In-depth

Mengisi Rapor Ketum PSSI, Bagaimana Caranya?

Selasa, 19 Februari 2019 17:36 WIB
Penulis: Annisa Hardjanti, Prio Hari Kristanto | Editor: Arum Kusuma Dewi
© INDOSPORT/Yooan Rizky Syahputra
Esti Puji Lestari (CEO Persijap), Haruna Soemitro (Manajer Madura United), dan Gusti Randa (Exco PSSI). Copyright: © INDOSPORT/Yooan Rizky Syahputra
Esti Puji Lestari (CEO Persijap), Haruna Soemitro (Manajer Madura United), dan Gusti Randa (Exco PSSI).
6 Kriteria Penilaian Voters

Kami pun mewawancarai sejumlah voters terkait hal ini, termasuk CEO Persijap Jepara, Esti Puji Lestari, dan Manajer Madura United, Haruna Soemitro, sebagai perwakilan suara voters, dan juga Exco PSSI, Gusti Randa.

Menariknya, di antara voters sendiri diketahui tidak ada konsensus khusus mengenai ukuran ketua umum PSSI yang ideal. Bahkan, muncul kecenderungan ada subjektivitas dalam menilai kinerja Ketua Umum PSSI.

Esti Puji Lestari mengaku pernah membahas hal ini dengan para voters. Namun tidak ada jawaban pasti yang didapat.

"Tiap saya bicara dan membahas dengan teman-teman, Pak ini sebenernya calon Ketua PSSI yang tepat ini gimana? (mereka jawab) Ah kita mengikuti arus saja Bu," ujar Esti Puji Lestari kepada INDOSPORT, Rabu (13/02/19).

Dari percakapan cukup panjang dengan mereka, kami pun telah merangkum sejumlah poin yang menjadi KPI seorang ketua umum di mata voters. Berikut ini adalah poin-poin yang telah kami susun (urutan acak dan tidak ada preferensi):

1. Seorang organisator ulung

2. Memiliki integritas dan kepercayaan publik yang tinggi

3. Visioner

4. Mematuhi statua PSSI

5. Berkomitmen penuh pada jabatan

6. Prestasi Timnas dan Liga yang berjalan baik

Voters menilai bahwa seorang ketua umum PSSI harus memiliki kemampuan kepemimpinan dan menjadi seorang organisator yang ulung. Bahkan, pengalaman di sepak bola adalah nomor kesekian.

Edy Rahmayadi adalah sosok jenderal dan tentunya merupakan organisator yang baik.

"Nah, kalau itu seorang jenderal, saya dulu sangat yakin sekali karena jenderal kan organisatoris ya, jenderal kan punya bawahan, struktur," ujar Esti.

Namun, dalam eksekusinya, terjadi sejumlah distorsi-distorsi. Edy dinilai voters kurang mampu mengontrol bawahannya. Bahkan banyak kongkalingkong yang dilakukan Exco yang Edy gagal mengetahui.

"Namun sayangnya orang yang di bawah adalah orang sipil. Di mana mereka tidak punya respek terhadap struktur," kata Esti.

Untuk poin kedua, Edy Rahmayadi juga dinilai gagal menjadi pemimpin yang berintegritas tinggi sekaligus memiliki kepercayaan publik yang kuat.

Menjelang Edy mundur, terjadi tekanan luar biasa dari publik agar mantan Pangkostrad itu segera mundur dari kursi Ketum PSSI lantaran prestasi Timnas yang buruk dan keputusan Edy menjadi Gubernur Sumatera Utara.

Itu artinya, publik tidak percaya lagi dengan kemampuan Edy dalam menakhodai PSSI.

Pada poin ketiga soal ketua visioner, Edy Rahmayadi sejatinya adalah sosok ketua yang visioner. Ia memiliki target-target bagus yang cukup masuk akal bagi sepak bola Indonesia.

Salah satunya tentu saja diawali dengan mendatangkan pelatih berkelas selevel Luis Milla.

Edy pun ingin agar Timnas Indonesia memiliki kiblat permainan Spanyol ala Luis Milla.

PSSI di bawah Edy juga merumuskan Filanesia (Filosofi Sepak Bola Indonesia) yang dituangkan ke dalam buku Kurikulum Pembinaan Sepak Bola Indonesia.

Edy juga menargetkan timnas berprestasi di Asian Games dan Piala AFF. Terlepas dari hasil yang dicapai, rencana-rencana yang digagas Edy sejatinya cukup baik. Untuk poin ini, Edy termasuk berhasil menjadi sosok ketua visioner.

Untuk poin keempat, Edy mampu memenuhinya dengan cukup baik. Dari sisi statuta, Edy Rahmayadi nyatanya tak melanggar pasal-pasal yang ada. Bahkan, larangan rangkap jabatan yang dilakukan Edy pun tak dilarang dalam statuta PSSI.

Di aturannya, seorang ketua umum baru bisa diturunkan apabila ia melanggar aturan-aturan statuta PSSI yang mengatur ketua umum.

"Kalau mau impeachment (pemakzulan) ketua umum itu standarnya adalah statuta," ujar Manajer Madura United, Haruna Soemitro, kepada INDOSPORT, Rabu (13/02/19). 

Setelah dua keberhasilan beruntun, Edy Rahmayadi mengalami kegagalan luar biasa pada poin kelima, mengenai komitmen penuh pada jabatan.

Di masa jabatannya sebagai Ketum PSSI, Edy memutuskan untuk terjun ke politik praktis menjadi Gubernur Sumatera Utara.

Hal ini pun mengundang protes besar dari masyarakat dan juga voters. Edy dinilai tak berkomitmen penuh pada jabatannya sebagai Ketum PSSI.

Pada akhir 2018 lalu Edy 'resmi' meninggalkan kantor pusat PSSI di Jakarta dan berkantor di Sumatera Utara. Padahal, di masa jabatannya, PSSI sedang dalam titik nadir setelah meledaknya kasus pengaturan skor.

"Begitu Pak Edy memilih pilihan politiknya menjadi gubernur, ini menjadi sulit. Faktanya Sumatera Utara dan Jakarta itu jauh," kata Haruna Soemitro.

"PSSI membutuhkan control day by day, minute by minute, jam per jam yang hari-harinya pasti akan punya masalah yang harus disentuh langsung," tambah Haruna. 

Edy Rahmayadi kemudian juga gagal memenuhi poin keenam pada tolak ukur keberhasilan ketum PSSI menurut voters. Soal prestasi Timnas dan penyelenggaraan liga, PSSI di bawah Edy Rahmayadi gagal memenuhi banyak target.

Misalnya, di level tim nasional, Timnas Indonesia baik di level U-23 dan senior gagal mencapati target. Di Asian Games 2018 mereka hanya mentok di babak 16 besar. Padahal target adalah semifinal.

Kemudian di Kejuaraan Piala AFF 2018, Timnas Garuda bahkan menderita lebih parah lagi usai tak mampu lolos dari babak penyisihan grup. Padahal targetnya adalah juara. Hanya Piala AFC U-16 yang mampu memenuhi target juara.

Untuk penyelenggaraan liga sendiri masih terlalu banyak celah yang membuat kita ragu untuk menyebut PT LIB dan PSSI telah sukses menjalankan tugasnya.

Di level Liga 2 yang diselenggarakan oleh PSSI, terbongkar kasus pengaturan skor yang melibatkan sejumlah klub seperti PS Mojokerto Putra.

Sementara di Liga 1, walau berhasil menjalankan liga, namun nyatanya terjadi ketidakprofesionalan di sana sini. Mulai dari jadwal yang sering berubah-diubah, pertandingan yang diundur sampai jadwal liga yang bentrok dengan Piala AFF 2018. Liga 1 sendiri menjadi satu-satunya liga yang masih berjalan di Asia Tenggara saat Piala AFF 2018 berlangsung.

Teranyar, pada awal tahun 2019, klub Persija Jakarta tak bisa memainkan pemain asing barunya di kualifikasi Liga Champions Asia lantaran jendela transfer liga yang belum dibuka. Tentunya semua ini adalah kesalahan PSSI dan PT LIB yang tak mampu membuat jadwal yang sinkron dengan agenda yang sudah ada di level Asia.

Beberapa hal serupa juga masuk dalam penilaian yang diberikan oleh pandangan seorang Gusti Randa saat diwawancarai oleh INDOSPORT pada Jumat (15/02/19) lalu.

Melihat dari bagaimana Edy Rahmayadi sebelumnya mengedepankan visi Profesional dan Martabat bagi PSSI, Gusti menilai bahwa salah satu dari keduanya telah berhasil dipenuhi oleh Edy.

“Dari segi profesionalisme, Pak Edy sudah memenuhinya ya kalau saya pikir,” ujar Gusti.

Hal tersebut berhubungan dengan peningkatan profesionalisme PSSI dalam mengatasi masalah perwasitan hingga masalah finansial, baik federasi hingga klub yang ada kini.

Tapi, kalau dari segi martabat, memang Gusti sendiri tak menampik bahwa Edy belum memenuhi poin tersebut secara utuh. Hal itu berkaitan dengan belum terselesaikannya masalah pengaturan skor yang menghantui sepak bola Indonesia.

43