Mengembalikan Kejayaan Raja Tunggal Bulutangkis Indonesia

Senin, 17 April 2017 12:10 WIB
Editor: Ramadhan
© badmintonindonesia.org
Tunggal putra Indonesia, Jonatan Christie gagal melaju ke semifinal. Copyright: © badmintonindonesia.org
Tunggal putra Indonesia, Jonatan Christie gagal melaju ke semifinal.
Usia Matang Pemain

Setelah dicermati, atlet-atlet bulutangkis Indonesia di sektor tunggal memang memiliki masalah dalam hal usia kematangan untuk meraih prestasi. Ada kecenderungan tunggal-tunggal putra dan putri Tanah Air justru baru mulai merangkak naik mengejar prestasi di usia 23 tahun ke atas.

Sebagai contoh, Rudy Hartono melihat sosok tunggal putri Indonesia, Dinar Dyah Ayustine yang kemarin diturunkan di All England 2017. Dinar yang berusia 23 tahun kalah kelas dan habis dihantam tunggal putri India, Pusarla Sindhu yang baru berusia 21 tahun dengan skor 21-12, 21-4 di babak kedua.

“Si Dinar itu umurnya sudah 23 tahun, memangnya dia masih pemain muda? Sementara si Sindhu itu umurnya baru 21 tahun. Coba saja lihat Dinar dipermalukan seperti itu. Itu bukan main namanya, itu dipermalukan,” kata Rudy soal kekalahan Dinar dari Sindhu di All England 2017 kemarin.

Garis besar yang dimaksud Rudy Hartono adalah bahwa pemain seusia Dinar sudah semestinya meraih banyak prestasi, bukan justru baru mau mencari pengalaman. Kesalahan penempatan pemain dari segi umur ini justru harus menjadi perhatian, sebab bakal menjadi satu hal yang mengancam prestasi.

Jika ditelisik lebih jauh, di Indonesia sendiri seperti sudah menjadi tradisi, entah sengaja atau tidak, menelurkan pemain-pemain berbakat di usia yang sudah tak muda lagi.

Bayangkan saja tunggal putri Spanyol, Carolina Marin yang kini baru berusia 23 tahun sudah berhasil meraih medali emas di pentas Olimpiade Rio 2016. Di final, Marin sukses mengalahkan tunggal India yang tak kalah mudanya, Pusarla Sindu 19-21, 21-12, 21-15.

© allenglandbadminton
Legenda Bulutangkis, Rudy Hartono. Copyright: allenglandbadmintonRudy Hartono muda mulai menggemparkan bulutangkis dunia di usia 17 tahun.

Lalu, ada lagi tunggal putri Thailand, Ratchanok Intanon yang saat ini baru berusia 22 tahun tapi sudah pernah meraih gelar juara dunia 2013 di Guangzhou dan juara Asia 2015 di Wuhan. Ratchanok juga menjelma sebagai pemain Thailand pertama yang pernah menjadi nomor 1 dunia di tunggal putri.

Tak cukup sampai di situ, tunggal putri asal Taiwan, Tai Tzu-ying yang masih berusia 22 tahun sukses merebut gelar juara All England 2017 dan Malaysia Open Super Series Premier 2017. Bandingkan saja dengan Dinar yang notabene seusia mereka.

Kita memang masih bisa berharap kepada 3 sosok pemain muda seperti Fitriani yang masih berusia 18 tahun yang juga dianggap sebagai ‘The Next' Susy Susanti dan punya ranking BWF terbaik yakni 28, serta Hanna Ramadini yang berusia 22 tahun (ranking 34), dan Dinar Dyah Ayustine berusia 23 tahun (ranking 32 dunia).

Namun, sampai rentang waktu berapa tahun lagi Fitriani, Hanna, dan Dinar bisa berprestasi kalau tidak dibebankan target juara seperti yang dikatakan Rudy Hartono? Apakah mereka sanggup membendung pemain-pemain seperti Sindu, Marin, Intanon, hingga Tai Tzu-ying?

Jika diukur dari momen saat kita gagal menyumbangkan medali di Olimpiade London 2012 lalu, setelah itu pula tak satu pun tunggal putri kita berhasil meraih gelar juara di turnamen level Super Series.

Nyatanya di sektor tunggal putra kita juga tak jauh berbeda seperti tunggal putri. Pemain-pemain seperti Sony Dwi Kuncoro (32 tahun) dan Tommy Sugiarto (28 tahun) yang mulai habis dimakan usia masih menjadi andalan dan itu pun masih kesulitan menembus level atas permainan.

Terlepas dari eksistensi pemain-pemain yang diandalkan saat ini, Tan Joe Hok menyoroti sistem pembinaan bakat muda bulutangkis di Tanah Air. Menurutnya, sistem yang kurang pas bakal membuat masa depan pembinaan akan mandek dan terganggu.

© Humas PBSI
Fitriani TjakrindoMasters Djarum Superliga Badminton 2017. Copyright: Humas PBSIFitriani dianggap memiliki kemampuan yang mirip dengan legenda hidup bulutangkis Indonesia, Susy Susanti.

“Saya rasa ada kesalahan dalam satu sistem ya. Kita harus berani merombak sistem karena sekarang sistem yang ada terlalu dibuat rancu. Menurut istilah saya, sistem sekarang cenderung rentan terjadi pencurian umur,” ungkap Tan Joe Hok.

Tan kurang sepakat dengan banyaknya sistem pembinaan bakat muda yang tak jelas seperti kelompok umur yang berjengjang banyak, karena hanya akan membingungkan dan rentan pencurian umur. Ia berharap hanya ada sistem yang tak rumit, sedikit, tapi berkualitas.

“Satu pemain yang tidak mengikuti aturan itu (sistem kelompok umur) adalah tunggal putri Taiwan, Tai Tzu-ying. Dia benar-benar mendobrak semuanya dari awal, hingga sekarang dia bisa berdiri di ranking 1 dunia,” beber Tan Joe Hok.

Sebab yang ditakutkan Tan soal sistem seperti itu karena pemain yang sudah keluar jakunnya saja bisa mengaku masih berumur 13 tahun, padahal ternyata sudah berusia 16-17 tahun. Kalau tetap seperti itu tentu tak akan pernah selesai soal pembinaan pemain di Indonesia.

Artinya dengan banyaknya pengelompokkan umur maka celah untuk melakukan pencurian umur juga tentu sangat besar. Kasus pencurian umur yang baru-baru ini terjadi pada atlet bulutangkis Indonesia benar-benar mencoreng sportivitas dan mengganggu program pembinaan pemain di Tanah Air.

“Kenapa gak dibuat sederhana saja. Misalkan dibagi 3 kategori, dimulai dari 8-15 tahun, 15-18 tahun, kemudian dari 18 tahun dan seterusnya masuk kategori dewasa. Atau bahkan bisa dibagi menjadi 2 kategori saja yakni dari umur 1-15 tahun dan 15 tahun ke atas dan seterusnya bisa masuk kategori dewasa,” demikian saran Tan Joe Hok.