In-depth

Ketika Turnamen Pramusim Dimaknai Keliru di Sepak Bola Indonesia

Selasa, 18 Februari 2020 16:07 WIB
Editor: Prio Hari Kristanto
© Fitra Herdian/INDOSPORT
Laga antara Madura United vs Persebaya pada pertandingan Piala Gubernur Jatim, Jumat (14/02/2020). Copyright: © Fitra Herdian/INDOSPORT
Laga antara Madura United vs Persebaya pada pertandingan Piala Gubernur Jatim, Jumat (14/02/2020).

INDOSPORT.COM - Laga pramusim yang semestinya jadi wadah mencoba taktik baru dan bongkar pasang pemain, kini bergeser jadi ajang berebut gengsi dan trofi.

Laga pramusim dalam sepak bola lazim digelar sebagai persiapan klub-klub menjelang putaran liga. Hal ini lumrah dilakukan di Eropa maupun belahan dunia lain termasuk Indonesia. 

Namun, jika bicara di Indonesia, maka Anda akan menemukan makna yang berbeda terhadap sebuah laga pramusim.  

Selama bertahun-tahun, sepak bola Indonesia mengenal adanya turnamen pramusim. Mulai dari Piala Emas Bang Yos, Piala Gubernur Jatim, sampai Piala Presiden. 

Turnamen pramusim diadakan sebagai bentuk persiapan tim-tim jelang mengarungi kompetisi Liga 1. Di era Liga 1 kita mengenal adanya turnamen Piala Presiden yang sudah digelar sebanyak empat kali.

Sebuah turnamen pramusim bergengsi tinggi dengan hadiah yang tak main-main. Namun, di musim 2020 ini Piala Presiden urung digelar. 

Sebagai gantinya, ada turnamen bertajuk Piala Gubernur Jatim yang mempertemukan klub-klub terbaik di Jawa Timur plus beberapa tim undangan dengan hadiah yang menggiurkan.

Munculnya dua turnamen bergengsi ini pun mulai menggeser makna dari laga pramusim yang sesungguhnya.

Ketika laga pramusim seharusnya jadi wadah pelatih untuk mencoba taktik baru dan ajang untuk panggung pemain muda/reserve, klub-klub di Indonesia justru tak segan menurunkan Starting XI terbaik di tiap laganya. 

Persija Jakarta misalnya. Di gelaran Piala Gubernur Jatim ini mereka tak segan untuk memasang Marko Simic, Riko Simanjuntak, Otavio Dutra, dan Rohit Chand sebagai starting di tiap laga. 

Padahal, di situ ada nama seperti Braif Fatari, Alief Ramadhan, Adrianus Dwiki, maupun Rinto Ali yang juga pantas diberi kesempatan dan merasakan atmosfer pertandingan di tim senior. 

Di lini depan, sangat minim kita melihat sepak terjang Rafli Mursalim, Taufik Hidayat, maupun Feby Eka Putra. 

© Media Persija
Persija Jakarta vs Persela Lamongan Copyright: Media PersijaPersija Jakarta vs Persela Lamongan

Tak hanya Persija, tim-tim favorit lain seperti Arema FC dan Persebaya pun juga melakukan hal yang sama. Namun, pengecualian untuk Persebaya, pada laga pertama pelatih Aji Santoso berani memainkan Muhammad Supriadi, Hambali Tholib, maupun Koko Ali bersamaan sebagai starter. 

Namun pada akhirnya, Bajul Ijo mengandalkan nama-nama kawakan seperti Makan Konate, David da Silva, dan pemain asing baru di dua laga tersisa. 

Memang tak ada aturan yang melarang tiap tim untuk menurunkan pemain inti di tiap laga. Namun, alangkah baiknya laga pramusim dimaknai sebagai ajang coba-coba alias bongkar pasang dan yang terpenting menghindari pemain dari cedera. 

Di ajang International Championship Cup misalnya. Klub-klub besar seperti Real Madrid, Bayern Munchen, atau AC Milan tak segan-segan memainkan pemain pelapis bahkan tim junior sepanjang minimal satu babak. 

Kejar Hadiah atau Kekompakan Tim?

Kita pun tak bisa menyalahkan sepenuhnya kepada klub-klub. Sistem yang ada dan aspek bisnis 'memaksa' mereka untuk melakukan hal tersebut.

Bagaimana tidak, di Piala Presiden 2019 saja misalnya. Hadiah yang ditawarkan bagi pemenang di turnamen ini menyentuh angka Rp3 miliar. Klub mana yang tak ingin uang sebanyak itu?

Di sepak bola Indonesia, nominal sebesar itu bisa untuk mengontrak satu pemain asing selama semusim. Jika tak juara, menjadi runner-up saja bisa mendapatkan uang sebesar Rp2,2 miliar. 

Tentu saja ada klub yang memanfaatkan ajang Piala Presiden sebagai sekadar pramusim seperti PSM Makassar misalnya. Namun, banyak pula klub yang rela menurunkan skuad terbaik dan main habis-habisan demi gengsi juara dan tentunya mendapatkan uang hadiah. 

Sebagai akibatnya, klub-klub ini pun tak mendapatkan makna sesungguhnya dari pramusim, baik itu aspek taktikal, fisik, maupun kesempatan bermain bagi para pemain muda/pelapis. 

Semestinya pematangan taktik, fisik pemain, mental, dan pemerataan kesempatan bermain menjadi modal yang lebih penting untuk mengarungi musim ketimbang uang hadiah atau gengsi semata. 

Tentu kita masih ingat bagaimana klub Persija Jakarta rela menurunkan pemain pelapis di laga grup Piala AFC 2018 demi final Piala Presiden 2018. Sebuah laga pramusim 'mengalahkan' event sekelas Piala AFC?

Suporter Mesti Ikut Belajar

Tak cuma klub yang harus memaknai pramusim dengan tepat, para suporter pun harus belajar. Biarkanlah klub tercinta mereka melakukan eksperimen dengan pemain baru serta taktik baru. 

Janganlah ketika kalah, klub atau pemain jadi sasaran cemoohan. Tekanan-tekanan semacam ini sedikit banyak akan memengaruhi psikologis pelatih dalam menurunkan Starting XI. 

Bukankah lebih baik sebuah tim kalah di laga pramusim dan menemukan solusi ketimbang harus menerima hasil negatif ketika mengarungi liga? 

Di Indonesia, laga pramusim memang memiliki derajat yang hampir sama dengan kompetisi resmi. Selain tim yang berlomba menurunkan skuad terbaik, suporter pun tak segan-segan memadati stadion untuk mendukung secara maksimal. 

Di Piala Presiden misalnya. Stadion-stadion hampir selalu ramai dikunjungi suporter tim tuan rumah yang bertanding di babak grup atau ketika tim tembus ke babak semifinal dan final. 

Pemandangan yang sama bisa kita saksikan di Piala Gubernur Jatim 2020 ini. Laga grup hampir selalu dipadati suporter ketika tim tuan rumah bertanding. Bahkan, pada laga Grup B antara Arema FC vs Persija, jumlah penonton di Stadion Kanjuruhan mencapai hampir 30 ribu orang.

Betul, laga pramusim tak boleh dianggap remeh, tetapi tidak boleh juga dianggap terlalu penting. Efek 'keseriusan' ini pun berdampak ke hal yang mungkin tak terbayangkan. 

Laga semifinal Piala Gubernur Jatim harus digelar tanpa penonton bahkan sampai pindah stadion demi keadilan suporter dan menghindari gesekan antarsuporter (Bonek dan Aremania). Belum lagi menyinggung ulah tak terpuji oknum suporter yang melempar pelatih Bhayangkara FC, Paul Munster, dengan batu. 

Hal ini sama saja membayangkan Trofeo Berlusconi digelar tanpa penonton di San Siro atas tekanan suporter Juventus dan Inter Milan. 

© Fitra Herdian/INDOSPORT
Reaksi pelatih Bhayangkara FC, Paul Munster, setelah menerima pelemparan batu dari oknum pendukung Persebaya Surabaya, Bonek, dalam lanjutan Piala Gubernur Jatim 2020. Copyright: Fitra Herdian/INDOSPORTReaksi pelatih Bhayangkara FC, Paul Munster, setelah menerima pelemparan batu dari oknum pendukung Persebaya Surabaya, Bonek, dalam lanjutan Piala Gubernur Jatim 2020.

Sebaiknya suporter tak berharap lebih atau berekspektasi tinggi dengan penampilan kesebelasannya. Bagi tim yang kalah di fase grup, silahkan mencari lawan lain tetap dengan balutan friendly match.

Sebisa mungkin tim menyamai jumlah tanding rivalnya di pramusim demi menjaga kebugaran sekaligus menjaga spirit pelatih dan pemain.

Juara bukanlah inti dari pramusim. Mungkin ada baiknya laga pramusim tak perlu dibalut dalam turnamen bergengsi?