In-depth

Mengapa Kursi Ketum PSSI Begitu Seksi hingga Diperebutkan Banyak Lelaki?

Jumat, 1 November 2019 19:47 WIB
Penulis: Coro Mountana | Editor: Arum Kusuma Dewi
© INDOSPORT
Logo PSSI. Copyright: © INDOSPORT
Logo PSSI.

INDOSPORT.COM – Sebelas pria saat ini tengah memperebutkan sebuah jabatan yang begitu seksi di persepakbolaan Indonesia, yakni kursi ketua umum (ketum) PSSI, mengapa demikian?

Kongres Luar Biasa PSSI sedianya akan dilangsungkan pada Sabtu (02/11/19) mendatang untuk menentukan siapa berhak menjadi ketum pada periode 2019-2023. Bak perempuan cantik nan seksi, 11 lelaki pun berebut demi menduduki jabatan terhormat sebagai pemimpin di sepak bola Indonesia.

Mulai dari Arif Putra Wicaksono, Aven S Hinelo, Benny Erwin, Bernhard Limbong, Fary Djemi Francis, Iwan Bule, La Nyala Mattalitti, Rahim Soekasah, Sarman El Hakim, Vijaya Fitriyasa, hingga Yesayas Oktavianus. Melihat fenomena banyaknya calon ketum yang ingin memimpin PSSI.

Tentu akan timbul sebuah pertanyaan besar yaitu mengapa kursi ketum PSSI seakan terlihat begitu seksi atau menguntungkan hingga diperebutkan banyak orang. Atau jika ingin lebih disederhanakan, apa sebenarnya alasan mengapa mereka ingin mengabdikan dirinya memimpin PSSI?

Tentu jika ditanya 11 caketum yang ada, pasti jawabannya kurang lebih hampir seragam yaitu ingin memajukan taraf sepak bola Indonesia yang tengah terpuruk. Jawaban yang tidak salah, tetapi benarkah hanya itu? 

Kami pun mencoba mencari tahu berdasarkan kacamata atau pandangan dari pengamat atau pemerhati sepak bola tentang fenomena betapa seksinya kursi ketum PSSI. Pengamat sepak bola yang juga menjadi komentator Liga Inggris, Justinus Lhaksana pun memberikan analisanya.

“Ketua PSSI lebih ngetop daripada menteri, sekarang tanya saja orang-orang di jalan pasti mereka tahu ketum PSSI, setidaknya bakal ada jawaban Nurdin Halid atau Edy Rahmayadi. Orang-orang justru belum tentu tahu siapa menteri perumahan atau kehutanan sekalipun,” jelas Coach Justin kepada INDOSPORT.

Sebuah analogi yang menarik membandingkan posisi ketum PSSI dengan seorang menteri yang mungkin saja orang-orang tidak tahu siapa memimpin departemen apa. Namun, perumpamaan yang lebih mengejutkan diberikan oleh pengamat sepak bola yang lain, yaitu Akmal Marhali.

“Ketum PSSI itu posisinya sama dengan presiden Indonesia bahkan secara organisasi hampir sama di mana presiden punya gubernur, PSSI ada asprov. Jadi memimpin pssi itu merupakan replika memimpin negara Indonesia,” terang Akmal Marhali ketika ditemui di kediamannya oleh INDOSPORT.

Menurutnya, orang yang menjadi ketua PSSI bahkan bisa menjadi lebih populer dibandingkan dengan presiden asalkan ia mampu membawa Timnas Indonesia berprestasi.

Dengan sebuah prestasi, masyarakat Indonesia yang mayoritas adalah pencinta sepak bola pasti akan mengelu-elukan ketum PSSI sebagai pahlawan. Sehingga wajar saja apabila banyak orang ingin menjadi ketum PSSI, setidaknya demikian menurut penuturan koordinator Save Our Soccer itu.

Lebih lanjut, Akmal Marhali juga tak menampik bila ada indikasi orang-orang menggunakan kuasanya sebagai ketum PSSI sebagai batu loncatan untuk duduk di pemerintahan.

Sebagai informasi, isu adanya pihak yang menjadikan kursi ketum PSSI sebagai batu loncatan sebenarnya sudah begitu mengemuka ketika Edy Rahmayadi di masa jabatannya terpilih sebagai gubernur Sumatera Utara.

Memang hingga saat ini pun tidak ada bukti yang bisa menjelaskan kalau Edy Rahmayadi menjadikan jabatannya sebagai ketum PSSI sebagai batu loncatan untuk menjadi gubernur Sumatera Utara. Hanya saja stigma di masyarakat tentang anggapan itu sudah begitu menempel.

Namun menurut Akmal Marhali, stigma itu bisa diatasi oleh ketum PSSI nantinya terlepas dari ada atau tidaknya niatan untuk mengambil batu loncatan. Solusinya adalah menghadirkan prestasi bagi Timnas Indonesia, maka orang bisa saja lupa dengan isu miring itu.

“Caranya berikan prestasi, dengan begitu orang akan lupa kalau ada isu batu loncatan. Orang saya pernah bercanda, masalah match fixing tidak akan menjadi omongan kalau Indonesia juara seperti Italia di 2006.”

“Saat itu, Italia didera skandal calciopoli, tapi begitu juara dunia, seakan orang lupa akan kasus itu. Kalau Indonesia, prestasi jeblok, match fixing pula, hancur semuanya, bopeng-bopeng sepak bola kita,” tambahnya.

Tentu yang dimaksud Akmal Marhali tetap tidak mengindahkan match fixing hanya saja ia mencontohkan Italia yang tetap survive meski calciopoli berkat juara dunia. Sedangkan Indonesia nyaris tak ada yang bisa dibanggakan.

Apapun itu, ketum PSSI memang begitu seksi karena menurut Akmal Marhali dan Justinus Lhaksana selaku pengamat, pamor seorang menteri bahkan presiden saja bisa kalah. Wajar bila ada sampai 11 orang berebut kursi itu, asalkan siapapun yang terpilih nantinya dapat membawa PSSI lebih baik.