Liga 2

Persita Tangerang: Ujian Berat Pendekar Cisadane

Jumat, 13 Oktober 2017 09:00 WIB
Penulis: Muhammad Adiyaksa | Editor: Galih Prasetyo
© Grafis: Eli Suhaeli/INDOSPORT
Logo Persita Tangerang. Copyright: © Grafis: Eli Suhaeli/INDOSPORT
Logo Persita Tangerang.

Buntut keributan antar-suporter, Rabu (12/10/17) salah seorang pendukung Persita Tangerang, Banu, meninggal dunia. Dia tewas setelah mengalami sobek pada bagian kepala.

Peristiwa itu menjadi rentetan fakta buruk Persita di musim ini. Tim berjuluk Pendekar Cisadane tersebut acap kali melewati perjalanan yang tidak mulus.

Sejak musim 2012, Persita tidak bisa lagi berkandang di Stadion Benteng, Tangerang, yang dianggap kurang layak menggelar suatu pertandingan profesional. Bahkan kabarnya, pihak kepolisian setempat juga menahan izin pertandingan sepakbola di Tangerang. Alhasil, Pendekar Cisadane harus menjadi tim yang musafir.

© Muhammad Adiyaksa/INDOSPORT
Aksi suporter masuk lapangan di laga Persita Tangerang vs PSMS Medan. Copyright: Muhammad Adiyaksa/INDOSPORTAksi suporter masuk lapangan di laga Persita Tangerang vs PSMS Medan.

Tercatat sedikitnya dalam lima musim ke belakang, Persita pernah menggunakan tujuh stadion sebagai homebase mereka. Sebut saja Stadion Singaperbangsa Karawang, Stadion Mashud Wisnu Saputra Kuningan, Stadion Jatidiri Semarang, Stadion Siliwangi Bandung, Stadion Sultan Agung Bantul, Stadion Maulana Yusuf Serang, dan Stadion Mini Persikabo Bogor.

Menjadi tim yang berpindah-pindah kandang membuat prestasi Persita naik turun. Terakhir, Pendekar Cisadane merasakan berkompetisi pada level tertinggi yaitu pada musim 2014 lalu. Kini, sudah dua tahun Persita mendekam di kasta kedua Liga Indonesia.

Musim 2017 dilalui Persita dengan keyakinan. Mempertahankan muka-muka lama menjadi buktinya. Bambang Nurdiansyah atau Banur tetap dipercaya menjadi pelatih kepala. Pemain-pemain senior seperti Egi Melgiansyah dan Rahmat Affandi saling bahu-membahu bersama wonderkid Aldi Al Achya.

Hasilnya, Persita menjadi penguasa Grup 2 Liga 2. Pendekar Cisadane melaju ke babak 16 besar dengan status juara grup.  Pada babak 16 besar, Persita tergabung ke dalam Grup B bersama PSIS Semarang, PSMS Medan, dan Persibat Batang. Pendekar Cisadane seperti kehabisan tenaga pada fase ini.

Entah mengapa, Persita seperti tidak memberikan perlawanan pada babak 16 besar. Sontak, Pendekar Cisadane menjadi bulan-bulanan tim lain. Menjadi juru kunci grup, armada Banur hanya meraih empat poin hasil dari satu kemenanan, satu seri, dan empat kekalahan.

Hasrat pendukung Persita, Laskar Benteng Viola (LBV) untuk melihat klub kebanggaannya promosi ke Liga 1 harus dikubur dalam-dalam. Persita kembali harus berkutat pada kasta kedua Liga Indonesia di musim depan.

Kompetisi 2017 ditutup Persita dengan musibah. Pada partai terakhir Grup B babak 16 besar menghadapi PSMS, Rabu (11/10/17) di Stadion Mini Persikabo, Kabupaten Bogor, seorang LBV tewas setelah diamuk oleh pendukung PSMS berambut cepak. Banur meninggal setelah mengalami sobek pada bagian kepala.

© Grafis: Eli Suhaeli/INDOSPORT
Persita Tangerang berduka. Copyright: Grafis: Eli Suhaeli/INDOSPORTPersita Tangerang berduka.

Lantas, siapa yang patut disalahkan atas peristiwa ini? Suporter Persita sudah kadung menginginkan timnya untuk bermain di level teratas Liga Indonesia. Perjuangan untuk promosi telah banyak mengorbankan nyawa. Bahkan pada musim ini saja, sedikitnya tiga suporter Pendekar Cisadane wafat saat mendukung timnya berlaga.

Persita patut berteriak keras kepada federasi sepakbola Indonesia dan operator kompetisi. Sudah tidak bisa menggelar laga kandang di kota sendiri, mereka juga harus kehilangan beberapa nyawa pendukung. Persita sudah selayaknya menyebut mereka sebagai klub yang terdzolimi.

142