In-depth

Serial Liga Indonesia Tanpa Klimaks: Hegemoni Semu Pelita Jaya 1997-1998

Selasa, 2 Februari 2021 19:05 WIB
Editor: Indra Citra Sena
© Tabloid Bola
Serial Liga Indonesia Tanpa Klimaks: Hegemoni Semu Pelita Jaya 1997-1998. Copyright: © Tabloid Bola
Serial Liga Indonesia Tanpa Klimaks: Hegemoni Semu Pelita Jaya 1997-1998.

INDOSPORT.COM - Sepak bola Indonesia belum lama ini mengalami musibah. Liga 1 2020 yang terus-menerus ditunda kelanjutannya akibat terdampak pandemi virus corona akhirnya dibubarkan oleh PSSI pada Rabu (20/1/21).

Keputusan ini sejatinya mengulang peritiwa serupa di masa lampau, meski dengan alasan berbeda. Setidaknya Liga Indonesia pernah dua kali bubar sebelum 2020, antara lain edisi 1997-1998 (situasi politik) dan 2015 (campur tangan Kemenpora).

Kali ini, INDOSPORT berupaya menelusuri dan membahas kembali peristiwa pembubaran Liga Indonesia 1997-1998 yang notabene mengubur mimpi juara salah satu klub mapan Tanah Air kala itu, Pelita Jaya.

Sekadar mengingatkan, Pelita Jaya tergolong salah satu raksasa di era 1990-an karena materi skuatnya kerap bertabur bintang. Klub kepunyaan Bakrie Group ini juga berpredikat Raja Galatama berkat koleksi tiga  titel juara, rekor terbanyak bersama NIAC Mitra.

Sayang, Pelita Jaya seperti kehilangan spirit juara begitu sepak bola Indonesia memasuki era profesional pasca-peleburan Persikatan-Galatama pada 1994. Mereka selalu gagal menembus jajaran elite, bahkan sekadar semifinalis sekali pun nihil.

Padahal, Pelita Jaya sempat dua kali menghebohkan dunia sepak bola dan disorot media asing lantaran merekrut dua bintang Piala Dunia berbeda generasi, yakni Roger Milla (1994-1995) dan Mario Kempes (1995-1996).

Prestasi Pelita Jaya di tiga edisi awal era profesional Liga Indonesia (1994-1997) sebatas lolos ke fase gugur, masing-masing babak 8 Besar (1994-1995 dan 1995-1996) serta 12 Besar (1996-1997). Seluruhnya gagal berlanjut ke semifinal, apalagi final.

Memasuki edisi 1997-1998, Pelita Jaya kembali mencoba peruntungan juara dengan materi skuat mewah yang berisikan pemain-pemain beken kombinasi lokal dengan asing.

Siapa tak kenal Kurnia Sandy, I Made Pasek Wijaya, Bima Sakti, Aples Tecuari, Indriyanto Nugroho, Eko Purdjianto, dan Ansyari Lubis? Nama-nama tersebut belum termasuk wonderkid Indonesia yang kala itu sangat dielu-elukan, Kurniawan Dwi Yulianto.

Masih kurang? Pelita Jaya juga diperkuat tiga pemain asing berkualitas nomor satu. Siapa lagi kalau bukan Emmanuel Maboang Kessack, Carlos De Mello, dan Dejan Glusevic.

Maboang Kessack merupakan personel skuat Kamerun di dua edisi Piala Dunia (1990 dan 1994), sementara Dejan Glusevic dan Carlos De Mello pernah menjuarai Liga Indonesia bareng klub terdahulu.

Dejan Glusevic diketahui merengkuh trofi juara Liga Dunhill 1995-1996 plus Sepatu Emas (top skor: 30 gol) bersama Bandung Raya, sementara Carlos De Mello melakukannya di Persebaya Surabaya berselang semusim kemudian (Liga Kansas 1996-1997).

Hasilnya, Pelita Jaya langsung tancap gas sejak awal musim. Mereka tergabung di Grup Tengah (Liga Indonesia 1997-1998 memakai format zonasi 3 wilayah) bersama tim-tim kuat tradisional seperti Persib Bandung, PSMS Medan, dan PSIS Semarang.

Kekuatan utama Pelita Jaya 1997-1998 terletak pada produktivitas lini depan yang ditempati duet maut Dejan Glusevic-Kurniawan Dwi Yulianto. Keduanya sangat ganas dalam mengoyak jala gawang lawan, terutama Si Kurus (panggilan Kurniawan).

 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 

A post shared by TABLOID BOLA (@tabloid_bola)

Ada pun penampilan terbaik duet maut ini tersaji dalam pertandingan pekan ke-13 kontra PSDS Deli Serdang, 23 April 1998. Duel menghibur yang berlangsung di Stadion Lebak Bulus itu berujung skor telak 8-1!

Kurniawan Dwi Yulianto memborong empat gol, sedangkan Dejan Glusevic mengukir hattrick. Satu sumbangsih lain berasal dari aksi Alexander Pulalo.

Total Kurniawan mengemas 20 gol hanya dalam 14 pertandingan bersama Pelita Jaya musim itu. Rasionya sangat tidak masuk akal dan mustahil dilampaui, bahkan untuk sekadar disamai oleh pemain lain sekali pun (1,43 gol per laga).

Di sisi lain, tandemnya, Dejan Glusevic, mencetak sembilan gol. Total produktivitas kedua striker pembawa mimpi buruk bagi para bek lawan ini mencapai 29 gol alias 80 persen dari keseluruhan produktivitas Pelita Jaya hingga merampungkan 14 pertandingan (36 gol).

Kenapa hanya 14 pertandingan? Alasannya apa lagi kalau bukan keputusan PSSI membubarkan Liga Indonesia akibat akumulasi dari berbagai problem, mulai dari situasi keamanan dalam negeri (kerusuhan 1998) dan skandal mafia wasit dan pengaturan skor.

"Membubarkan Liga Indonesia 1997-1998 adalah keputusan yang mahasulit, tapi harus dilakukan setelah melalui musyawarah demokratis," kata Ketua Umum PSSI kala itu, Azwar Anas, sebagaimana dilansir buku "Sepak Bola Indonesia - Alat Perjuangan Bangsa" terbitan PSSI 2010. 

Alhasil, mesin Pelita Jaya yang tengah terbakar di suhu paling tinggi pun harus dimatikan secara paksa. Kurniawan dkk. gigit jari lantaran kehilangan peluang emas menjuarai Liga Indonesia.

Mengacu pada klasemen akhir pasca-keputusan PSSI membubarkan liga, 25 Mei 1998, Pelita Jaya barangkali hanya menduduki posisi runner-up di bawah PSMS Medan.

Namun, jumlah pertandingan klub yang identik dengan seragam merah ini lebih sedikit dibandingkan PSMS (16), sementara perolehan poin kedua tim cuma berselisih tiga.

Besar kemungkinan Pelita Jaya menjuarai sekaligus meraih trofi perdana Liga Indonesia mereka di musim itu, tapi skuat mewah ditambah rekor gol fantastis terasa sia-sia hanya karena kompetisi dibubarkan.

Kiprah Pelita Jaya di Liga Indonesia 1997-1998 akan selamanya dikenang sebagai hegemoni semu tanpa adanya makhota. Sungguh apes nasib mu oh Pelita.