In-depth

Mengenal Financial Fair Play, Kasus yang Membuat Manchester City Terancam Degradasi

Minggu, 16 Februari 2020 16:02 WIB
Penulis: Martini | Editor: Theresia Ruth Simanjuntak
© Lynne Cameron/PA Images via Getty Images
Mengenal Financial Fair Play (FFP), kasus yang membuat klub Liga Inggris, Manchester City, terancam degradasi. Copyright: © Lynne Cameron/PA Images via Getty Images
Mengenal Financial Fair Play (FFP), kasus yang membuat klub Liga Inggris, Manchester City, terancam degradasi.

INDOSPORT.COM – Kasus Financial Fair Play (FFP) kembali memakan korban. Kali ini, klub besar Liga Inggris, Manchester City yang terancam turun kasta karena terbukti melanggar peraturan dari UEFA tersebut.

Untuk saat ini, Manchester City masih terancam tak bisa tampil di kompetisi Eropa selama dua tahun. Namun, bukan tidak mungkin jika The Citizens juga harus turun kasta ke League Two, hingga pencopotan gelar juara Liga Inggris.

Manchester City terbukti memanipulasi dana sponsor pada rentang 2012 hingga 2016 dalam laporan keuangan yang diserahkan ke UEFA. Pendapatan dari sponsor diduga menggelembung agar neraca keuangan menjadi seimbang dan dapat membeli sejumlah pemain mahal.

Seperti yang sudah didakwakan kepada Manchester City, ancaman pelanggaran Financial Fair Play memang mengerikan dan tak main-main, namun tak banyak yang tahu bagaimana aturan FFP yang sesungguhnya.

Sejak pertama kali FFP diterapkan pada tahun 2011 silam oleh Presiden FIFA Michel Platini, setidaknya ada beberapa klub sudah menjadi ‘korban’, atau justru menjadi pelaku pelanggaran dan layak mendapat hukuman.

AC Milan, misalnya, juga pernah mendapat sanksi tak bisa berkompetisi di level Eropa pada tahun 2018 lalu karena terbukti melanggar FFP. Sementara klub Paris Saint-Germain (PSG) memilih untuk banding dan keluar dari ancaman sanksi tersebut.

Financial Fair Play (FFP) sendiri diterapkan untuk mencegah kasus klub terlilit hutang dengan menyeimbangkan antara pemasukan dan pengeluaran, sehingga memerlukan pengawasan yang ketat dalam neraca keuangan.

Setiap klub dilarang melakukan pembelian pemain dengan sumber keuangan berasal dari utang, atau campur tangan uang pribadi pemilik klub, karena berisiko mengalami kerugian dan tentu saja nantinya akan mengancam jalannya kompetisi sepak bola.

Klub yang ingin melakukan pembelian pemain secara besar-besaran, tentu juga terlebih dahulu akan melakukan ‘penjualan’ yang besar pula, di luar pendapatan hak siar dan sponsor, tiket pertandingan, penjualan merchandise yang menjadi pendapatan reguler klub.

Singkatnya, jumlah uang yang dikeluarkan klub dalam pembelian pemain dan gaji, tidak boleh melebihi pendapatan klub. Hal ini akan terus diawasi oleh Badan Pengawas Keuangan Klub UEFA (CFCB).

Namun, UEFA sendiri sejatinya tak mengharamkan kerugian kepada klub, dengan batasan tak lebih dari 45 juta Euro dalam tiga musim, atau sekitar Rp719 miliar. Bahkan, UEFA juga sudah melunak dengan membolehkan klub melakukan peminjaman pemain dengan opsi pembelian.