Ditentang Orang Tua Hingga Putus Sekolah, Kisah Perjuangan Alvent Yulianto di Kancah Bulutangkis

Jumat, 4 Oktober 2019 17:48 WIB
Penulis: Petrus Tomy Wijanarko | Editor: Ivan Reinhard Manurung
© Athit Perawongmetha For SSC/Getty Images
Ditentang Orang Tua Hingga Putus Sekolah, Kisah Perjuangan Alvent Yulianto di Kancah Bulutangkis. Copyright: © Athit Perawongmetha For SSC/Getty Images
Ditentang Orang Tua Hingga Putus Sekolah, Kisah Perjuangan Alvent Yulianto di Kancah Bulutangkis.

INDOSPORT. COM - Alvent Yulianto Chandra memiliki kisahnya sendiri dalam memperjuangkan karier hingga kini menjadi salah seorang legenda bulutangkis Indonesia.

Nama Alvent cukup tenar di jagat bulutangkis dunia era 2000-an silam. Turun pada nomor ganda putra, Alvent mampu meraih sejumlah prestasi membanggakan.

Paling mentereng mungkin tercipta pada tahun 2004 silam, kala Alvent masih berpasangan dengan Luluk Hadianto. Duet apiknya bersama Luluk menghasilkan empat gelar superseries sekaligus, yakni Singapore Open, Indonesia Open, Korea Open, dan Thailand Open.

Namun bila melangkah jauh lagi ke belakang, cerita Alvent dalam merintis karier bulutangkis tidaklah mudah. Ia sempat mendapat tentangan orang tua hingga putus sekolah.

Alvent mendapat dukungan penuh dari ayahnya untuk berlatih bulutangkis, sejak masih duduk di bangku Sekolah Dasar. Bahkan sang ayah sangat senang apabila Alvent masuk ke jenjang Sekolah Menengah Pertama yang memiliki program pendidikan khusus bulutangkis.

Berbeda pandangan, ibundanya malah tidak setuju jika Alvent melanjutkan bulutangkis. Ibunya ingin Alvent tetap berfokus melanjutkan sekolah saja.

"Dulu ada perdebatan dari mama saya. Mama saya tidak setuju, inginnya saya sekolah, tapi papa saya ingin saya terus di badminton, jadi ya sempat dilema. Tapi pada akhirnya saya lebih nyaman di badminton, mama juga memberikan izin," ungkap Alvent.

Alvent lantas masuk ke SMP yang memberikan fasilitas pendidikan bulutangkis. Perjalanan Alvent menimba ilmu bulutangkis di SMP ini cukup rumit, lantaran harus bisa membagi waktu antara sekolah dan kariernya.

Bayangkan saja, ketika semua orang masih tertidur lelap, Alvent pada pagi hari sudah mulai berlatih bulutangkis. Usai latihan pagi, barulah Alvent melakukan kegiatan sekolahnya.

"Dulu saya bisa sekolah sama bulutangkis waktu SMP. Saya latihan jam empat subuh sampe jam enam, jam tujuh sekolah sampai jam dua, sore latihan lagi," jelas Alvent.

Sistem sekolah dan bulutangkis yang secara berbarengan ternyata dirasa Alvent kurang maksimal. Ia kesulitan mengembangkan karier bulutangkisnya, lantaran wajib membagi fokusnya ke urusan sekolah pula.

Ketika lulus dari SMP, Alvent akhirnya memutuskan tidak melanjutkan sekolah. Ia kemudian bergabung dengan sebuah klub di Surabaya dan hanya berfokus di bulutangkis.

Cukup beruntung, klub bulutangkis tempat Alvent bernaung memiliki hubungan kerjasama dengan sebuah SMA. Alvent pun tetap bisa lulus SMA lewat jalur khusus atlet.

"Saya merasa kurang maksimal, konsentrasinya terpecah. Jadi ketika SMA full bulutangkis, tidak sekolah," kata Alvent.

"Tapi kebetulan klub saya Suryanaga di surabaya, ada kerjasama dengan sebuah SMA, jadi dapat dispensasi jalur atlet, jalur prestasi," lanjutnya.

Barulah setelah lulus dari SMA, Alvent benar-benar mendedikasikan dirinya untuk bulutangkis. Hingga akhirnya menjadi seorang atlet hebat dan mengharumkan nama Indonesia di kancah bulutangkis internasional.

Begitulah kurang lebih lika-liku perjalanan Alvent semasa masih merintis karier. Sempat ditentang orang tua dan putus sekolah, tak membuat Alvent patah semangat hingga menjadi seorang legenda bulutangkis Indonesia.