x

Dosa Frank Lampard yang Nodai Bakat Emas Kai Havertz

Senin, 11 Januari 2021 11:09 WIB
Editor: Zulfikar Pamungkas Indrawijaya
Pemain Chelsea, Kai Havertz dan pelatih Chelsea Frank Lampard.

INDOSPORT.COM – Banyak yang menduga bahwa Kai Havertz gagal bersinar di Chelsea karena tak mampu cepat beradaptasi dengan sepak bola Inggris. Namun di balik itu, terdapat dosa Frank Lampard yang menodai kiprah sang wonderkid sebagai salah satu talenta terbaik abad ke-21.

Nama Havertz menjadi perbincangan sejak beberapa tahun terakhir. Hal ini tak lepas dari kiprahnya yang memang fantastis bersama Bayer Leverkusen.

Sejak melakukan debutnya pada usia 17 tahun pada 2016 silam, secara perlahan Havertz menancapkan namanya sebagai talenta terbaik muda Jerman dan salah satu talenta terbaik di muka bumi.

Baca Juga
Baca Juga

Penahbisan status tersebut tak lepas dari gaya bermainnya yang elegan serta torehan gol dan assist yang tak masuk akal bagi para pemain muda.

Tercatat sejak debutnya pada 2016 silam hingga musim 2019/20 bersama Leverkusen, 46 gol dan 31 assist dicetaknya dalam 150 penampilan. Jika dihitung dengan rinci, maka Havertz selalu berkontribusi lewat gol dan assistnya setiap dua pertandingan yang ia mainkan.

77 gol dan assist di level profesional yang ia buat hingga berusia 21 tahun tersebut menjadi salah satu bukti mengapa Havertz ditahbiskan sebagai talenta terbaik Jerman. Selain dari angka, gaya bermainnya sendiri pun menjadi cerminan bakat di dalam dirinya.

Baca Juga
Baca Juga

Gaya permainan Havertz terbilang elegan. Bahkan pelatih sekelas Ralf Rangnick menyebut wonderkid Chelsea ini sebagai jelmaan Johan Cruyff. Sebuah sematan yang tak main-main jika mengingat betapa melegendanya pemain tersebut.

“Saya tak ragu dia (Havertz) akan sukses dan menjadi salah satu pemain top dalam beberapa tahun ke depan. Saya mencoba merekrutnya saat di RB Leipzig. Saya tak melihat kelemahan di gaya bermainnya. Dia adalah Johan Cruyff modern,” ujar Rangnick.

Banyaknya sanjungan dan prestasi itu nyatanya perlahan dilupakan. Apalagi setelah melihat melempemnya performa Kai Havertz usai ditransfer oleh Chelsea pada musim panas 2020. Bahkan sematan ‘Flop’ atau gagal pun mampir di tahun pertamanya bersama The Blues.


1. Runtuhnya Status Kai Havertz di Tangan Frank Lampard

Duel Kai Havertz and Luuk de Jong dalam laga Liga Champions Chelsea vs Sevilla

Banyak yang menduga melempemnya Kai Havertz karena kesulitan adaptasi dengan sepak bola Inggris. Namun di balik itu, ada dosa Frank Lampard yang terus menutup sinarnya sebagai talenta terbaik Jerman.

Saat pertama kali tiba ke Chelsea, Havertz dengan bangga menyebut dirinya senang akan dilatih oleh Lampard. Pasalnya, saat masih aktif bermain, pelatih berusia 42 tahun tersebut merupakan gelandang subur, yang kurang lebih bertipikal sama dengannya.

“Tentu saja dia (Lampard) berdampak besar pada keputusan saya (pindah ke Chelsea) karena saya mencintainya sebagai pemain dan sangat sering menontonnya, dan saya pikir saya bisa belajar darinya langsung apalagi ia adalah seorang manajer juga,” ujar Havertz.

Namun, harapan tak seindah kenyataan. Malahan dalam melatih Chelsea dan menerapkan formasi, Lampard malah meredupkan pamor Havertz yang telah bersinar terang di Leverkusen.

Hingga Liga Inggris 2020/21 memasuki pertengahan musim, Havertz telah tampil sebanyak 15 kali baik sebagai starter dan pemain pengganti. Dalam jumlah tersebut, ia ‘hanya’ mencetak satu gol dan dua assist saja.

Jika ditelisik lebih jauh, melempemnya kontribusi gol Havertz bersama Chelsea tak lepas dari peranan Lampard yang memainkannya lebih ke dalam (bertahan) pada formasi 4-3-3.

Hal ini terlihat dari statistik Havertz selama di Chelsea sejauh ini. Bermain sebagai gelandang bernomor 8 bersama Mason Mount, Havertz menanggalkan statusnya sebagai gelandang subur.

Di Leverkusen, Havertz mendapat porsi untuk memenuhi instingnya dalam menyerang dan mencetak gol dengan menempati posisi nomor 10 dalam skema 4-2-3-1.

Dalam 2500 menit lebih penampilan bersama Leverkusen musim lalu, Havertz menghabiskan 57 persen di antaranya di posisi bernomor 10 dan 20 persen sebagai penyerang.

Sedangkan di Chelsea, dalam 845 menit total bermain yang ia dapatkan sejauh ini, Lampard memaksa Havertz bermain lebih ke dalam dalam skema  4-3-3 di mana ia menghabiskan 38 persen waktu bermainnya tersebut dengan bermain sebagai gelandang tengah.

Dosa Lampard kepada Havertz pun kian terlihat dari statistik lainnya. Saat bermain bagi Leverkusen, Havertz tak dituntut untuk bertahan dengan rataan tekel 0.95 per 90 menit, 0.07 intersep per 90 menit dan 0.99 blok per 90 menit.

Sedangkan di Chelsea, statistik Havertz dalam bertahan meningkat drastis di mana ia membuat rataan 1.54 tekel per 90 menit, 0.77 intersep per 90 menit dan 1,87 blok per 90 menit. (Sumber: The Athletic)

Statistik Havertz dalam Bertahan Tekel/90 Menit Intersep/90 Menit Blok/90 Menit
Chelsea (2020/21) 1,54 0.77 1,87
Bayer Leverkusen (2019/20) 0,95 0,07 0,99

Perannya untuk sedikit bertahan pun membuat Havertz harus mengorbankan statistiknya dalam menyerang. Baik rataan sepakan, umpan kunci dan peluang untuk melepaskan tembakan miliknya menurun drastis bersama Chelsea.

Catatan-catatan tersebut kian membuktikan bahwa Lampard telah menodai status Havertz sebagai talenta terbaik Jerman. Lucunya lagi, dalam formasi dua pemain bernomor 8 di skema 4-3-3, Havertz dipaksa sedikit bertahan untuk memberi keleluasaan kepada Mason Mount dalam menyerang.

Bisa dikatakan, Lampard memberi kebebasan kepada Mason Mount untuk menjadi otak serangan dengan mengorbankan Havertz yang di atas kertas memiliki statistik mentereng ketimbang jebolan akademi Chelsea tersebut.

Satu hal yang pasti, apa yang dilakukan Frank Lampard bisa saja menjatuhkan kepercayaan diri Kai Havertz. Setidaknya, harus ada perubahan skema dan gaya bermain jika Chelsea ingin melihat salah satu transfer termahalnya tersebut sukses di Stamford Bridge.

ChelseaFrank LampardBayer LeverkusenIn Depth SportsLiga InggrisWonderkidUlasan TaktikSepak BolaKai HavertzRalf Rangnick

Berita Terkini