In-depth

Polemik eSports Jadi Mata Pelajaran di Bangku Sekolah

Senin, 12 Agustus 2019 17:41 WIB
Penulis: Annisa Hardjanti, Matheus Elmerio Giovanni | Editor: Ivan Reinhard Manurung
 Copyright:

INDOSPORT.COM - Menteri Pemuda dan Olahraga, Imam Nahrawi mengutarakan niatnya untuk memasukkan olahraga elektronik atau eSports ke dalam kurikulum pendidikan di sekolah. Tentu saja komentar ini bakal mengundang pro dan kontra. 

“Pelajar saya kira harus dibuka kurikulum tentang pengetahuan eSports ini secara formal,” kata Imam di Aula Serbaguna Kementerian Sekretariat Negara, 28 Januari 2019 lalu. 

Gagasannya itu bukan tanpa alasan, Imam meyakini bahwa ide ini nantinya akan mampu mencetak atlet-atlet masalah depan di cabang olahraga eSports.

Polemik atas komentar ini pun muncul. Bagi sebagian siswa rencana ini mereka anggap positif. Demam eSports atau olahraga elektronik seperti Mobile Legends, Arena of Valor, PUBG, Clash Royale, Hearthstone, StarCraft 2, PES 2018, Dota 2, dan lainnya sangat digandrungi oleh banyak anak didik Indonesia.

Ada yang menyebutnya sebagai sebuah terobosan dalam dunia pendidikan, ada pula yang menilai wacana itu hanya akan membebani siswa.

Respons para siswa pun beragam. Andrew Danis, siswa SMAN 5 Depok mengatakan bahwa eSports bisa membawa banyak dampak positif pada siswa, misalnya melatih konsentrasi dan kerja sama dan mengasah kepedulian.

"Di game eSports, kita diajarkan buat belajar solid, harus peduli sama rekan satu tim yang lain. Kita juga dilatih untuk bisa lebih kontrol diri, enggak gampang emosi," ucap siswa tersebut seperti dilansir dari laman berita olahraga Antara.

Sementara Rakha Fadhilah, siswa SMAN 9 Tangerang, berpendapat memasukkan eSports dalam kurikulum juga akan bisa menekan perilaku negatif siswa seperti tawuran ataupun menggunakan obat-obatan terlarang.

"Jadi yang tadinya suka ngumpul-ngumpul enggak jelas buat tawuran, sekarang bisa lebih terarah gitu kan, mereka beralih jadi bermain gim. Itu bagus sih, jadi lebih positif," kata Rakha, yang saat ini duduk di Kelas XI.

Awas Kecanduan

© Fitra Herdian/INDOSPORT
Yana (memakai topi), saat mengikuti kompetisi eSport bersama temannya. Tampak bedak gatal sudah tersedia di depannya. Copyright: Fitra Herdian/INDOSPORTSuasana kompetisi eSports.

Psikolog anak dan remaja Ratih Zulhaqqi mengatakan bermain eSports dalam waktu lama dapat menyebabkan kecanduan pada anak. Dia menyebut dampak kecanduan yang timbul bisa menyerupai ketagihan narkoba.

"Mungkin efeknya mirip narkoba ketika mereka sudah menutup tontonan (game), tetapi mereka tetap memikirkan itu, sehingga akhirnya mereka selalu mengakses ke situ, sampai melupakan apa yang harus mereka lakukan," ujar Ratih. 

Ratih mengatakan tingkat kecanduan pada level seperti itu sudah tergolong berbahaya, terutama bagi anak-anak dan remaja, karena dapat memicu emosi yang tidak stabil serta mempengaruhi nilai akademik anak di sekolah.

Ketua Umum Indonesia eSports Association (IeSPA) Eddy Lim menanggapi. Menurutnya, masyarakat tidak perlu terlalu gaduh menyikapi gagasan Menteri Pemuda dan Olahraga memasukkan eSports ke kurikulum.

Wacana tersebut, menurut dia, mestinya dilihat sebagai upaya positif untuk mendukung pengembangan pendidikan siswa.

"Yang pasti itu bukan mengajak orang untuk bermain game. Kalau ajak orang bermain game, tidak perlu dimasukkan dalam kurikulum, kita larang orang juga akan main dengan sendirinya. Jadi kalau dimasukkan dalam kurikulum itu lebih kepada pembentukan sumber daya manusia untuk industri eSports ke depannya," kata Eddy

Eddy melihat gagasan tersebut sebagai upaya pemerintah untuk membangun ekosistem industri eSsports di Indonesia.

“Kalau eSports diajarkan dalam kurikulum itu berupa bisnis atau ekonomi, misal menjadi event organizer atau programmer membuat game, itu kenapa tidak boleh? Itu bisa diajarkan lewat bisnis atau ekonomi," tambah dia.

Terlalu Berlebihan?

© Kemenpora
Menpora bersama Tim Esport Indonesia Pro Evolution Soccer Copyright: KemenporaRencana Menpora untuk menjadikan eSports ke kurikulum pendidikan Indonesia masih perlu dikaji ulang.

Pertanyaan besarnya, seberapa penting memangnya eSports untuk sampai mendapatkan tempat di tengah dunia pendidikan formal Indonesia?

Lalu, apakah instrument pendidikan negeri ini sudah cukup siap untuk mengarahkan para siswa ketika eSports kini sama halnya seperti mata pelajaran lainnya?

Kepada redaksi berita olahraga INDOSPORT, Koordinator Nasional Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI) Ubaid Matraji melihat gagasan tersebut lebih sebagai beban, baik bagi siswa maupun sekolah. 

“Makin majemuk itu kurikulum dan membebani siswa,” ujar Ubaid.

Ia meyakini bahwa dengan kondisi tersebut, tentunya hasil yang diharapkan dari gagasan tersebut bakal tak maksimal. Menurut Ubaid, siswa saat ini sudah dibebani dengan begitu banyak mata pelajaran. Jika eSports sampai harus dimasukkan ke dalam kurikulum, dirinya menilai hal ini terlalu dipaksakan. 

“Kalau masuk kurikulum, itu terlalu berlebihan. Ya, mungkin masuk ekstrakulikuler, peminatan khusus, yang punya minat khusus ke eSports, itu boleh,” jelasnya. 

Memang membutuhkan perencanaan yang matang bagi pemerintah untuk mengambil langkah sejauh itu, melihat ketidaksiapan pendidikan dalam melibatkan kurikulum berbasis IT. 

Ubaid mengambil contoh lewat Ujian Nasional (UN) berbasis komputer yang diterapkan oleh pemerintah beberapa waktu lalu yang ternyata terlalu membebani siswa.

“Lihat saja Ujian Nasional berbasis komputer, di lapangan saja berantakan karena banyak siswa tidak punya komputer, akibatnya pungli muncul karena siswa harus beli komputer,” kata dia.

Meski jika nantinya gagasan itu menjadi kenyataan, tampaknya bukan Menpora yang bakal berpikir lebih keras, melainkan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Indonesia. 

Pasalnya, ada begitu banyak kajian yang mesti dilakukan untuk membawa eSports ambil bagian dalam kurikulum pendidikan di negeri ini. Salah satunya adalah guru. 

Sebagai tenaga pengajar, penting bagi mereka untuk dapat membuat siswanya memahami materi yang disampaikan di dalam kelas.  

Berdasarkan data Kemendikbud tahun 2018, hanya 40 persen guru non-teknologi di Indonesia yang memahami penggunaan teknologi. 

“Banyak guru-guru di sekolah itu belum bisa memakai teknologi dengan tepat. Sekolah-sekolah sendiri fasilitasnya juga tidak rata di Indonesia,” kata Ubaid.

Ubaid sendiri melihat ekstrakurikuler menjadi wadah yang pas dan seharusnya dipilih oleh pemerintah dalam mengembangkan eSports lebih luas lagi di Indonesia. 

“Sepak bola saja tidak masuk kurikulum kan. Jika berminat, bisa digali lebih dalam lewat ekstrakurikuler saja,” ujarnya. 

Lebih dari itu, pada dasarnya, eSports sendiri cukup menjadi bagian dari pengetahuan dalam pelajaran olahraga, layaknya cabang olahraga lainnya, seperti basket dan bulutangkis.

“Jika memang siswa ada ada passion ke sana, bisa diikutkan ke ekstrakurikuler atau komunitas yang semacamnya,” katanya lagi.

Pemerintah saat ini memang melihat bahwa dunia pendidikan, terutama sekolah sebagai instrument yang cukup dekat dengan anak-anak.

Ketertarikan game sendiri memang berkembang di tengah anak-anak. Agar lebih terarah, eSports pun masuk direncanakan masuk ke dalam kurikulum Pendidikan di Indonesia.

Namun sebenarnya, ada banyak wadah selain sekolah yang bisa dimanfaatkan oleh pemerintah. Pembangunan sport center khusus untuk eSports misalnya, bisa jadi jalan keluar ketimbang memasukkannya ke dalam kurikulum mendidikan, dan malah justru mengundang kontroversi tersendiri.