Oase

Banyak Kelemahan, UU Pendidikan Kedokteran Mendesak Direvisi

Kamis, 25 Juli 2019 10:14 WIB
Penulis: Arum Kusuma Dewi, Shintya Maharani | Editor: Irfan Fikri
© Shintya Anya Maharani/INDOSPORT
Potret situasi Rapat Dengar Pendapat Umum Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia dengan Komisi X DPR RI, Senin (22/07/19) Copyright: © Shintya Anya Maharani/INDOSPORT
Potret situasi Rapat Dengar Pendapat Umum Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia dengan Komisi X DPR RI, Senin (22/07/19)

INDOSPORT.COM – Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia (PB IDI) mendesak agar Undang-undang (UU) Pendidikan No 20 Tahun 2013 tentang Pendidikan Kedokteran (Dikdok) segera direvisi menyusul banyaknya kelemahan dan celah dalam UU tersebut.

Oleh karena itu, Senin (22/07/19) bertempat di Ruang Sidang Komisi 10, Nusantara 1, Gedung DPR RI Senayan, Jakarta, PB IDI datang ke Komisi 10 untuk melakukan Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) dan memberikan masukan juga mengajukan adanya revisi pada UU tersebut.

Berbincang dengan khusus dengan INDOSPORT, dr. Farabi El Fouz, seorang Dokter Spesialis Anak yang juga tergabung dalam IDI menuturkan keterangan yang lebih lengkap.

“Intinya, dari IDI sendiri ingin ada revisi dari UU Dikdok ini, karena IDI merasa tidak dilibatkan dalam pembuatan UU tersebut sehingga kami melihat banyak kekurangan di sana, akhirnya kami sekarang mengajukan rancangan untuk perubahannya,” tutur Farabi.

Farabi melanjutkan, dalam RDPU kali ini bahwa perlu kerja sama dari banyak pihak untuk penyelesaian masalahnya.

“Sebetulnya banyak pihak yang harus dilibatkan, tidak hanya Kementerian Kesehatan (Kemenkes) dan Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi (Kemenristekdikti) saja, tetapi Kementerian Hukum dan HAM (Kemenkumham) lalu Kementerian Keuangan (Kemenkeu) juga diikutsertakan,” ujar Farabi.

“Memang perlu pembahasan lintas sektoral, tidak hanya di sini saja (Komisi X DPR RI) tapi juga harus ke Komisi IX kan yang membidangi kesehatan dan ketenagakerjaan,” imbuhnya.

Salah satu kekurangan UU Dikdok ini ada dalam Pasal 8 ayat 3, yang menyebut program dokter layanan primer (DLP) merupakan kelanjutan dari program profesi dokter dan program internsip yang setara dengan program dokter spesialis. 

Program DLP inilah yang dinilai masih membingungkan para tenaga medis, sebagaimana diutarakan pakar kesehatan dan gizi, dr Tan Shot Yen kepada INDOSPORT.

"Dari dulu (DLP) ribut karena tidak jelas spesialisasinya apa. Di luar negeri pun tidak ada kan Sp.DLP. Pengkhususan minatnya apa? Dibilang spesialis bedah, bukan. Dibilang spesialis kebidanan kandungan, apalagi."

"Ya jelas organisasi profesi ributlah karena di lapangan nanti terjadi tabrakan layanan fungsional," terang dr Tan.

Selain soal DLP, topik lain yang disinggung dalam rapat dengar UU DIkdok ini adalah anggapan Indonesia belum menjadi negara tujuan berobat para medical traveller. Dr Farabi menyayangkan adanya anggapan tersebut.

"Perlu saya garis bawahi  bahwa dokter di Indonesia sudah sangat mumpuni, hanya saja pengetahuan masyarakat awam masih terbatas," tutur dr Farabi.

"Indonesia ini dokternya hebat-hebat sekali, tidak perlu ke luar negeri, cukup datang ke Rumah Sakit tipe A karena mumpuni dan sudah terakreditasi, maka selesai masalahnya."

Sementara dr Tan beranggapan Indonesia tidak perlu ngoyo dalam membangun medical tourism.

"Mengapa kita justru tidak mengedepankan healthy travelling karena kita sumber segala bahan alam pangan terbaik, punya area wisata yang indah dan menenangkan jiwa, punya keragaman budaya tempat menggali toleransi."

Setidaknya berdasakan rangkuman INDOSPORT menurut PB IDI, ada 8 titik kelemahan UU Dikdok:

1. Tidak mengatur pembukaan dan penutupan FK sehingga diduga banyak terjadi penyimpangan dalam pembukaan FK baru.

2. Pengaturan Rumah Sakit pendidikan bertentangan dengan pelayanan JKN, setidaknya tidak mendukung operasional BPJS.

3. Di dalam UU Dikdok tidak ada pasal yang mengatur tentang pengawasan fungsional FK sehingga terjadi celah yang menganga dalam dispalitas kualitas pendidikan

4. UU ini tidak mengakomodasi subsistem pemerataan distribusi dokter di Indonesia sehingga masyarakat kesulitan mendapatkan akses pelayanan kesehatan. Fakta lapangan menunjukkan ada sekitar 3000 puskesmas yang tidak ada dokter padahal produksi dokter telah mencapai 10-13 ribu orang pertahun.

5. UU Dikdok tidak mendukung konsep komprehensi kesehatan wilayah.

6. Tidak sesuai dengan filosofi pendidikan kedokteran yang dianut oleh 3000 FK yang terhimpun dalam World Federation Of Medical Education (WFME) yang terdiri Basic Medical Educational, Postgraduate Medical Education dan Continuing Professional Development Of Medical Doctors (CPD) atau Pendidikan dan Pelatihan Kedokteran Berkelanjutan (P2KB) dan Post Graduate Education (PGE) atau Pendidikan Spesialis yang belum diatur dalam UU Dikdok.

7. UU ini tidak memperhatikan potensi dan peran serta pemerintah daerah dalam pengembangan FK, sehingga Pemda dan FK berjalan sendiri-sendiri.

8. Pendidikan Spesialis tidak diatur di dalam UU Dikdok sehingga menghambat dinamika pengembangan.

Beda Pendapat di Parlemen

Di sisi lain, MY Esti Wijayati, Anggota DPR Komisi X Fraksi PDIP Perjuangan menyatakan bahwa banyak perbaikan yang dilakukan tanpa harus mengubah UU yang sudah ada.

“Baru-baru ini kami menerima suatu kelompok dari dokter yang tidak menyetujui atau sangat mendukung adanya Dokter Layanan Primer (DLP) tanpa harus mengubah undang-undang. Bahkan ketika mengatakan perubahan UU, seperti tadi yang saya sampaikan di rapat kerja bahwa akan ada superbody terhadap beberapa organisasi tadi,” ujarnya.

Dokter Layanan Primer atau DLP adalah profesi baru yang disisipkan dalam UU Dikdok, yang menurut IDI bertentangan dengan dua UU, yakni UU Praktek Kedokteran dan UU Pendidikan Tinggi. Meski begitu, Esti mengungkapkan rancangan revisi UU Dikdok yang dipaparkan oleh IDI bermuatan cukup relevan.

“Saya kira muatannya cukup bagus berkaitan dengan uji kompetensi, lalu persoalan penilaian terhadap hadirnya fakultas atau prodi baru di kedokteran harus ada penilaian, dan juga pembahasan bahwa tidak hanya pemerintah pusat tapi pemerintah daerah harus dilibatkan di dalam memberikan fasilitas untuk keberadaan fakultas kedokteran,” pungkasnya.

Berbeda dengan Esti Wijayati, Ketua Komisi X DPR RI Djoko Udjianto justru mengatakan UU Dikdok ini sudah tidak relevan dengan perkembangan zaman.

“Kami menerima masukan perubahan UU ini untuk memperbaiki sistem pendidikan kedokteran dan menciptakan kelulusan dokter yang dipandang di mata internasional nantinya."

"Jadi, kita berharap pemerintah menyediakan sarana prasarana yang memadai menghadapi revolusi 4.0 ini," jelas Djoko.