaz.

Pergeseran Budaya dan Pengaruh Keraton Yogyakarta di PSIM

Dimaz menerangkan, budaya dan pengaruh Keraton Yogyakarta mengalami pergeseran. Keraton Yogyakarta sudah tidak mau lagi bekecimpung di dunia sepakbola, khususnya PSIM. Hal itu terjadi karena arahan profesionalisme yang bakal diterapkan klub-klub dunia bal-balan Tanah Air. 

"Sultan Hamengkubuwono IX dan X mencintai sepakbola, itulah yang saya cari tahu melalui orang dalam Keraton Yogyakarta. Hal itu dibuktikan kala Sultan Hamengkubuwono X memberi nasihat dalam pembentukan kekuatan PSIM terjadi saat menyeleksi pemain asing asal Kamerun, dengan posisi striker, gelandang, dan kiper. Hal itu terjadi pada tahun 1996. Sri Sultan bilang kalau kualitasnya (pemain asing) di atas anak-anak Yogyakarta silakan rekrut. Kalau tidak, buat apa," ujar Dimaz, yang merupakan pengepul arsip PSIM.

"Namun, saya melihat berjalannya waktu bahwa Sri Sultan melepas sepenuhnya PSIM untuk mandiri. Beliau juga merangkul PSS Sleman dan Persiba Bantul untuk berdiri sendiri (profesional). Budaya meminta restu Sri Sultan yang rutin dilakukan PSIM sebelum kompetisi, sudah tidak pernah dilakukan sejak tahun 2004. Terakhir kali pengaruh Keraton Yogyakarta ada di tubuh PSIM, ketika Gusti Prabu (adik Sultan Hamengkubuwono X) menjadi manajer pada musim 1996/1997," lanjut pria yang memiliki founder Komunitas Bawah Skor Mandala tersebut.

Piala Sultan Hamengkubuwono IX sedang diarak.

Marjono juga menceritakan pengalamannya sebagai pemain bahwa PSIM sudah lepas dari pengaruh dan budaya Keraton Yogyakarta.

"Keraton Yogyakarta sudah tidak mengurusi PSIM. Sepakbola terutama PSIM sudah dikelola oleh pemerintahan kota (pemkot) atau orang yang mengerti sepakbola," tambah Marjono.

Kisah PSIM Terlepas dari Keraton Yogyakarta

Dimaz menceritakan kisah PSIM usai dilepas Keraton Yogyakarta. PSIM kemudian dikelola oleh pemerintah kota (pemkot) hingga mandiri menjadi perusahaan.

"Klub-klub sepakbola di Yogyakarta dipegang oleh wali kota atau bupati sebagai pengayom. Pemain-pemain dijanjikan pekerjaan. Entah menjadi Pegawai Negeri Sipil (PNS) atau Swasta. Kalau di PNS sistemnya honorer terlebih dahulu," kata Dimaz.

"Contohnya Siswadi Gancis (kiper). Ia sempat masuk Timnas Indonesia 1985. Ia cadangannya Hermansyah. Saat ini, ia pegawai Bank BPD Yogyakarta. Ada juga pemain yang bekerja di Lembaga Permasyarakatan (LP) dan Perusahaan Daerah Air Mineral (PDAM). Hal itu hilang pada tahun 2008, seiring dengan profesionalisme klub-klub Indonesia," lanjut Dimaz.

Mantan kiper PSIM Yogyakarta, Siswadi Gancis.

Marjono membenarkan adanya janji jaminan pekerjaan saat itu. Ia merasakannya langsung dengan menjadi PNS Dinas Pasar Yogyakarta.

"Jatmiko (mantan kapten PSIM) menjadi panutan saya untuk melihat realistis bahwa masa depan harus ada pekerjaan yang layak selain menjadi pesepakbola. Ia sudah memperlihatkannya kala pensiun bekerja di PDAM Sleman," kata pria yang pensiun berumur 32 tahun tersebut.

"Awal saya mendapat pekerjaan PNS itu ketika membawa PSIM lolos ke play-off Divisi I Liga Indonesia. Banyak klub-klub besar yang berminat kepada saya dan teman-teman. Saya menyatakan tekad untuk bertahan di PSIM, asalkan diberi pekerjaan yang layak. Akhirnya, saya mendapat pekerjaan sebagai PNS Dinas Pasar Yogyakarta dari honorer terlebih dahulu. Saya diangkat jadi PNS baru pada tahun 2007," lanjut Marjono.

PSIM Yogyakarta saat berlaga di Indonesia Soccer Championship (ISC) B 2016 lalu.

Tak hanya segi manajemen klub, Dimaz juga menjabarkan kisah PSIM mampu meraih titel juara Divisi I Liga Indonesia 2005, hingga mengalami keterpurukan saat gempa Yogyakarta tahun 2006 dan terhentinya Divisi Utama Liga Indonesia tahun 2015 akibat konflik sepakbola nasional.

"Tahun 2005, PSIM mampu menjadi juara usai mengalahkan Persiwa Wamena 2-1 di Stadion Si Jalak Harupat, Bandung. Promosi ke Divisi Utama Liga Indonesia (kasta tertinggi) tahun 2006," ujar Dimaz.

"Sayang, gempa Yogyakarta tahun 2006 membuat PSIM mengundurkan diri dari Divisi Utama, karena memang segi finansial, infrastruktur, dan sosial membuat PSIM tidak dapat melanjutkan kompetisi," kata Dimaz.

"Saat kompetisi terhenti, para pemain mencari nafkah dengan cara bermain turnamen antar kampung (tarkam), jualan jus, bisnis burung hias, hingga bekerja di toko batik dan kebun binatang. Dimas Priambodo menjadi penjual jus, dan Andri Wirawan binis burung," tambah Dimaz.

PSIM saat ini tengah bersiap menyambut Liga 2 (kasta kedua kompetisi resmi di Indonesia). Tim Laskar Mataram tengah melakukan seleksi pemain hingga perekrutan armada asing. Semoga PSIM bisa berjaya di kompetisi Liga 2 nanti.

342