In-depth

Lika-liku Kesejahteraan Pemain Sepak Bola Indonesia, Urusan Gaji Hingga Jaminan Masa Tua

Senin, 7 Oktober 2019 16:26 WIB
Penulis: Petrus Tomy Wijanarko | Editor: Ivan Reinhard Manurung
© Grafis: Yanto/Indosport.com
Lika-liku kesejahteraan pemain sepak bola Indonesia, urusan gaji hingga jaminan masa tua. Copyright: © Grafis: Yanto/Indosport.com
Lika-liku kesejahteraan pemain sepak bola Indonesia, urusan gaji hingga jaminan masa tua.

INDOSPORT.COM - Banyak anak kecil ataupun remaja yang menaruh mimpinya di sepak bola. Mereka dengan lantang menyebut ke orang tuanya bahwa saya ingin menjadi seorang pemain sepak bola profesional.

Sejatinya sungguh wajar bila fenomena tersebut sampai kerap terjadi. Realita sepak bola yang nampak pada layar kaca ataupun media sosial, memanglah begitu mewah.

Sejumlah bintang ternama dunia, sebut saja Cristiano Ronaldo dan Lionel Messi, sering jadi perbincangan publik, lantaran punya kemampuan olah bola yang memukau. Keduanya dipuja banyak penggemar dan juga memiliki harta melimpah.

Bagi yang tinggal di Eropa, impian semacam itu terbilang masih relevan untuk diwujudkan. Pentas sepak bola Benua Biru sudah tertata rapi, mulai dari pendidikan usia dini, hingga manajemen kompetisi, serta perputaran uang.

Kapten Timnas Portugal, Cristiano Ronaldo, telah membuktikannya langsung. Sebelum setenar sekarang, Ronaldo hidupnya tak lepas dari jeratan kemiskinan.

Ronaldo kecil bahkan sempat mengalami perjuangan sulit kala masih merintis karier di akademi Sporting Lisbon. Akibat tak punya uang, Ronaldo kecil sampai pernah mengemis untuk mendapat makanan gratis dari sebuah restoran cepat saji di Madeira, Portugal.

"Kami sedang lapar. Ada McDonald's di sebelah lapangan, kami mengetuk pintu dan bertanya kepada pelayan, apakah mereka punya hamburger?," ungkap Cristiano Ronaldo, seperti dilansir Sportbible, Rabu (18/9/2019).

"Selalu ada Edna dan dua gadis lain (pelayan). Tapi saya tidak pernah bertemu dengan mereka lagi," imbuhnya.

Namun Ronaldo sama sekali tak patah semangat untuk mewujudkan impiannya. Terus bekerja keras, CR7 akhirnya mampu meraih banyak trofi juara serta penghargaan individu, baik semasa masih membela Manchester United, Real Madrid, dan yang terkini Juventus.

Kesuksesan karier juga membawa Ronaldo pada kemakmuran. Menurut laporan Gazzetta dello Sport, Ronaldo menerima bayaran senilai 31 juta euro atau Rp481 miliar dari Juventus, atau yang ketiga terbesar di dunia.

Pertanyaan selanjutnya, bagaimana jika anak yang bermimpi ingin menjadi pesepak bola hebat seperti Ronaldo, malah berasal dari Indonesia? Sebuah negara yang katanya gila bola, tapi soal rangking FIFA saja masih terdampar di urutan 167.

Gemerlap Liga 1

Berbicara mengenai pentas sepak bola profesional Indonesia, pasti akan banyak diselimuti cerita pahit. Isu pengaturan skor, rusuh antara suporter, jadwal liga yang semerawut, keterlambatan gaji, tak henti-hentinya muncul di pemberitaan media massa.

Kesan suram yang nampak, mungkin membuat sejumlah orang tua di Indonesia sulit mengizinkan anaknya untuk menjadi pemain sepak bola profesional. Para orang tua resah bertanya, apakah anakku tercinta bisa hidup sejahtera dari sepak bola?

Irkham Zahrul Mila, bintang PSS Sleman, coba membagikan pengalamannya. Ia bercerita soal tingkat kesejahteraan pemain yang berkarier di kasta tertinggi sepak bola Indonesia, Liga 1 2019.

Sosok Irkham diketahui sudah dua musim merumput bersama PSS Sleman. Winger berusia 21 tahun jni pertama kali gabung tim laskar Elang Jawa pada 2017 lalu.

Selama membela PSS, Irkham mengaku segala haknya sebagai pemain profesional terpenuhi dengan baik. Irkham sama sekali tak pernah menemui masalah keterlambatan gaji dari manajemen PSS Sleman.

"Kalau di Sleman sih menurut saya selalu terpenuhi kesejahterannya. Selama dua musim ini yang saya jumpai tidak pernah telat kewajibannya (membayar gaji pemain)," ungkap Irkham.

Perihal gaji, Irkham menjelaskan bahwa jumlah uang yang diterimanya akan sesuai dengan kesepakatan kontrak di awal musim. Jadi, pihak pemain bakal menerima terlebih dahulu 25 persen dari nilai kontrak sebagai uang muka, dan 75 persen sisanya dibayar bertahap selama 10 bulan untuk menjadi gaji.

Irkham enggan menyebutkan berapa nominal kontrak dan gaji yang didapatnya. Meski begitu, Irkham menekankan kini gajinya sudah lebih dari cukup untuk memenuhi kebutuhan bulanan, entah jajan ataupun ditabung.

"Kalau masalah gaji intinya alhamdulilah sebagai pemain muda ya lumayan, setidaknya bisa buat jajan dan nabung. Kalau buat bangun rumah mungkin belum bisa, tapi di bawahnya itu masih bisa," kata Irkham.

Pendapatan pemain profesional yang merumput di Liga 1 ternyata tak hanya berasal dari gaji saja. Menurut Irkham, pemain bisa pula mendapatkan uang tambahan melalui sistem bonus klub.

Irkham dan para pemain PSS lainnya berhak mendapatkan uang bonus kalau berhasil mencetak gol. Jadi, semakin sering sang pemain membobol gawang lawan , kian tinggi pula jumlah pemasukkan uang yang didapat.

Uang bonus turut diberikan manajemen ketika PSS berhasil meraih kemenangan. Sistem pemberian bonusnya pun dibagi ke dalam beberapa kategori, yakni pemain yang turun berlaga, pemain yang hanya duduk di bangku cadangan, dan pemain yang tidak dibawa ke dalam skuat.

"Manajemen misalnya bonus kasih 2 juta kalau menang,  pemain yang main dapat 2 juta, yang cadangan doang dapat setengahnya. Kalau yang tidak dipanggil 25 persen. Kalau yang mainnya sebentar bonusnya sama seperti yang main full. Misalnya main cuma semenit ya dapatnya sama 100 persen, ibaratnya jackpot," tutur Irkham.

Sistem pemberian bonus tadi sebenarnya masih bisa berubah sewaktu-waktu. Terkadang manajemen tetap memberikan bonus walau PSS hanya meraih hasil imbang.

Seperti saat Irkham tampil membela PSS dalam laga lanjutan Liga 1 2019 kontra Persipura Jayapura, pada 19 September lalu. Kala itu, PSS yang bermain di depan publik sendiri, hanya bisa meraih hasil imbang 1-1.

Pasca laga, pihak manajemen ternyata terkesan dengan perjuangan para pemain PSS, yang sukses menghindarkan klub dari kekalahan. Alhasil, uang bonus tetap dikucurkan manajemen PSS untuk para pemainnya.

"Ketika lawan Persipura kemarin, imbang di kandang harusnya tidak dapat bonus. Namun manajemen mungkin lihat kerja keras tim dan pemain tidak jadi kalah, jadi ada apresiasi," jelas Irkham.

Kebetulan Irkham bermain di PSS, yang notabene merupakan klub promosi Liga 1 2019. Saat PSS meraih tiket promosi dan menjuarai Liga 2 2018 dulu, Irkham mengaku mendapat sejumlah fasilitas menarik.

Manajemen PSS memberikan Irkham uang bonus lantaran berhasil membawa PSS promosi ke kasta tertinggi sepak bola Indonesia. Irkham bahkan turut mendapatkan kenaikan nilai kontrak serta gaji.

"Pemain ada bonuslah dari klub setelah promosi ke kasta Liga 1. Alhamdulilah ada kenaikan gaji juga, tapi ya gak signifikan, kan tahun lalu saya masih jarang mendapatkan menit bermain. Naiknya tidak terlalu tinggi tapi tetap saya syukuri," ucap Irkham.

Irkham sendiri tergolong pemain yang belakangan kariernya sedang cukup menanjak. Ia perlahan mampu menembus skuat utama PSS, dan terus diandalkan untuk mengisi posisi winger.

Berkat penampilan apiknya, Irkham pun berhasil mendapat kesempatan dipanggil Timnas Indonesia U-23. Namanya masuk ke dalam skuat yang dipersiapkan pelatih Timnas Indonesia U-23, Indra Sjafri, untuk ajang SEA Games 2019.

Irkham lantas menyadari, dipanggil Timnas Indonesia U-23 akan membawanya kepada sejumlah keuntungan. Termasuk keuntungan dalam mendapatkan uang pemasukkan tambahan.

"Dari Timnas Indonesia dapat uang bonus harian, misalnya kemarin saya seminggu, terus dihitung seminggu berapa totalnya nanti ditransfer," ujarnya.

Lebih jauh, nilai jual Irkham setelah dipanggil Timnas Indonesia U-23 diyakini bisa meningkat drastis. Rekam jejak Irkham di Skuat Garuda berpeluang membuatnya memeroleh kenaikan kontrak dan gaji yang signifikan.

Namun Irkham belum mau membicarakan soal kenaikan nilai jualnya itu. Irkham saat ini masih berfokus membela PSS dan memastikan tempat di Timnas Indonesia U-23.

"Soal kenaikan gaji karena masuk Timnas lihat tahun depan, gimana nanti negosiasinya lihat tahun depan saja," tuturnya.

Berkaca dari segala pengalaman Irkham, sepertinya tingkat kesejahteraan pemain sepak bola profesional di Liga 1 2019 sudah cukup terjamin. Tak ada masalah keterlambatan gaji, bonus dari klub juga mengalir, dan ada peluang meraih keuntungan spesial bila mampu menembus Timnas Indonesia.

Kesejahteraan kian nampak menjanjikan, sebab Irkham tak perlu lagi memusingkan pengeluaran untuk tempat tinggal serta makan. Ya, kebutuhan papan dan pangan Irkham selaku pemain sepak bola telah dipenuhi semua oleh klubnya, PSS.

"Untuk tempat tinggal ya dapat mess, setiap tim dapat fasilitas seperti itu, seperti tempat tinggal dan makan pasti sudah terpenuhi semua. Itu sudah jadi kewajiban tim, kecuali bagi yang mau tinggal ngekost sendiri harus ngeluarin biaya pribadi lagi," ucapnya.

Kisah di Liga 2

Pemain sepak bola profesional yang merumput di Liga 1, terbilang wajar bila tingkat kesejahteraannya cukup menjanjikan. Toh, Liga 1 memanglah merupakan kompetisi kasta tertinggi, yang jelas bakal mendapat sorotan lebih.

Lalu, bagaimana dengan pemain yang merumput di kasta bawah seperti Liga 2? Apakah tingkat kesejahteraan yang ada juga sama menjanjikannya?

Tegar Hening Pangestu, gelandang andalan Persiraja Banda Aceh ini membagikan kisahnya kepada redaksi berita olahraga INDOSPORT. Menurut Tegar, tingkat kesejahteraan pemain sepak bola profesional di Liga 2 sejatinya juga cukup menjanjikan.

Sosok Tegar sudah kenyang pengalaman merumput di Liga 2. Musim lalu, ia juga menghiasi kancah Liga 2 dengan membela klub Persis Solo.

Tegar mengaku, segala kebutuhan hidupnya sudah terpenuhi berkat berprofesi sebagai pemain sepak bola profesional di Liga 2. Menariknya, pendapatan Tegar dari sepak bola kini sudah mampu menghasilkan sebuah bisnis kecil-kecilan di kampung halamannya.

"Alhamdulillah bisa (tercukupi), ya sekarang tumpuan hidup di sepak bola," ujar Tegar.

"Ada bisnis kecil-kecilan di rumah di Bangka, bisnis fotocopy," imbuhnya.

Soal nilai kontrak dan gaji pemain, Tegar menjelaskan bahwa Liga 2 sebenarnya tak jauh berbeda dengan yang ada di pasaran Liga 1 Indonesia. Bahkan, ada pula pemain Liga 2 yang memiliki nilai kontrak dan gaji lebih tinggi ketimbang bintang Liga 1.

Tegar berpendapat, besaran kontrak seorang pemain bukannlah ditentukan dari tingginya kasta liga. Nilai kontrak justru dinilai berdasarkan kualitas sang pemain itu sendiri.

"Liga 2 juga terkadang nilai kontrak bisa lebih besar dari liga 1 jadi bukan perihal kasta. Nilai kontrak ditentukan dari kebutuhan tim atau nama besar pemain itu sendiri," ungkap Tegar.

Cerita Tegar tadi, agak berbeda dengan yang dialami Wahyu Wijiastanto, eks penggawa Persip Pekalongan. Bek senior berusia 33 tahun itu memang sempat comeback dari masa pensiunnya dengan berkarier di Liga 2 bersama Persip pada 2017 lalu.

Berdasarkan pengalaman Wahyu, masalah keterlambatan gaji masih kerap mendera klub-klub Liga 2. Hal tersebut jelas mengganggu tingkat kesejahteraan profesi pemain sepak bola profesional.

"Masalahnya pengalaman terakhir saya di pekalongan juga seperti itu. 2017 gaji 16 juta tiap bulan tapi tidak lancar," ucap Wahyu.

Selepas meninggalkan Persip, Wahyu belum bergabung dengan klub manapun lagi. Meski sudah mendapat banyak tawaran, Wahyu masih enggan turun berlaga di kancah sepak bola profesional, akibat kondisi fisiknya yang mulai menggendut.

Demi memperbaiki kebugaran fisiknya, Wahyu kini menggeluti kancah sepak bola Tarkam (antar kampung). Wahyu pun memasang target akan kembali ke kancah sepak bola profesional tahun depan.

"Terus terang ada beberapa tim yang memberikan tawaran, liga 1 juga ada, mereka masih ingin melihat saya main," kata Wahyu.
  
"Tapi terus terang saja, sekarang saya agak lebih gemuk, aku bilang dari kemarin satu tahun ini saya off dulu. Saya sekarang tarkam ke sana kemari, untuk latihan juga, mengembalikan fisik juga, insyaallah kalau ada rejeki tahun depan main bola lagi," lanjutnya.

Uniknya, Wahyu malah menyebut kalau penghasilan dari menggeluti Tarkam lebih menjanjikan ketimbang Liga 2. Menurut Wahyu, penghasilan dari Tarkam nominalnya cukup besar dan juga tidak akan ada keterlambatan pembayaran.

Namun Wahyu sendiri tak mementingkan soal uang dalam menggeluti Tarkam. Wahyu hanya fokus untuk mengembalikan kondisi fisiknya dan berharap bisa merumput lagi di kancah profesional tahun depan.

"Aku jujur saja, sebenarnya ketimbang main di Liga 2 itu lebih baik tarkam, itu serius aku bilang mas. Kalau di Liga 2 belum tentu dibayar tiap bulan, banyak tim-tim yang gajinya gak beres."

"Kalau tarkam, begitu pulang dikasih amplop ada duitnya, tiket, makan, hotel udah beres juga. Tarkam tiap bulan, satu bulan muter tarkam aku bisa dapat 20 juta, gak bakal mati aku 20 juta, minimal segitu, lebih sering malah," ungkap Wahyu.

Berkaca dari segala cerita Tegar dan Wahyu, dapat disimpulkan kalau pentas Liga 2 sejatinya juga terbilang wah soal nilai kontrak dan gaji. Namun harus diakui, perkara keterlambatan pembayaran gaji, tetap jadi satu hal yang hingga kini masih saja mengantui.

Wejangan dari Legenda Persib

Terlepas dari masalah keterlambatan gaji yang kerap mendera kancah Liga 2, tingkat kesejahteraan pemain sepak bola Indonesia secara keseluruhan, sejatinya sudah cukup menjanjikan. Seorang pemain bisa mendapatkan nilai kontrak lumayan besar, belum lagi masih ada deretan bonus yang siap dikucurkan pihak manajemen klub.

Ya, selama masih merumput, soal pemasukkan uang jelas tak perlu dipusingkan. Namun, mau sampai kapan terus mengandalkan sepak bola sebagai sumber penghasilan?

Perlu diingat lagi, profesi pemain sepak bola tak bisa berumur panjang. Ketika sudah memasuki usia di atas 30 tahun, seorang pemain harus mulai memikirkan masa untuk gantung sepatu.

Legenda Persib Bandung, Sujana, mengingatkan pentingnya sistem pengelolaan uang bagi para pemain sepak bola profesional. Menurut Sujana, uang yang didapat ketika berkarier, harus bisa diolah dengan baik untuk masa depan sang pemain.

Terlebih, pemain sepak bola memang merupakan jenis profesi yang berbeda. Tak ada uang jaminan masa pensiun, sehingga segala sesuatu yang berkaitan dengan masa depan harus dipersiapkan matang-matang.

"Bagi yang gajinya besar di sepak bola, harus bisa kembali ke individunya, harus bisa nyimpen untuk masa depannya, kira-kira kalau udah berhenti mau apa, buka bisnis apa," ujar Sujana.

"Kebanyakan di sepak bola suka lupa, pengelolaan keuangannya penting. Ketika masa jaya mendapat uangnya enak, dapat bonus, dapat gaji, tetap harus punya target, perkiraan saya akan berapa tahun di bola," lanjutnya.

Sosok Sujana sendiri terbilang eks pemain sepak bola profesional yang cukup beruntung. Ia dahulu berkarier ketika tim-tim sepak bola Indonesia masih dikelola oleh Pemerintah Daerah.

Pada tahun 1997, Sujana mendapat tawaran untuk jadi Pegawai Negeri Sipil (PNS) dari Walikota Bandung, Wahyu Hamijaya, yang juga menjabat sebagai Manajer Persib Bandung. Tawaran itu pun langsung diterimanya, mengingat PNS akan sangat menjamin masa depan setelah Sujana pensiun dari sepak bola.

"Ada kesempatan kerja pasti saya ambil, kan gak selamanya bisa main bola, umur 32 masih bertahan saja sudah bagus. Jadi saya pasang target, kira-kira di umur 32 pensiun saya sudah punya pegangan, dapat tawaran kerja PNS saya ambil," ungkap Kang Sujana.

"Awal-awal masuk Pemerintah Daerah (Pemda) dulu, kerja kontrak di sana sebelum diangkat jadi PNS. Kontraknya 12 tahun, Pemda kota Bandung, mengurusi bidang pajak daerah. Kalau pagi setelah selesai apel ada latihan, baru kegiatan lagi masuk kantor, sorenya latihan lagi. Hari pertandingan libur, dulu kan masih APBD yang ngurus jadi bisa," imbuhnya.

Lebih jauh, Sujana menjelaskan bahwa praktek tawaran jadi PNS dari manajer klub sudah umum terjadi kala itu. Banyak rekan-rekan Sujana di Persib dulu yang juga mendapat kesempatan serupa, seperti Yaris Riyadi, Cecep Supratna, dan Zaenal Arif.

Akan tetapi, tawaran tadi tak berlaku lagi bagi sepak bola Indonesia saat ini. Sepak bola Indonesia kini sudah dikelola secara profesional, bukan lagi dari Pemerintah Daerah, sehingga mustahil bagi seorang pemain bekerja jadi PNS sembari tetap aktif merumput.

"Kalau sekarang kan sudah profesional jadi harus milih mau kerja (PNS) atau profesional," kata Sujana.

Sujana lantas memberikan sejumlah contoh tentang cara mempersiapkan diri jelang masa pensiun. Pria yang kini bekerja di Badan Pengelolaan Pajak Daerah Kota Bandung ini, menceritakan pengalaman rekan seangkatannya, Nuralim yang merupakan legenda Persija Jakarta.

"Misalnya Nuralim, dia gak kerja di pemerintahan, dia bikin kos-kosan, bikin angkot," tutur Sujana.

Selain membagikan kisah Nuralim, Sujana juga menceritakan pengalaman para pemain angkatan Primavera. Banyak dari angkatan Primavera yang pada masa pensiun tetap bisa makmur lantaran alih profesi menjadi pelatih.

"Sekarang angkatan Primavera sudah punya lisensi bagus, sudah pegang tim. Kebetulan mereka silahturahminya bagus, semua yang angkatan Yeyen Tumena sudah pegang tim. Jadi pelatih juga menjanjikan, tapi balik lagi ke orangnya, pengelolaan keuangannya gimana," ujar Sujana.

Terakhir, Sujana memberikan kritiknya terhadap kancah sepak bola Indonesia. Walau sudah mulai maju, sepak bola Indonesia menurut Sujana masih tertinggal jauh dari Eropa soal tingkat kesejahteraan pemain.

Sujana melihat banyak pemain di Indonesia yang masih pusing soal nilai kontrak dan masa depan. Sementara pada kancah sepak bola Eropa sana, segala hal tentang uang sudah terjamin, sehingga para pemain tinggal fokus berlatih dan memberikan yang terbaik di lapangan.

"Yang namanya di Indonesia sejatinya belum terlalu bisa disebut profesional, pemain masih mikirin kontrak gimana, masa depannya, nanti kalau udah pensiun jadi apa."

"Kalau di luar negeri mereka sudah punya manajemennya, pemain cuma konsentrasi latihan, segala sesuatu soal kontrak sudah ada manajemennya sendiri yang ngurus, tidak pusing lagi, tinggal fokus latihan dan pertandingan saja," terang Sujana.

Begitulah kurang lebih lika-liku tingkat kesejahteraan pemain sepak bola profesional di Indonesia. Berapapun besarnya gaji, setiap pemain harus bisa mengelolanya sedemekian apiknya untuk masa pensiun yang jaminannya masih sangat abu-abu.