Liga Indonesia

Mengenal Sri Woelan, Wanita Tangguh di Balik Sosok Soeratin Pendiri PSSI

Minggu, 21 April 2019 13:02 WIB
Penulis: Luqman Nurhadi Arunanta | Editor: Yohanes Ishak
© PSSI/Eli Suhaeli/INDOSPORT
Soeratin Sosrosoegondo pendiri PSSI dan istrinya Sri Woelan. Copyright: © PSSI/Eli Suhaeli/INDOSPORT
Soeratin Sosrosoegondo pendiri PSSI dan istrinya Sri Woelan.

INDOSPORT.COMHari Kartini dirayakan setiap 21 April dengan berbagai macam cara. Ada yang mengadakan lomba sambil berpakaian adat, namun tidak sedikit yang berdiskursus mengenai esensi perjuangan R.A. Kartini.

Pemikiran-pemikiran Kartini dalam surat-suratnya kepada Rosa Manuela Abendanon banyak membahas soal pendidikan, beberapa membahas soal Islam, dan hak-hak kaum perempuan lainnya.

Perempuan pada masa itu, sekitar awal tahun 1990-an, belumlah sejaya sekarang. Urusan mereka terkungkung hanya soal dapur, pupur, dan kasur.

Setelah wafat tahun 1904, perjuangan dan ide-ide Kartini dilanjutkan teman-teman Belandanya. Surat-surat Kartini kepada Rossa Manuela Abendanon disunting dan diterbitkan sebagai upaya mencari dana guna mendirikan sekolah-sekolah perempuan di Jawa.

Kartini jelas mengajarkan kepada kaum perempuan untuk menolak pasrah menerima keadaan dalam perkara apa pun di tengah dominasi patriarki.

Soal sepak bola Indonesia di era yang sama, ada sosok R.A. Sri Woelan. Beliau adalah istri Soeratin Sosrosoegondo, salah satu pendiri dan sekaligus ketua pertama Persatoean Sepakraga Seloeroeh Indonesia (PSSI, sebelum berganti nama seperti PSSI yang sekarang di era Maladi tahun 1950) yang berdiri 19 April 1930.

Sri Woelan bukanlah siapa-siapa. Ia hanya istri seorang insinyur lulusan Jerman dan mantan pegawai perusahaan konstruksi Belanda ‘Sizten en Lausada’.

Tidak banyak yang tahu kalau Sri Woelan adalah adik ke-5 pendiri Boedi Oetomo, Dr. Soetomo. Akan tetapi, namanya lebih harum sebagai istri Soeratin yang mengurusi bal-balan Indonesia sebelum merdeka.

Perjuangan Sri Woelan sebagai istri pahlawan sepak bola nasional di era sebelum kemerdekaan begitu amat memprihatinkan.

© Tiyo Bayu Nugroho/INDOSPORT
Logo PSSI. Copyright: Tiyo Bayu Nugroho/INDOSPORTLogo PSSI.

PSSI lahir dengan dana yang minim. Kas organisasi kerapkali diisi dari kantong Soeratin sendiri yang mendirikan perusahaan konstruksi ‘Balai Karti’ setelah mengundurkan diri dari kantor Belanda.

Soal perduitan inilah, Sri Woelan punya peranan dominan. Demi membantu pendanaan PSSI, ia rela menjual giwangnya (perhiasan) untuk menambah dana keperluan organisasi.

Bukan saja memberi dukungan dana yang dikeduk dari anggaran rumah tangganya sendiri, Sri Woelan juga urun menyediakan tenaga untuk membantu suaminya.

PSSI sibuk mempersiapkan kompetisi di tahun pertama pada 1931 untuk menyaingi NIVU (PSSI-nya Belanda) yang terlebih dahulu telah menggelar kompetisi.

Rumah Soeratin di Jalan Sangaji 68, Jetis, Yogyakarta sering menjadi tempat penampungan pemain apabila PSSI menggelar pertandingan antar­-bond (perserikatan).

Sri Woelan sudah tentu harus menyiapkan kamar, tempat tidur, dan konsumsi untuk para pemain. Semua itu ia lakukan tanpa pamrih kalau bukan karena tegaknya sepak bola Indonesia di negeri sendiri.

© PSSI
Aksi selebrasi pemain Timnas Indonesia usai Marinus mencetak gol Copyright: PSSISepak Bola Indonesia terus berkembang dari masa ke masa.

Pernah pada tahun 1935, PSSI mendapati kesulitan saat hendak membiayai pertandingan antara Persis Solo melawan PSIM Yogyakarta.

NIVB (pengembangan dari NIVU) menolak melepas pemain Persis dan PSIM yang berada di bawah naungan Hindia Belanda. Walhasil, dr. Sahir selaku Ketua Persis saat itu kebingungan mengatasi persoalan tersebut sebab tiket pertandingan telah ludes terjual.

dr. Sahir lantas mengadu ke Soeratin. Di saat-saat kritis inilah, Sri Woelan secara sukarela memberi bantuan. Ia bersama istri dr. Sahir ‘lari-lari’ ke sana-ke mari mencari pemain.

Selain itu, Sri Woelan dan nyonya dr. Sahir juga dibebankan mencari dana untuk biaya transportasi pemain PSIM bertanding ke Solo.

Akhirnya, terkumpullah pemain-pemain yang selama ini dikenal berprofesi sebagai penjual satai, tukang cukur rambut, tukang kebun, dan sais delman.

Sebagai seorang istri, Sri Woelan bukan saja mengabdikan dirinya sebagai pendamping Soeratin yang merupakan kodratnya. Ia juga berjuang menyebarluaskan nasionalisme secara tidak langsung melalui sepak bola.

Perannya sebagai istri Soeratin bukan mustahil dapat membawanya terkena penahanan karena berisiko menimbulkan gesekan politik yang mengancam Belanda.

Di saat Soeratin melancarkan operasi PSSI ke berbagai daerah, Sri Woelan tetap setia menjaga Soeratin, karena ia sadar siapa lagi yang menjaga Soeratin kalau bukan dirinya.

Perjuangan Soeratin dan Sri Woelan kini masih bisa dikenang, meski jasa-jasanya kini perlahan terlupakan dengan melihat integritas pengurus federasi yang mulai dipertanyakan, perseteruan kelompok suporter hingga menelan korban nyawa, hingga prestasi Timnas Indonesia yang belum beranjak ke mana-mana.

Ikuti Terus Kabar Sepak Bola Indonesia dan Berita Olahraga Lainnya di INDOSPORT.COM