Air Mata Akhir Hayat Atlet Kesayangan Ir. Soekarno
Gurnam Singh memang tak lagi tenar di era kini. Namun siapa sangka, pria Punjab yang menghabiskan usianya sebagai warga negara Indonesia ini dijuluki sebagai pria tercepat se-Asia di era 60-an.
Sebagai duta bangsa di setiap even skala Internasional yang menyumbang segudang prestasi, tentu saja yang terlintas di benak, Gurnam adalah sosok penting yang bakal dihargai di negeri tercinta ini.
Namun, kenyataan ternyata tak seindah yang dibayangkan. Gurnam harus melalui sisa-sisa harinya di bawah bayang-bayang kemiskinan hingga akhir menutup mata.
Kisah itu pun terkuak kala INDOSPORT mencari rekam jejak perjalanan Gurnam Singh lewat pengakuan langsung anak bungsunya yang ditemui, Senin (1/1/2018) siang.
Butuh beberapa waktu untuk mendapatkan informasi akurat mengenai keluarga kandung Gurnam Singh yang sempat hilang bak ditelan zaman.
Beruntung, Sarjit Singh anak bungsu dari empat bersaudara itu berhasil ditemui di salah satu sekolah swasta Kalsa yang dikelola oleh komunitas Sikh, di kawasan Patimura Medan.
Pria 46 tahun yang kini hidup menumpang di salah satu ruang kelas bersama kedua putrinya itu coba merajut kembali kenangan akan sang ayah.
Sarjit mengaku, sepeninggal Ayah Kandungnya yang menghembuskan nafas terakhir pada 8 Desember 2006 silam tepat Jumat malam pukul 22.00 WIB, banyak kisah getir yang tertinggal dan membekas menjadi kenangan pahit yang tak kan terlupakan.
Bagaimana tidak, sebagai atlit peraih 3 emas di ajang internasional Asian Games 1962 di Jakarta, sudah sepantasnya sang ayah mendapatkan perlakuan istimewa dari pemerintah. Tapi apa daya, harapannya sirna saat kesempatan sudah di depan mata.
Rumah yang sudah seharusnya didapatkan Gurnam Singh atas balasan jasanya batal diraih karena Gurnam saat itu telah tiada. Alhasil keluarga Gurnam yang juga hidup di bawah bayang-bayang kemiskinan dijanjikan uang senilai Rp30 juta oleh Kemenpora sebagai pengganti.
Lagi-lagi uang yang diharapkan bisa meringankan beban keluarga, juga gagal didapat. Ironisnya, sosok orang Sumut yang membuat asa itu berubah menjadi luka.
Namanya pun begitu dikenal dan tenar hingga membelah langit Asia. Rekor pencapaiannya pun bertahan selama 37 tahun, hingga akhirnya terpecahkan oleh anak didiknya sendiri. Tapi nasib tak sejalan selaras dengan prestasi apik yang dihasilkan.
Sosok Gurnam kini telah pergi dengan meninggalkan sejuta pesan untuk disampaikan. Berikut kisah selengkapnya.
1. Dikecewakan Sesama Orang Medan
Ingatan Sarjit melayang ke tahun 2005. Saat itu Menpora dijabat Bapak Adhyaksa Daud dan dia membuat program yang dulunya dikenal dengan nama Adhyaksa Daud. Di mana program tersebut merupakan santunan satu unit rumah kepada atlet berprestasi yang telah mengharumkan nama bangsa.
"Dari Sumut ada dua nama yang berhak mendapatkannya, yakni bapak saya, Gurnam Singh dan Sanusi Pane. Nama tersebut diumumkan 2007 akhir, ketika bapak saya tak lagi ada di dunia," terang Sarjit.
Sarjit lalu mencari tahu informasi tersebut dengan mendatangi Dispora Sumut yang saat itu Kadisnya masih dijabat Harjoni Munir dan KONI Sumut, ketuanya Gus Irawan. Saat itu dirinya disarankan untuk langsung ke Kemenpora. Bermodalkan uang satu juta bantuan dari kedua orang tersebut, Sarjit berangkat ke Jakarta.
"Di Kemenpora saya disambut Deputinya saat itu. Ada empat deputi, salah satunya Djohar Arifin. Nah karena bapak saya sudah meninggal bantuan itu pun batal. Namun, saat itu kami sebagai keluarga Gurnam ditawarkan bantuan Rp30 juta sebagai pengganti santunan dengan catatan melalui proses pengajuan terlebih dahulu. Tapi saat itu langsung ditolak pak Djohar Arifin dengan alasan kalau Gurnam sudah sering mendapat bantuan pemerintah," terangnya.
Kontan sikap Djohar yang notabene asli orang Medan itu membuat dirinya kecewa bukan kepalang.
"Saat itu ada rencana bantuan dari Menpora yang batalin pak Djohar Arifin. Saya berani tanggung jawab dengan omongan saya. Yang saya herankan kenapa justru orang Medan yang membatalkan," sebutnya.
Dengan penuh kekecewaan, Sarjit pun kembali ke Medan bermodalkan uang bantuan dari para Deputi.
2. Gurnam Singh, Kesayangan Ir. Soekarno
Lewat jasanya yang luar biasa, Gurnam Singh sebenarnya sempat mendapat tempat di hati orang nomor satu di Indonesia, Bapak Presiden Soekarno. Bahkan, sebahagian teman dekat Gurnam sempat heran melihat dirinya begitu disayang oleh sosok kharismatik itu.
"Satu-satunya atlet yang bebas keluar masuk Istana Negara saat itu cuma bapak saya (Gurnam Singh). Hampir setiap pekan dirinya ke Jakarta sekedar mampir dan bertemu Pak Presiden," terang Sarjit.
Bahkan, saking sayangnya, Gurnam mendapat hibah rumah dari Presiden di kawasan Jalan S Suparman, Medan.
"Karena Presiden Sukarno sangat menghargai jasa para atlet yang telah mengharumkan nama bangsa. Baginya atlet adalah pahlawan bangsa. Sehingga para atlet berprestasi sering mendapatkan bantuan," terangnya.
Kedekatan Presiden dan Gurnam Singh pun terus berlanjut. Bahkan, saat putri Presiden Soekarno, Ibu Megawati yang merupakan Presiden kelima itu masih bayi, Gurnam beberapa kali menggendong sosok wanita yang sempat menorehkan sejarah di Indonesia sebagai presiden wanita pertama.
"Waktu bayi, bapak pernah menggendong Ibu Megawati. Sayang setelah berkarir dan memiliki jabatan politik, bapak agak kesulitan menemui Ibu Megawati," kenang Sarjit.
Sayang, semua kenangan indah yang pernah terajut itu tak bertahan lama. Situasi politik yang memanas di era 65, saat dimana PKI diberangus dan jabatan Soekarno terguling dan digantikan Presiden Soeharto, saat itu jugalah periode keemasan Gurnam Sing berakhir.
Kondisi itu semakin diperparah saat kediaman Gurnam yang didapat dari Hibah Presiden Soekarno dibongkar paksa pemerintah daerah setelah kalah dalam pengadilan.
"1972 dibongkar dan berubah kepemilikan. Di pengadilan, Hibah Pak Soekarno gak berlaku, apalagi kami tidak memiliki IMB . Ditambah lagi, karena mungkin dia (Soekarno) dianggap sosok yang bermasalah dengan pemerintah saat itu," ujar Sarjit.
3. Jusuf Kalla, Orang Terakhir yang Ingin Ditemui Gurnam Singh Sebelum Wafat
Kehidupan Gurnam yang semakin sulit dan terjepit ternyata menarik sempat perhatian seorang panglima militer yang saat itu bertugas di Medan. Secara pribadi, Panglima tersebut menyerahkan bantuan rumah kecil buat Gurnam Singh.
"Bapak dapat rumah kecil di Pancur Batu dari seorang panglima yang saya lupa namanya. Selain bapak, ada juga tukang becak yang dapat bantuan. Jadi rumah itu dibagi dua," kenang Sarjit yang mengaku harus melalui kehidupan sulit di dalam rumah yang terbilang sempit.
Seiring berjalannya waktu, Gurnam kian terjepit, seluruh harta bendanya terjual habis demi menyambung hidup. Medali-medali yang pernah diperolehnya semasa mengikuti kejuaraan Internasional di Rumania, Filipina, dan Malaysia kini tinggal kenangan tak berbekas.
Gurnam dipaksa mengalah dengan keadaan dan menghabiskan sebahagian usianya di sebuah kuil yang terletak di kawasan Polonia Medan.
Di akhir Sarjit sempat menyampaikan keinginan bapaknya yang belum terpenuhi, yakni menemui Yusuf Kalla. Entah apa yang mau disampaikannya, semua tersimpan rapat di balik kematiannya.
"Gak tau mau nyampaikan apa, tapi sebelum meninggal Bapak sempat bercita-cita ingin ketemu Jusuf Kalla," ujarnya.
Sepeninggal Gurnam, tak ada harta yang tersisa, hanya nama dan julukan besar yang terasa hampa. Sarjit sekan dipaksa melanjutkan estafet kemiskinan orang tuanya.
Bekerja serabutan usai ditinggal mati istri tercinta di balik kondisi pundaknya yang kerap menahan sakit akibat kecelakaan yang dialaminya beberapa waktu lalu, Sarjit hanya bisa pasrah.
Tak banyak yang diharapkannya saat ini. Baginya mendapatkan pekerjaan layak adalah hadiah terindah. Mengingat saat ini Sarjit harus menumpang ruang kelas yang kosong untuk berlindung dari sengatan mentari dan rintikan hujan.
Apalagi, Sarjit juga dituntut untuk menafkahi kedua putrinya yang tumbuh dewasa dan masih aktif mengenyam pendidikan.
"Sudah pernah dulu minta pekerjaan di instansi pemerintahan tapi gak dapat-dapat, yang ada cuma janji. Kalo gak kerja mocok-mocok gak makan. Apalagi anak masih sekolah. Mau kerja layak usia udah uzur dan tamatan juga tak mendukung. Semoga aja ada perhatian pemerintah, setidaknya kerjaanlah," ucapnya.
Setidaknya Sarjit masih bisa berbangga karena memiliki keluarga komunitas Sikh yang ikhlas membantunya tanpa pamrih.
Sebenarnya Sarjit enggan menceritakan kisah getir keluarga besarnya. Baginya harga diri jauh lebih berharga dari belas kasih pemerintah yang banyak mengobral janji.
"Kenapa baru sekarang saya cerita seperti ini? Padahal sebelumnya banyak juga yang bertanya kisah bapak. Ya, setidaknya ini bisa jadi pelajaran buat yang lain," harapnya.
Ya, Kisah Gurnam akan terus mengiang dan menjadi kenangan pahit tak terlupakan. Bahkan, ini jugalah yang menjadi alasan yang masih dipertahankan empat buah hatinya untuk tidak mengikuti jejak karir sang bapak atau ikut tergilas kejamnya zaman.