Inikah Penyebab Tunggal Putri Bulutangkis Indonesia Diam Seribu Bahasa?

Minggu, 10 Maret 2019 15:14 WIB
Editor: Coro Mountana
© PBSI
Fitriani, pebulutangkis tunggal putri Indonesia. Copyright: © PBSI
Fitriani, pebulutangkis tunggal putri Indonesia.

INDOSPORT.COM – All England 2019 tampaknya bakal ditutup dengan sebuah catatan yang perlu digaris bawahi, kalau sektor tunggal putri kembali diam seribu bahasa. Mengandalkan Fitiriani dan Gregoria Mariska, keduanya justru langsung tumbang di babak pertama.

Fitriani kandas di babak pertama oleh He Bingjiao (China) dengan skor 17-21, 21-15, 21-10. Sedangkan Gregoria Mariska harus dikalahkan oleh Nozomi Okuhara (Jepang) dengan skor 21-17, 21-16.

Hal itu menambah panjang catatan gagalnya tunggal putri Berjaya di All England setelah terakhir kali berhasil dijuarai oleh Susy Susanti pada edisi 1994. Persoalan mengenai gersangnya gelar juara All England di tunggal putri pun coba dijawab oleh Broto Happy selaku pengamat bulutangkis.

© Internet
Caption Copyright: InternetBroto Happy

“Kalau flashback zaman Susy (Susanti) dan Mia (Audina) berjaya kita terlena lupa buat regenerasi lebih smooth lagi. Ada missing link sehingga tak ada tunggal putri yang bisa mendekati nilai Susy dan Mia,” ungkap Broto Happy kepada INDOSPORT.

Memang Indonesia sudah berusaha melakukan regenerasi seperti yang ditunjukan dengan kehadiran Gregoria Mariska dan Fitriani saat ini. Hanya saja kualitas keduanya dianggap masih belum mampu mendekati Susy Susanti ataupun Mia Audina.

© INTERNET
Caption Copyright: INTERNETMia Audina

“Dari sisi kualitas memang tidak istimewa, Fitriani terlalu kecil posturnya. Sebenarnya bisa ditutup dengan pergerakan kakinya yang lincah, cuma power pasti kurang karena posturnya,”

“Gregoria Mariska itu naik turun, sebenarnya kita berharap banyak padanya setelah juara dunia junior. Tapi memang masalahnya di pelatnas Cipayung itu tidak ada teman yang bisa jadi lawan sparring sepadan,” lanjutnya.

Persoalan mengenai sparring tidak ada yang sepadan memang menjadi masalah yang fundamental. Pasalnya dengan tidak adanya lawan tanding maka kualitas pemain inti di tunggal putri tidak akan berkembang.

“Jadi kitanya tidak ada persiapan untuk regenerasi, dari faktor luar juga memang Negara lain sudah pada bangkit. Padahal dulu seperti Thailand lawan Susy, kita di komunitas bulutangkis suka berguyon kalau Susy bakal menang cuma pakai tangan kiri,” guyon pengamat bulutangkis itu.

© Bob Thomas/Getty Images)
Susy Susanti juara All England pada Maret 1990. Copyright: Bob Thomas/Getty Images)Susy Susanti juara All England pada Maret 1990.

Pada akhirnya 2019 tampaknya bukan tahun keberuntungan bagi tunggal putri Indonesia di All England. Tapi tentu sebagai pecinta bulutangkis Indonesia harus optimis kalau penerus Susy Susanti dan Mia Audina saat ini sedang dilatih di pelatnas Cipayung.

Terus Ikuti Perkembangan Seputar All England 2019 dan Berita Olahraga Lainnya di INDOSPORT.COM.