In-depth

Sering Jadi Kambing Hitam, Begini Sulitnya Jadi Wasit Profesional di Indonesia

Senin, 18 November 2019 16:29 WIB
Penulis: Rafif Rahedian | Editor: Arum Kusuma Dewi
 Copyright:

INDOSPORT.COM Wasit memang bukan pilihan utama bagi setiap orang yang ingin terjun ke dunia sepak bola. Sebagian besar dari mereka tentunya ingin menjadi bintang di atas lapangan sebagai pemain sepak bola.

Meski tidak begitu dinikmati oleh para penggiat si kulit bundar, wasit sendiri memiliki peran penting di dalam sebuah pertandingan. Tugas mereka bisa dikatakan jauh lebih berat dibandingkan dengan para pemain.

Setidaknya mereka harus memiliki mental yang sangat kuat dalam menjalani tugasnya, terutama di persepakbolaan Indonesia. Karena wasit memegang tanggung jawab penuh selama 90 menit dengan atmosfer suporter yang cukup tinggi.

Tak jarang dari mereka selalu dijadikan sebagai kambing hitam atas kekalahan yang diterima salah satu tim. Kata-kata kasar dari penonton pun sepertinya sudah menjadi makanan sehari-sehari bagi beberapa wasit lokal.

Fenomena itu kerap terjadi ketika wasit dianggap melakukan keputusan-keputsan yang salah. Hal itulah yang akhirnya memunculkan anggapan bahwa sang pengadil lapangan asal Indonesia tidak memiliki kualitas untuk memimpin sebuah pertandingan.

Akan tetapi atas kecintaannya terhadap sepak bola, suara sumbang tersebut sepertinya tidak menghalangi sejumlah orang untuk mengambil profesi sebagai wasit. Karena tak bisa menjadi pesepakbola profesional, sebagian besar dari mereka lebih memilih banting stir menjadi wasit.

Hal itu yang dirasakan oleh salah satu wasit Liga 1 yang memiliki lisensi FIFA, yakni Dwi Purba Adi Wicaksana. Wasit yang saat ini berusia 31 tahun tersebut mengaku memilih jadi pengadil lapangan karena tidak bisa menjadi pemain sepak bola.

“Karena tak bisa jadi pemain, makanya banting stir menjadi wasit. Yang kedua, karena bisa ketemu pemain Timnas. Yang ketiga, itu bonus bisa jalan-jalan dari tempat A ke tempat B,” ujar Dwi Purba kepada redaksi INDOSPORT.

Selain Dwi Purba, salah satu wasit termuda di Liga 3 Naufal Adya Fairuski memiliki impiannya tersendiri untuk bisa menjadi seorang pengadil lapangan. Dirinya berambisi menjadi wasit asal Indonesia yang bakal memimpin pertandingan Piala Dunia.

Karena sejauh ini belum ada wasit yang mewakili Indonesia untuk memimpin pertandingan bergengsi di Piala Dunia. Maka dari itu, Naufal tidak ragu untuk memulai kariernya sebagai wasit di usianya yang masih sangat muda.

“Karena bapak saya juga seorang wasit, ada motivasi. Karena belum ada sejarahnya wasit Indonesia memimpin laga Piala Dunia,” ujar Naufal kepada redaksi INDOSPORT setelah memimpin pertandingan final Liga Santri Nusantara 2019.

“Jika melihat negara lain, wasit untuk Piala Dunia itu dimulai dari usia 14-15 tahun, kemudian kenapa saya tidak mencoba untuk tetap berkarier di bidang sepak bola, bukan sebagai pemain tapi sebagai wasit,” lanjutnya.

Lalu bagiamana cara untuk bisa menjadi profesional di persepakbolaan Indonesia? Berikut INDOSPORT mencoba untuk memberikan penjelasan untuk orang awam yang mencoba untuk berkarier sebagai wasit di Liga Indonesia.

Proses Menjadi Wasit Profesional di Indonesia

Menurut keterangan Direktur Wasit PSSI, Efraim Ferdinand atau yang lebih akrab disapa Efran, setiap orang yang ingin jadi wasit harus mengambil kursus terlebih dahulu dan mengikuti tiga level pendidikan.

Tiga tahap tersebut adalah C3, yakni tingkatan kabupaten atau kota. Setelah beberapa tahun berada di level tersebut, wasit bisa naik ke C2 untuk memimpin sejumlah pertandingan di tingkatan provinsi. Barulah setelah itu, mereka bisa mendapatkan lisensi C1 nasional.

“Yang pertama C3, C2, dan C1. Semua orang boleh mengambil C3, asal dia punya latar belakang pemain sepak bola, paling tidak. Setelah punya waktu lebih dari 1 tahun dengan pengalaman 12 pertandingan,” ujar Efran kepada INDOSPORT.

“Mereka berhak mengambil pendidikan lebih lanjut. Nanti dari C2, bisa naik ke C1 dengan rentang waktu dua tahun. Dengan jumlah 20 pertandingan,” lanjut mantan Direktur Teknik Federasi Futsal Indonesia (FFI) tersebut.

Proses ini juga dilalui oleh Dwi Purba sebelum resmi mewakili wasit Indonesia di otoritas tertinggi sepak bola dunia, yakni FIFA. Dirinya menjelaskan bahwa dalam proses kenaikan level itu dipantau langsung oleh Asosiasi Kabupaten (Askab).

“Biasanya berdasarkan dari Askab, wasit ini layak tidak untuk naik. Atau biasanya kategorinya itu minimal dua tahun atau satu tahun,” beber sang pengadil asal Kudus, Jawa Tengah, tersebut.

Lebih lanjut Dwi Purba juga menjelaskan bahwa tidak ada sekolah khusus untuk menjadi seorang wasit di persepakbolaan Indonesia. Calon wasit baru hanya mengikuti kursus selama kurang lebih seminggu untuk mempelajari dasar-dasar aturan.

“Tidak ada sekolah, hanya sekedar kursus, nanti di karantina selama seminggu. Biasanya yang mengajar adalah instruktur wasit. Nanti diterangkan dasar-dasar tekniknya dan dasar peraturannya,” tambah Dwi Purba.

Setelah berhasil melewati tiga tahap tersebut, nantinya PSSI akan memberikan tes kepada setiap wasit untuk dinilai kelayakannya tampil di kasta tertinggi sepak bola Indonesia. Hal itu dibenarkan langsung oleh Efran.

“Jadi wasit itu harus melalui fitness tes dan law of the game test. Nanti semua itu akan kami lihat sampai ke tes psikologi,” ucap Efran.

Tak berhenti sampai di situ, wasit-wasit yang sudah lolos ke Liga 1 juga masih dipantau oleh PSSI. Apabila performanya mengalami penurunan, maka wasit tersebut bisa didegradasi ke kasta kedua sepak bola Indonesia.

Sejauh ini, PSSI telah melakukan promosi degradasi terhadap wasit di Liga 1. Hal itu dilakukan demi meningkatkan mutu pertandingan sepak bola Indonesia. Namun Efran juga menyayangkan tidak banyak wasit Liga 2 yang mampu menembus kasta tertinggi.