4 Legenda Sepakbola Indonesia yang Berdarah Tionghoa

Kamis, 19 Oktober 2017 11:39 WIB
Penulis: Frederica | Editor: Galih Prasetyo
 Copyright:
Tan Liong Houw

Nama Tan Liong Houw dikenal dengan baik sebagai pemain legendaris Indonesia di era 1950-an yang merupakan keturunan Tionghoa. Pria yang juga mempunyai nama lain Latief Harris Tanoto itu menjadi pujian bagi Tim Nasional dan juga Persija Jakarta di masa kejayaannya.

Pria yang lahir di Surabaya ini tumbuh dan berkembang di Jakarta. Namun di masa awalnya, Liong Houw harus menapaki jejak yang sulit untuk menjadi seorang pesepakbola. Pasalnya, dirinya tidak diperbolehkan untuk menjadi pesepakbola oleh orang tuanya.

Sang ibu, Ong Giok Tjiam memberikan larangan kepadanya untuk bermain sepakbola. Bahkan, adiknya bernama Tan Liong Pha yang juga sempat bermain untuk Persib Bandung Junior terpaksa berhenti karena larangan dari sang ibu.

Namun, keinginan kuat yang mengalir di tubuh Liong Houw untuk bermain sepakbola tidak membuatnya berhenti begitu saja karena larangan sang ibu. Dirinya tetap bermain secara bersembunyi. Nahas, Giok Tjiam yang mengetahui hal itu pun langsung mengirim Liong Houw ke Semarang dengan tujuan supaya anaknya tidak lagi bermain sepakbola.

Sayangnya, harapan sang ibu tidak berjalan dengan baik. Di Semarang, Liong Houw dipertemukan dengan orang-orang dari klub Chung Hua (sekarang bernama Tunas Jaya), perkumpulan olahragawan keturunan Tionghoa saat itu.

Melihat hal itu, orang tua Liong Houw pun meminta anaknya kembali ke Jakarta, sebelumnya akhirnya sang ayah memberi izin untuk bermain bola berkat kegigihan Liong Houw.

© INTERNET
Caption Copyright: INTERNETTan Liong Houw.

Melansir dari JPNN (13/02/11), Tanoto, demikian Liong Houw juga disapa, turut bermain bersama Persija Jakarta. Bahkan, para pendukung yang sudah jatuh cinta dengan performanya memberikan julukan "Macan Betawi" meskipun berasal dari etnis Tionghoa.

Selain bersama klub asal ibu kota, pria yang lahir pada 26 Juli 1930 silam itu juga pernah membela negara Indonesia selama 12 tahun sejak 1950. Sayangnya, dirinya yang merupakan keturunan Tionghoa sempat dituding akan bermain setengah hati jika bertemu dengan pemain dari China.

Namun, kritikan itu tidak diindahkan oleh Liong Houw. Bahkan, hal itu menjadi penambah semangat bagi Liong Houw dan rekan-rekannya di Timnas untuk bisa membawa harum nama Indonesia di kancah internasional.

Seperti halnya pada era 1950-an, yang mana Timnas sempat dua kali bertemu dengan China di Kualifikasi Olimpiade 1956 dan Kualifikasi Piala Dunia 1958. Faktanya, kedua laga itu berhasil dimenangkan oleh Indonesia.

“Jangan tanyakan masalah nasionalisme orang-orang Tionghoa. Kami siap mati di lapangan demi membela Indonesia melalui sepak bola” – Tan Liong Houw.

Selain itu, Liong Houw dan rekan-rekannya turut membawa Timnas masuk ke babak perempatfinal Olimpiade 1956 di Melbourne, Australia. Pada laga yang berlangsung 29 November 1956 silam itu, Timnas mampu menahan tim kuat Uni Soviet dengan skor kacamata, sebelum akhirnya mereka harus kandas dengan skor 0-4 di laga berikutnya.

Sementara pada Turnamen Merdeka 1961 yang digelar di Malaysia, Timnas Indonesia mampu meraih juara usai mengalahkan tim tuan rumah dengan skor 2-1 di babak final.

© Internet
Tan Liong Houw dan Wahyu-Budi Tanoto Copyright: InternetTan Liong Houw dan Wahyu-Budhi Tanoto.

Usai memperkuat Timnas di Asian Games 1962 yang diselenggarakan di Jakarta, Liong Houw memutuskan untuk gantung sepatu, sebagai buntut dari kasus suap yang menerpa 18 pemain Timnas. Pasalnya, pada laga melawan Yugoslavia, Malmo, Thailand, dan Vietnam Selatan, pemain Timnas bermain dengan buruk.

Meskipun sudah tidak menjadi seorang pesepakbola, dirinya tetap memberikan sumbangan untuk perkembangan sepakbola nasional dengan menjadi anggota Dewan Penasihat PSSI periode 1999-2003.

Kecintaan yang begitu besar pada dunia si kulit bundar itu pun sempat diikuti oleh kedua anaknya, Budhi Tanoto dan Wahyu Tanoto. Keduanya pernah menjadi pemain Timnas dan Persija senior pada tahun 1980-an. Hanya saja, kiprah mereka cuma sekilas dan tidak sefenomenal ayahnya.

444